Komposisi Permintaan Agregat Struktur Permintaan dan Penawaran

Pada tahun 1971 tenaga kerja sektor primer sebesar 64,4 persen dan sektor sekunder 8,2 persen. Tahun 2008 tenaga kerja di sektor primer menjadi 45,4 persen sedangkan sektor sekunder 16,8 persen. Tenaga kerja sektor tersier meningkat dari 27,4 persen pada tahun 1971 menjadi 37,8 persen tahun 2008. Pergeseran peran sektor primer oleh sektor sekunder tidak mampu menyerap kelebihan tenaga kerja dari sektor primer sehingga berdampak pada meningkatnya pengangguran Hayashi, 2005.

4.2.3.. Analisis Pengganda 4.2.3.1. Analisis Pengganda Output

Peran suatu sektor dalam analisis input output dapat diukur dari besaran dampak pengganda multiplier dan koefisien keterkaitannya. Secara umum dari Tabel 4.5 terlihat bahwa besaran pengganda output output multiplier rata-rata seluruh sektor pada awalnya turun dari 1,66 pada tahun 1971 menjadi 1,60 pada tahun 1975 dan selanjutnya terus meningkat hingga akhirnya menjadi 1,87 pada tahun 2008 yang berarti peningkatan satu rupiah permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan output total sebesar 1.870 rupiah nilai output diukur dalam ribuan rupiah. Tabel 4.5. Angka Pengganda Output Rata-rata Sektor Angka Pengganda Output Terbuka 1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Total 1,66 1,60 1,68 1,73 1,76 1,76 1,81 1,83 1,87 Primer 1,23 1,22 1,30 1,34 1,37 1,39 1,42 1,45 1,52 Sekunder 2,05 2,03 2,12 2,16 2,18 2,13 2,15 2,18 2,18 Tersier 1,72 1,51 1,57 1,64 1,70 1,74 1,92 1,90 1,94 Demikian pula halnya dengan angka pengganda output rata-rata sektor primer, pada tahun 1971 sebesar 1,23 persen turun menjadi 1,22 pada tahun 1975 dan selanjutnya terus meningkat hingga mencapai 1,52 pada tahun 2008. Pergerakan angka pengganda output rata-rata sektor tersier searah dengan angka pengganda output rata-rata sektor primer, berbeda dengan pergerakan angka pengganda output rata-rata sektor sekunder yang lebih berfluktuasi. Angka pengganda output rata-rata sektor sekunder selalu lebih tinggi dibanding sektor primer, tersier maupun angka pengganda output rata-rata seluruh sektor, sedangkan angka pengganda output sektor primer adalah yang terkecil. Angka-angka pengganda output sektor primer secara umum cenderung meningkat walaupun peningkatannya relatif kecil Lampiran 28. Sampai dengan tahun 2008 hanya ada tiga sektor yang memiliki besaran angka pengganda output lebih dari 2, yaitu sektor “tembakau 11”, “pemotongan hewan 19” dan “unggas dan hasil- hasilnya 20”. Sebagian besar angka pengganda output sektor-sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Lampiran 29 bernilai lebih besar dari 2 dan hanya terdapat lima sektor yang bernilai kurang dari 2, antara lain adalah sektor “pengilangan minyak bumi 41”, “industri rokok 34”, “industri semen 44”, “industri barang mineral bukan logam 43” dan “industri pupuk dan pestisida 39”. Tiga sektor yang disebut terakhir bahkan juga nyaris mendekati nilai 2. Angka-angka pengganda output sektor tersier relatif lebih besar daripada angka pengganda output sektor primer. Sampai dengan tahun 2008 sebagian besar nilainya lebih dari 1,5 kecuali sektor “komunikasi 60” yang hanya sebesar 1,39 atau menurun dari 1,80 pada tahun 1971 Lampiran 30.

4.2.3.2. Analisis Pengganda Pendapatan

Pengganda pendapatan income multiplier dihitung dari data upahgaji, yang menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga sebagai akibat peningkatan permintaan akhir. Secara umum dari Tabel 4.6 terlihat bahwa besaran pengganda pendapatan rata-rata seluruh sektor pada awalnya turun dari 2,18 pada tahun 1971 menjadi 1,79 pada tahun 1975 dan kembali meningkat menjadi 1,92 pada tahun 1980. Selanjutnya menjadi 2,07 pada tahun 1985 dan cenderung konstan pada kisaran 1,99 sampai dengan tahun 2008 yang berarti peningkatan satu rupiah permintaan akhir akan menyebabkan peningkatan pendapatan total sebesar 1.990 rupiah nilai diukur dalam ribuan rupiah. Tabel 4.6. Angka Pengganda Pendapatan Rata-rata Sektor Angka Pengganda Pendapatan 1971 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2008 Total 2,18 1,79 1,92 2,07 1,99 1,97 1,99 1,98 1,99 Primer 1,79 1,24 1,33 1,30 1,36 1,37 1,33 1,41 1,47 Sekunder 2,88 2,46 2,71 3,14 2,83 2,75 2,64 2,67 2,62 Tersier 1,58 1,57 1,52 1,52 1,62 1,61 1,99 1,73 1,77 Pergerakan angka pengganda pendapatan disektor primer diawali penurunan pada tahun 1975 dan cenderung meningkat pada periode 1980-2008 dengan sedikit kontraksi pada 1985 dan 2000. Pergerakan angka pengganda pendapatan sektor sekunder dan tersier terlihat fluktuatif dengan kecenderungan yang sedikit berbeda. Sektor tersier cenderung meningkat, sementara sektor sekunder cenderung menurun tetapi nilai pengganda pendapatan sektor sekunder jauh lebih tinggi daripada sektor tersier. Angka pengganda pendapatan sektor “pemotongan hewan 19” merupakan yang tertinggi disektor primer sejak tahun 1971 namun terus menurun sampai tahun 2008. sebagian besar angka pengganda pendapatan sektor-sektor primer bernilai kurang dari 1,5 Lampiran 34. Angka pengganda pendapatan sektor-sektor sekunder relatif lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor primer maupun tersier dengan pergerakan yang fluktuatif seperti terlihat pada Lampiran 35. Sektor “industri penggilingan padi 29” dan “industri dasar besi dan baja 45” bahkan memiliki nilai lebih dari 4 dan hanya ada empat sektor yang nilainya kurang dari 2 yaitu sektor “industri pupuk dan pestisida 39”, “pengilangan minyak bumi 41’, “industri barang mineral bukan logam 43” dan “industri barang loga m 47”. Angka-angka pengganda pendapatan sektor-sektor tersier yang disajikan pada Lampiran 36 terlihat lebih moderat dengan kecenderungan meningkat selama periode pengamatan, kecuali sektor “restoran dan hotel 54” dan “komunikasi 60” yang cenderung menurun. Nilai angka pengganda pendapatan sektor “angkutan air 57’ dan “angkutan udara 58” merupakan yang terbesar. Angka pengganda pendapatan sektor tersier yang terlihat tinggi menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan yang relatif besar akan terjadi seiring peningkatan permintaan akhir sektor tersebut. Peningkatan angka pengganda pendapatan akan lebih berdampak pada perekonomian ketika peningkatan tersebut terjadi pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.

4.2.4. Analisis Ketergantungan Ekspor

Derajat ketergantungan ekspor menunjukkan proporsi produksi suatu sektor yang secara langsung maupun tidak langsung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, dengan kata lain indikator ini menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat ketergantungan ekspor suatu sektor berarti semakin besar ketergantungan ekspor terhadap sektor tersebut. Pada Lampiran 40 terlihat bahwa s ektor “kelapa sawit 10”, “kopi 12”, “tanaman perkebunan lain 16”, “pertambangan batubara 24 ” dan “pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25” adalah sektor-sektor primer yang memiliki derajat ketergantungan ekspor yang tinggi. Sektor “kelapa sawit 10” dan “kopi 12” memiliki derajat ketergantungan ekspor yang cenderung meningkat, sementara tiga sektor lainnya relatif konstan. Meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit tidak sebanding dengan perkembangan industri yang mengolah hasil perkebunan tersebut sehingga menjadikan sektor ini sangat bergantung pada permintaan ekspor. Sektor “pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25” memang merupakan sumber utama devisa negara sehingga ketergantungan ekspornya relatif tinggi, disamping itu juga disebabkan oleh tidak adanya industri pengolahan lanjutan dari hasil produksi sektor tersebut. Derajat ketergantungan ekspor sebagian besar sektor-sektor sekunder cenderung mengalami peningkatan yang relatif kecil dan mengalami kontraksi pada periode setelah tahun 2000 seperti terlihat pada Lampiran 41. Namun demikian terdapat beberapa sektor yang mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu sektor “industri minyak dan lemak 28”, “industri pemintalan 35” dan “industri logam dasar bukan besi 46”. Peningkatan yang terjadi lebih terlihat pada sektor-sektor sekunder yang memanfaatkan sektor primer sebagai input dalam proses produksinya. Sementara kontraksi yang terjadi setelah tahun 2000 pada beberapa sektor sekunder awalnya disebabkan oleh krisis ekonomi global. Daya beli beberapa negara tujuan ekspor Indonesia mengalami penurunan pasca krisis ekonomi. Selanjutnya era perdagangan bebas menuntut daya saing produk yang tinggi untuk dapat bertahan di pasar internasional. Dibagian lain sebagaimana terlihat pada Lampiran 43-45 disajikan angka pengganda ekspor terhadap output. Angka pengganda ekspor terhadap output dapat mengukur dampak aktivitas ekspor dari suatu sektor terhadap peningkatan output bagi perekonomian secara keseluruhan. Angka pengganda ekspor terhadap output sektor “pertambangan batubara dan biji logam 24” dan “pertambangan