Tabel 22. Jenis dan dosis penggunaan pestisida di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis-Meranti.
No Jenis
Jenis Bahan Dosis
Frekuensi th
-1
1. Insektisida
Decis 200 cc.ha
-1
2 2.
Rodentisida Klerat
1 kg.ha
-1
2 3.
Herbisida Round Up
0,25 l.ha
-1
6 Ally
50 gr.ha
-1
4 Gramoxone
400 cc.ha
-1
4 Serangan hama yang terjadi perkebunan perkebunan rakyat relatif jarang
terjadi bila dibandingkan dengan perkebunan besar swasta. Kondisi ini disebabkan oleh pola pembukaan lahan land clearing yang dilakukan pada perkebunan besar
swasta berlangsung dalam skala luas 3.000 ha dengan waktu relatif singkat. Timbunan bahan organik dari tumpukan kayu menjadi sumber nutrisi bagi
serangga, sehingga populasi Oryctes rhinoceros mengalami perkembangan yang sangat besar. Kamarudin et al. 2005 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara populasi Oryctes rhinoceros dengan karakteristik fisik habitat di perkebunan kelapa sawit. Populasi Oryctes rhinoceros dipengaruhi oleh beberapa
kondisi antara lain : 1 populasi rendah bila terdapat tanaman penutup cover crop
yang tinggi; 2 kadar air yang tinggi di batang akan meningkatkan kelangsungan hidup dan perkembangan Oryctes rhinoceros; 3 Oryctes
rhinoceros berkembang lebih cepat pada kayu yang memiliki serat halus kadar
lignin yang rendah. Serangan hama Oryxtes sp menimbulkan kerugian besar, karena
menyerang tanaman sawit pada bagaian batang. Pada periode umur tanaman 1-3 tahun hama Kumbang Tanduk Oryxtes sp sangat dominan. Serangan hama ini
dapat menurunkan produksi tandan buah segar TBS pada tahun pertama hingga 69 dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25 PPKS, 2008.
5.3. Analisis Sosial Ekonomi
Analisis kelayakan finansial perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan kriteria tingkat keuntungan internal Internal Rate of Return, IRR,
nilai bersih terkini Net Present Value, NPV dan rasio antara keuntungan dan biaya BC. Suatu usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai IRR lebih
besar dari tingkat suku bunga pinjaman bank. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila BC 1. Analisis dilakukan berdasarkan pola pengelolaan perkebunan
kelapa sawit yakni perkebunan rakyat dan perkebunan besar negaraswasta PBNPBS. Nilai kelayakan didasarkan atas harga TBS sebesar Rp 1.400 kg
-1
dengan umur produktivitas tanaman menghasilkan TM hingga 25 tahun perhitungan produksi dimulai pada tahun ke 4 setelah penanaman. Pada
perkebunan sawit pola perkebunan rakyat produktivitas berkisar 14 – 22 ton TBS ha
-1
th
-1
. Sedangkan pada PBNPBS produktivitas kelapa sawit berkisar 19 – 30 ton TBS ha
-1
th
-1
. Hasil analisis finansial menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa
sawit pola perkebunan rakyat 1 ha mempunyai nilai IRR = 27, NPV discount rate
17 = Rp 32,94 juta ha
-1
th
-1
dan BC = 1,45. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit skala perusahaanindustri 6.000 ha mempunyai nilai IRR = 34 ,
NPV discount rate 17 Rp. 242.797.776.924 dan BC 3,2 Lampiran 10. Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut dapat dinyatakan bahwa
pembangunan perkebunan kelapa sawit layak untuk diusahakan. Hasil penelitian Herman et al. 2009 menyebutkan bahwa pada lahan gambut layak
dikembangkan perkebunan sawit dengan hasil analisis finansial menunjukkan nilai IRR = 28,25 , NPV discount rate 15 = Rp 39 juta ha
-1
th
-1
dan BC = 1,77.
Kebutuhan hidup layak KHL masyarakat pekebun di perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti dipaparkan pada Tabel 23.
Tabel 23. Kebutuhan hidup layak KHL pekebun perkebunan kelapa sawit
1
Jenis Pengeluaran
Kg Beras
Harga Beras Rp kg
-1 2
Pengeluaran Rp orang
-1
th
-1
Jumlah Anggota
Keluarga
3
Kebutuhan Rp KK
-1
th
-1
KFM
4
100 320
7.000 2.240.000
5 11.200.000
Pendidikan 50
160 7.000
1.120.000 5
5.600.000 Kesehatan
50 160
7.000 1.120.000
5 5.600.000
SosialTabungan 50
160 7.000
1.120.000 5
5.600.000 KHL
5
5.600.000 28.000.000
Keterangan : 1 dimodifikasi dari Monde 2008
2 rata-rata harga beras di Kabupaten Bengkalis-Meranti pada saat penelitian 3 rata-rata jumlah anggota keluarga 4,6 orang dibulatkan menjadi 5 orang
4 KFM Kebutuhan Fisik Minimum =pangan, sandang dan papan
Kelayakan perkebunan kelapa sawit dapat dinilai dari prospek perkebunan dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum KHM dan kebutuhan hidup layak
KHL tahunan pekebun. Keluarga tani dinyatakan hidup layak jika telah memenuhi kebutuhan hidup meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan,
kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk pengeluaran di daerah pedesaan 240 – 320 kg beras orang
-1
th
-1
, sedangkan untuk wilayah perkotaan 360 – 480 kg beras orang
-1
th
-1
Sayogyo, 1977.
Kebutuhan fisik minimum KFM mempunyai proporsi maksimal yang mencapai 100 dibandingkan dengan pendidikan, kesehatan dan sosial yang
masing-masing 50 . Berdasarkan pola konsumsi pengeluaran rumah tangga pedesaan nilai KFM 100 rata-rata untuk makanan mencapai 70 dan sisanya
30 untuk keperluan sandang dan papan. Pengeluaran untuk makanan bila dirinci menurut nilai gizi terdiri dari 35 karbohidrat, 11,12 protein dan 13,08
buah dan sayuran serta 10,8 untuk berbagai makanan lainnya Kasryno dan Suryana,1996. Sedangkan konsumsi beras penduduk di Indonesia mencapai
139,15 kg orang
-1
th
-1
Firdaus et al. 2008; Nainggolan, 2008; BKP, 2009. Menurut Sinukaban 2007 jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh
keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal adalah setara dengan 320 kg beras setahun x harga Rp kg
-1
x jumlah anggota keluarga x 2,5. Perincian kebutuhan hidup layak minimal antara lain : 1 nilai setara 320 kg beras orang
-1
th
-1
untuk kebutuhan fisik minimum pangan, sandang dan papan yaitu 8,89 kg beras x 3 x
12 bl = 320 kg beras orang
-1
th
-1
100 ; 2 kebutuhan kesehatan dan rekreasi : 50 x 320 kg beras orang
-1
th
-1
; 3 kebutuhan pendidikan : 50 x 320 kg beras orang
-1
th
-1
dan 4 kebutuhan sosial : 50 x 320 kg beras orang
-1
th
-1
. Kebutuhan hidup layak KHL bagi keluarga pekebun yang berjumlah 5
orang di Kabupaten Bengkalis-Meranti mencapai Rp. 28.000.000 th
-1
Tabel 23. Jumlah tersebut masih bersifat kebutuhan hidup layak bagi keluarga pekebun.
Selanjutnya perlu diketahui luas lahan perkebunan kelapa sawit minimal yang diperlukan untuk kehidupan pekebun. Luasan lahan minimum usaha tani Lmin
agar memenuhi KHL dapat diperoleh dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih per 2 ha kebun sawit Pb atau dengan persamaan : L min = KHL Pb
-1
Monde, 2008 . Untuk sampai kepada hasil-hasil analisis tersebut maka data usaha tani kelapa sawit yang digunakan adalah data aliran dana cash flow atau
pengeluaran dan penerimaan kegiatan perkebunan kelapa sawit untuk periode untuk 25 tahun kegiatan produksi tanaman menghasilkan dengan memanfaatkan
modal pinjaman bank dengan tingkat diskonto atau nilai bunga 17 th
-1
. Pendapatan bersih dari perkebunan sawit seluas 2 ha rata-rata pada kondisi
eksisting sebesar Rp.27.687.936 th
-1
. Pendapatan rata-rata pekebun eksisting menunjukkan bahwa luas kebun sawit 2 ha hampir memenuhi KHL
Rp.28.000.000 dengan kekurangan sebesar Rp 312.064. Pendapatan pekebun pekebun dapat ditingkatkan dengan melakukan perbaikan pada input produksi,
sehingga pendapatan pekebun dapat memenuhi KHL. Dengan demikian luas lahan perkebunan kelapa sawit rakyat minimal 2 ha untuk dapat memenuhi KHL.
Kepemilikan lahan 2 ha oleh pekebun kelapa sawit memberikan keuntungan tetapi tidak cukup untuk dapat meningkatkan kesejahteraan pekebun.
Dengan reformasi agraria pada lahan tidur dialih fungsikan untuk pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola patungan dan meredistribusikannya pada
pekebun dengan luasan 4 ha untuk setiap KK pekebun, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan pendapatan,
kemiskinan dan pengangguran Suroso, 2008. Untuk memperoleh luas lahan gambut optimal Lopt agar memenuhi
KHL dilakukan dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih setiap 2 ha kebun sawit Pb ditambah Lmin atau dengan persamaan : L opt = KHL Pb
+ Lmin. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan optimal yang diusahakan
untuk memperoleh pendapatan optimal pekebun perkebunan sawit rakyat seluas 3 ha. Sedangkan luas lahan maksimal Lmak diperoleh dengan persamaan : L mak
= KHL Pb + Lopt. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan maksimal yang
diusahakan untuk memperoleh pendapatan maksimal pekebun perkebunan sawit rakyat seluas 4 ha.
Usaha perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi untuk dikembangkan, berdasarkan RTRW Provinsi Riau arahan peruntukan areal pengembangan
perkebunan mencapai 3.300.767,5 ha. Sedangkan realisasi pembangunan perkebunan hingga tahun 2008 mencapai 2.857.567,65 ha, sehingga terdapat
potensi lahan yang dapat dikembangkan seluas 443.199,85 ha yang tersebar pada berbagai kabupaten di Provinsi Riau. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk
perkebunan kelapa sawit mencapai 45.608 ha di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Dengan demikian perluasan perkebunan kelapa sawit rakyat dapat dilakukan
dimasa yang akan datang. Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis-Meranti 738.996 jiwa pada tahun
2008 dengan jumlah pekebun 28.322 KK. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 45.608 ha. Bila diasumsikan jumlah KK
pekebun tidak mengalami perubahan di Kabupaten Bengkalis-Meranti, maka potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit rakyat
mencapai 1,61 ha KK
-1
. Dengan demikian potensi lahan yang dapat dikembangkan secara maksimal untuk perkebunan kelapa sawit 3,6 ha KK
-1
. Pendapatan pekebun pada lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan
berdasarkan fisiografi lahan. Pada fisiografi lahan gambut Tipe C gambut transisi menunjukan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan Tipe B gambut
pantai. Perbedaan pendapatan pekebun lebih disebabkan oleh faktor umur tanaman sawit pada lahan gambut transisi yang mencapai produktivitas puncak
yakni 10-16 tahun. Sedangkan pada gambut pantai pengusahaan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat relatif baru yakni 5 – 8 tahun.
Meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan pada pengeluaran rumah tangga pekebun pada berbagai tipe lahan gambut, seperti
yang dipaparkan pada Tabel 24. Tabel 24. Jenis pengeluran rumah tangga pekebun Rp bulan
-1
perkebunan kelapa sawit pada berbagai fisiografi lahan gambut.
No Jenis pengeluaran
Gambut Pantai Gambut Transisi
Nilai Rp. Nilai Rp.
1 Pangan
458,490.57 25.43 522,800.00 30.90 2
Sandang 185,849.06 10.31 168,800.00 9.98
3 Rumah Tangga
234,905.66 13.03 107,200.00 6.34 4
Pendidikan 136,792.45 7.59 174,000.00 10.28
5 Kesehatan
72,641.51 4.03 69,200.00 4.09 6
Penerangan 176,415.09 9.79 131,840.00 7.79
7 TransfortasiBahan Bakar
243,396.23 13.50 206,000.00 12.18 8
Kegiatan Sosial 98,113.21 5.44 106,000.00 6.27
9 Agama
95,283.02 5.29 81,600.00 4.82 10 Komunikasi
100,943.40 5.60 124,400.00 7.35 Jumlah
1,802,830.19 100,00
1,691,840.00 100,00
Pendapatan pekebun yang tinggi tidak diikuti oleh tingkat pengeluaran, dimana pada gambut transisi pengeluaran pekebun lebih kecil dibandingkan pada
tipe lahan gambut pantai. Berdasarkan jenis pengeluaran menunjukkan pola pengeluaran pekebun yang hampir sama pada fisiografi lahan gambut pantai dan
transisi. Kebutuhan pangan, sandang, rumah tangga dan pendidikan menjadi
komponen utama pada struktur pengeluaran rumah tangga pekebun sawit. Pengeluaran bahan bakar merupakan komponen yang cukup besar, hal ini
disebabkan oleh ketersedian energi listrik yang berasal dari PLN masih terbatas. Sumber energi umumnya masih tergantung pada listrik desa atau diusahakan
secara swadaya yang membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Riau dapat mengurangi
ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar kabupatenkota. Selain itu, juga dapat menciptakan
multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Aktivitas
pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Meningkatnya ekspor
yang berasal dari produk turunan kelapa sawit CPO dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah. Kegiatan perkebunan memberi manfaat terhadap
ekonomi pedesaan antara lain: 1 memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2 peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; 3 memberikan
kontribusi terhadap pembangunan daerah. Suroso 2008 menyatakan bahwa kebijakan peningkatan stimulus
ekonomi, peningkatan ekspor dan investasi pada perkebunan kelapa sawit rakyat, perkebunan besar dan industri pengolahan kelapa sawit dapat meningkatkan
output bruto sektoral dan pendapatan seluruh golongan rumah tangga. Perkebunan
kelapa sawit rakyat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap output bruto sektoral dan mampu mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih merata
dibandingkan jika stimulus ekonomi diberikan pada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Stimulus ekonomi pada industri pengolahan kelapa sawit juga
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap output bruto sektoral dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar dan industri
pengolahan lainnya, tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi perkebunan kelapa sawit rakyat. Namun demikian kontribusinya terhadap
pendapatan rumahtangga masih lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit rakyat dan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar.
Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar antara lain : 1
kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; 2 pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana
jalan darat; 3 penyerapan tenaga kerja lokal; 4 penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; 5 pembayaran kewajiban perusahaan terhadap negara
pajak-pajak dan biaya kompensasi lain. Stimulus ekonomi kepada perkebunan kelapa sawit rakyat akan
mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan stimulus ekonomi kepada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Selain itu,
peningkatan investasi masing masing sebesar 10 pada perkebunan kelapa sawit rakyat, kelapa sawit perusahaan besar dan industri pengolahan sawit mempunyai
dampak yang positif terhadap pendapatan sektoral pada daerah Suroso, 2008.
5.4. Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan