Kontribusi Sektoral dalam Permintaan Antara
Tabel 4.4. Struktur PDB menurut Lapangan Usaha Sektor
Struktur PDB menurut Lapangan Usaha 1971
1975 1980
1985 1990
1995 2000
2005 2008
Primer
37,35 44,90
49,09 37,03
32,42 25,14
28,89 24,64
26,88
1
30,09 26,32
23,36 22,11
20,08 17,47
16,62 13,62
15,82
2
7,26 18,58
25,73 14,92
12,34 7,68
12,27 11,02
11,06
Sekunder
21,19 19,25
17,39 23,21
26,98 31,40
33,69 35,22
36,75
3
15,67 13,36
11,57 16,43
20,58 23,65
27,47 27,10
27,17
4
0,94 0,61
0,48 0,41
0,72 1,08
0,61 0,94
0,89
5
4,58 5,27
5,34 6,37
5,68 6,67
5,60 7,19
8,69
Tersier
41,45 35,85
33,52 39,76
40,61 43,45
37,42 40,14
36,37
6
19,28 14,89
13,94 14,77
15,76 15,54
14,72 15,06
13,20
7
7,69 5,62
4,57 5,89
6,43 6,94
4,76 6,76
6,47
8
3,81 4,44
4,87 6,56
7,89 11,69
8,45 8,32
7,41
9
10,67 10,90
10,13 12,55
10,52 9,30
9,50 10,00
9,29
Peranan sektor-sektor primer dalam pembentukan nilai tambah bruto memiliki kecenderungan yang terus menurun, kecuali sektor “pertambangan
batubara dan biji logam 24” yang kontribusinya terus meningkat. Pemberlakuan
Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberi keleluasan pada pemerintah daerah dalam mengeksplorasi mineral
dan batubara sejalan dengan era otonomi daerah mengakibatkan produksi sektor ini terus meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 25.
Kontribusi sektor sekunder dalam pembentukan nilai tambah bruto seperti terlihat pada Lampiran 26 dari tahun ke tahun cenderung meningkat kecuali sektor
“industri tepung 30” dan “industri gula 31” yang cenderung turun. Kontribusi terbesar dimiliki oleh sektor “bangunan 52” yang cenderung meningkat dari
4,58 persen pada tahun 1971 menjadi 8,69 persen pada tahun 2008. Sektor lain yang terlihat meningkat secara signifikan adalah sektor “pengilangan minyak
bumi 41”. Penurunan produktifitas pabrik gula yang usianya relatif sudah tua
mengakibatkan inefisiensi industri gula Mardianto, et. al. 2005 sementara industri tepung tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku utama seperti
gandum Deptan 2008. Peningkatan nilai tambah bruto sektor “bangunan 52”
lebih disebabkan oleh pengeluaran pemerintah melalui desentralisasi fiskal yang mengiringi otonomisasi Ruky 2008.
Kontribusi sektor “perdagangan 53” merupakan yang terbesar disektor
tersier namun peranannya perlahan-lahan terus menurun dari 17,65 persen pada tahun 1971 hingga menjadi 10,27 persen pada tahun 2008. Hal ini diperlihatkan
oleh Lampiran 27. Sektor-sektor tersier lain terlihat berfluktuasi pada kisaran angka dibawah 4 persen. S
ektor “jasa sosial kemasyarakatan 64” memperlihatkan tren positif seiring peningkatan kebutuhan masyarakat akan jasa
sosial kemasyarakatan dan mengindikasikan pergeseran pola konsumsi akibat adanya peningkatan pendapatan.
49,09
21,19 19,25
17,39 23,21
26,98 37,35
44,90 37,03
32,42 25,14
28,89 24,64
26,88 31,40
33,69 35,22
36,75 41,45
35,85 33,52
39,76 40,61
43,45 37,42
40,14 36,37
10 20
30 40
50
1971 1975
1980 1985
1990 1995
2000 2005
2008
primer sekunder
tersier
Gambar 4.1. Struktur PDB Struktur PDB menurut lapangan usaha memperlihatkan terjadinya
transformasi struktural yang ditandai oleh kecenderungan menurunnya peranan sektor primer diiringi peningkatan peran sektor skunder Gambar 4.1. Berbeda
dengan struktur PDB menurut lapangan usaha yang memperlihatkan terjadinya transformasi struktural, perubahan pangsa tenaga kerja tidak berjalan seiring
Gambar 4.2.
64,4 61,3
57,2 56,8
56,6 48,1
45,3 45,5
45,4
13 14,9
16,9 16,7
16,8 27,4
28,3 30,5
30,6 30,4
37 37,8
37,8 37,8
8,2 10,4
12,3 12,6
20 40
60
1971 1975
1980 1985
1990 1995
2000 2005
2008
primer sekunder
tersier
Gambar 4.2. Pangsa Tenaga Kerja menurut Sektor