keterkaitan suatu sektor dengan aktivitas ekspor. Semakin tinggi derajat ketergantungan ekspor suatu sektor berarti semakin besar ketergantungan ekspor
terhadap sektor tersebut. Pada Lampiran 40 terlihat bahwa s ektor “kelapa sawit
10”, “kopi 12”, “tanaman perkebunan lain 16”, “pertambangan batubara 24
” dan “pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25” adalah sektor-sektor primer yang memiliki derajat ketergantungan ekspor yang tinggi.
Sektor “kelapa sawit 10” dan “kopi 12” memiliki derajat ketergantungan ekspor yang
cenderung meningkat, sementara tiga sektor lainnya relatif konstan. Meningkatnya luasan perkebunan kelapa sawit tidak sebanding dengan
perkembangan industri yang mengolah hasil perkebunan tersebut sehingga menjadikan sektor ini sangat bergantung pada permintaan ekspor. Sektor
“pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25” memang merupakan sumber utama devisa negara sehingga ketergantungan ekspornya relatif tinggi, disamping
itu juga disebabkan oleh tidak adanya industri pengolahan lanjutan dari hasil produksi sektor tersebut.
Derajat ketergantungan ekspor sebagian besar sektor-sektor sekunder cenderung mengalami peningkatan yang relatif kecil dan mengalami kontraksi
pada periode setelah tahun 2000 seperti terlihat pada Lampiran 41. Namun demikian terdapat beberapa sektor yang mengalami peningkatan cukup signifikan
yaitu sektor “industri minyak dan lemak 28”, “industri pemintalan 35” dan
“industri logam dasar bukan besi 46”. Peningkatan yang terjadi lebih terlihat pada sektor-sektor sekunder yang memanfaatkan sektor primer sebagai input
dalam proses produksinya. Sementara kontraksi yang terjadi setelah tahun 2000 pada beberapa sektor sekunder awalnya disebabkan oleh krisis ekonomi global.
Daya beli beberapa negara tujuan ekspor Indonesia mengalami penurunan pasca krisis ekonomi. Selanjutnya era perdagangan bebas menuntut daya saing produk
yang tinggi untuk dapat bertahan di pasar internasional. Dibagian lain sebagaimana terlihat pada Lampiran 43-45 disajikan angka
pengganda ekspor terhadap output. Angka pengganda ekspor terhadap output dapat mengukur dampak aktivitas ekspor dari suatu sektor terhadap peningkatan
output bagi perekonomian secara keseluruhan. Angka pengganda ekspor terhadap output sektor “pertambangan batubara dan biji logam 24” dan “pertambangan
minyak, gas dan panas bu mi 25” merupakan yang terbesar di sektor primer akan
tetapi arah pergerakannya berbeda dimana sektor “pertambangan batubara dan biji
logam 24” cenderung meningkat sedangkan sektor “pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25” cenderung turun. Aktivitas ekspor sektor primer yang
berdampak pada peningkatan output sangat bergantung pada sumberdaya alam tak terbarukan un renewable resources sehingga tidak menjamin keberlanjutannya
sebagai mesin pertumbuhan. Pada sektor sekunder
, sektor “industri lemak dan minyak 28” dan “pengilangan minyak bumi 41” memiliki angka pengganda ekspor terhadap
output yang terbesar dengan kecenderungan meningkat, berbeda dengan sektor “industri barang karet dan plastik 42” yang cenderung menurun. Daya saing
produk menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada ekspor sektor sekunder yang menghasilkan barang-barang konsumsi. Derajat ketergantungan ekspor sektor-
sektor tersier relatif rendah seperti terlihat pada Lampiran 42, demikian pula halnya dengan angka penganda ekspornya yang terlihat pada Lampiran 45.
Kecenderungan peningkatan angka pengganda ekspor terhadap output juga terjadi pada sektor-
sektor tersier dengan nilai terbesar pada sektor “perdagangan 53”. Pada tahun 1971 angka pengganda ekspor sektor “angkutan air 57” relatif
lebih besar dibanding angka pengganda ekspor sektor tersier yang lain, tetapi menjadi relatif kecil pada periode-periode selanjutnya sampai dengan tahun 2008.
Hal ini menunjukkan bahwa dampak aktivitas ekspor sektor-sektor tersier tidak signifikan memengaruhi output perekonomian secara keseluruhan.
Tabel 4.7. Derajat Ketergantungan Ekspor Rata-rata Sektor
Derajat Ketergantungan Ekspor 1971
1975 1980
1985 1990
1995 2000
2005 2008
Total
0,16 0,17
0,18 0,19
0,26 0,13
0,58 0,27
0,25
Primer
0,22 0,24
0,25 0,24
0,29 0,01
0,95 0,26
0,24
Sekunder
0,11 0,12
0,12 0,16
0,25 0,24
0,38 0,32
0,29
Tersier
0,13 0,14
0,16 0,17
0,25 0,15
0,27 0,22
0,19
Secara umum derajat ketergantungan ekspor sepanjang periode pengamatan, rata-rata sekitar 20 persen kecuali pada tahun 2000 yang relatif
tinggi yaitu hampir 60 persen. Derajat ketergantungan ekspor tahun 2000 lebih didominasi sektor-sektor primer yang secara rata-rata sebesar 95 persen Tabel
4.7. Hal ini disinyalir sebagai salah satu faktor yang mempercepat pemulihan ekonomi pasca krisis tahun 1998.
Angka pengganda ekspor rata-rata sektor sekunder sebagaimana terlihat pada Tabel 4.9 merupakan yang terbesar diantara angka pengganda ekspor rata-
rata sektor primer maupun tersier. Aktivitas ekspor sektor-sektor sekunder secara rata-rata lebih memberi pengaruh terhadap peningkatan output perekonomian
secara keseluruhan. Angka pengganda ekspor rata-rata sektor sekunder cenderung meningkat selama periode analisis, berbeda dengan angka pengganda ekspor rata-
rata sektor primer yang cenderung turun. Tabel 4.8. Angka Pengganda Ekspor Rata-rata
Sektor Angka Pengganda Ekspor
1971 1975
1980 1985
1990 1995
2000 2005
2008 Total
0,0221 0,0183
0,0189 0,0212
0,0218 0,0219
0,0237 0,0241
0,0251
Primer
0,0255 0,0321
0,0355 0,0259
0,0170 0,0093
0,0127 0,0140
0,0149
Sekunder
0,0164 0,0071
0,0056 0,0188
0,0270 0,0325
0,0345 0,0323
0,0330
Tersier
0,0263 0,0130
0,0122 0,0168
0,0208 0,0258
0,0243 0,0279
0,0291
4.2.5. Analisis Keterkaitan
Koefisien keterkaitan merupakan indikator sejauh mana kemampuan suatu sektor menyerap input dari sektor lain atau indikator besar kecilnya peran suatu
sektor dalam pembentukan output sektor lain. Tingkat keterkaitan diukur dengan indeks keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung atau disebut
keterkaitan total total linkage yang terdiri dari keterkaitan ke belakang backward linkage dan keterkaitan ke depan forward linkage.
Tidak banyak perubahan nilai indeks keterkaitan ke belakang IBL yang terjadi pada sektor-sektor primer sebagaimana terlihat pada Lampiran 46.
Sebagian besar nilai IBL sektor primer kurang dari 1 yang mengindikasikan bahwa peningkatan output sektor primer tidak akan banyak mengakibatkan
peningkatan output sektor-sektor yang menjadi inputnya. Sampai dengan tahun 2008 hanya terdapat tiga sektor yang memiliki nilai IBL lebih besar dari 1 yaitu
sektor “tembakau 11”, “pemotongan hewan 19” dan “unggas dan hasil- hasilnya 20”.
Sebagian IBL sektor-sektor sekunder memiliki nilai lebih besar dari 1 artinya sebagian besar sektor sekunder memiliki kemampuan yang tinggi dalam
menyerap sektor-sektor lain sebagai input. Sampai dengan tahun 2008 hanya terdapat dua sektor yang memiliki nilai IBL lebih kecil dari 1 yaitu sektor
“industri rokok 34” dan “pengilangan minyak bumi 41” walaupun pada awalnya memiliki nilai IBL lebih besar dari 1 Lampiran 47.
IBL sektor-sektor tersier mengindikasikan adanya keterkaitan ke belakang yang tidak sebesar keterkaitan sektor-sektor sekunder, bahkan sampai tahun 2008
masih terdapat sektor-sektor tersier dengan nilai IBL lebih kecil dari 1. Sektor- sektor tersier tidak banyak menggunakan output sektor lain sebagai input dalam
proses produksinya. Sektor “perdagangan 53” yang memiliki kontribusi terbesar
terhadap pembentukan PDB justru memiliki IBL yang tidak pernah mencapai angka 1 sebelum tahun 2008. Indeks keterkaitan sektor komunikasi
mengindikasikan keterkaitan ke belakang yang terus berkurang dari sektor tersebut terhadap sektor lain Lampiran 48.
Sebagian besar sektor primer memiliki nilai indeks keterkaitan ke depan IFL yang lebih kecil dari 1, artinya peran sektor-sektor primer dalam
pembentukan output sektor-sektor lain juga relatif kecil. Sampai dengan tahun 2008 sektor primer yang memiliki IFL relatif
besar adalah sektor “pertambangan batubara dan biji logam 24”, “pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25”,
“padi 1” dan “peternakan 18”. Peningkatan output sektor-sektor sebagaimana
dimaksud memberi dampak pada perkembangan industri yang menggunakan produk sektor tersebut sebagai input.
Sektor-sektor primer yang memiliki output relatif besar semestinya memiliki keterkaitan ke depan yang besar pula, sehingga output tersebut dapat
memberikan nilai tambah value added dalam perekonomian secara keseluruhan. Lampiran 49 justru memperlihatkan bahwa sektor primer tidak memiliki derajat
kepekaan yang tinggi. Analisis pada bagian sebelumnya tentang ketergantungan ekspor juga memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor primer memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap aktivitas ekspor. Permintaan akhir yang tinggi terhadap produk sektor primer mengakibatkan derajat kepekaannya menjadi
rendah. Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bahan mentah terutama
produk pertanian antara lain bertujuan untuk menciptakan nilai tambah pada perekonomian secara keseluruhan. Daya penyebaran yang tinggi pada sektor-
sektor sekunder tidak diikuti derajat kepekaan yang tinggi pada sektor-sektor primer. Hal ini mengindikasikan tidak adanya link and match antara industri yang
dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Strategi industrialisasi yang kurang tepat menyebabkan proses deindustrialisasi di Indonesia berjalan tidak
alami dan cenderung negatif Dewi 2010. Sektor “industri makanan lain 32”, “industri pupuk dan pestisida 39’,
“pengilangan minyak bumi 41”, “industri barang karet dan plastik 42”, “industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 48” dan “industri alat
pengangkutan dan perbaikannya 49” adalah sektor-sektor sekunder dengan IFL
yang bernilai lebih besar dari 1 dengan kecenderungan meningkat. Sementara sektor “industri kertas, barang dari kertas dan karton 38”, “industri dasar besi
dan baja 45”, dan “listrik, gas dan air minum 51” yang juga mempunyai nilai
IFL lebih besar dari 1 namun cenderung menurun. Sektor lain dengan IFL bernilai lebih besar dari 1 adalah sektor “industri kimia 40” dan “bangunan 52” dengan
besaran yang fluktuatif antar periode Lampiran 50. Keterkaitan yang tinggi antar sektor dalam sektor sekunder akan mengakibatkan terjadinya proses aglomerasi.
Selanjutnya aglomerasi yang terjadi diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jika didukung atau berbasis pada sektor primer.
Indeks keterkaitan ke depan sektor-sektor tersier disajikan pada Lampiran 51.
Sektor “perdagangan 53” adalah sektor tersier dengan IFL tertinggi sejak tahun 1971 dengan kecenderungan yang menurun. Sektor tersier lain yang
memiliki nilai IFL lebih besar dari 1 adalah sektor “angkutan darat 56, “lembaga keuangan 61”, “usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan 62”, dan “jasa
lain 65”. Peranan sektor tersier akan menjadi semakin signifikan ketika proses
industrialisasi berjalan mulus diikuti proses deindustrialisasi positif yang terjadi secara alamiah sebagaimana terjadi pada negara-negara industri.
4.2.6. Analisis Peran Sektoral
Hubungan antara tren pangsa output dan tren pangsa permintaan antara terlihat pada Gambar 4.3 yang mengelompokkan sektor kedalam kuadran urutan
kuadran dibaca mulai dari kanan atas berlawanan arah jarum jam. Kuadran
pertama memperlihatkan sektor-sektor yang semakin besar kontribusinya pada pertumbuhan output sekaligus semakin dibutuhkan dalam proses produksi sektor
lain. Kuadran ini ditempati antara lain oleh sektor pertambangan selain minyak dan gas, sektor industri padat modal, sektor jasa teknologi informasi dan moda
transportasi modern. Sementara kuadran ketiga ditempati subsektor pertanian tanaman pangan, moda transportasi dan beberapa industri pengolah produk
pertanian seperti “industri tepung 30”, “industri gula 31” dan “industri rokok 34”. Permasalahan bahan baku, inefisiensi produksi dan penurunan pangsa pasar
menjadi faktor penyebab menurunnya tren pangsa output sektor industri tersebut.
Gambar 4.3. Plot Tren Pangsa Output dan Tren Pangsa Permintaan Antara Tren pangsa permintaan antara
sektor “pertambangan minyak, gas dan panas bumi 25” yang positif memperlihatkan sektor ini semakin dibutuhkan,
namun dengan tren pangsa output yang negatif menjadikannya sebagai pencilan di kuadran kedua. Hal ini diakibatkan menurunnya eksplorasi dan produksi.
Sektor-sektor ekonomi dituntut untuk mengadopsi teknologi untuk mampu memaksimalkan output sesuai tuntutan modernisasi di era informasi dan
teknologi.
64 52
24 62
40 61
48
56 53
29 30
1 25
42 38
60 41
7,00 5,00
3,00 1,00
1,00 4,50
3,00 1,50
- 1,50
3,00
trend pangsa output tr
e n
d p
a n
g sa
p e
rm in
ta a
n a
n ta
ra
47 49
28
37 36
45 54
32
51 27
46 20
58 35
26 10
39 50
17 43
44 16
23 33
55 15
57 3
8 13
19
18 22
66 11
14 59
12 7
5 6
63
2 9
65 34
31 4
21
0,70 0,35
- 0,35
0,70
0,70 0,35
- 0,35
0,70