berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena
pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi. Terjadi
tahap kedua, munculnya ketegangan dan kekerasan. Selanjutnya, terjadi bulan madu kembali. Demikian seterusnya lingkaran kekerasan ini berputar
jalin-menjalin sepanjang waktu. Kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku yang disebabkan oleh
suatu kebutuhan untuk mengendalikan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terentang dari ancaman, mengganggu percakapan telepon dan
pembuntutan seperti mengikuti korban ke dan dari pekerjaan, dan mengancam korban, hingga sentuhan seksual yang tidak dikehendaki dan
pemukulan. Kekerasan ini juga dapat didefinisikan sebagai seseorang merusak milik pasangannya.
33
Kebanyakan perempuan menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan suaminya adalah kekhilafan sesaat. Dan biasanya suami terus
minta maaf, bersikap mesra lagi pada istrinya. Biasanya, suami melakukan kekerasan fisik dengan pola perputaran sebagai berikut:
34
a. Rasa cinta: Ketika suami melakukan kekerasan pada istri, istri biasanya
menunjukkan rasa sayang dan cintanya pada suami, memaklumi,
33
Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 29.
34
Kholifah, “Sikap Islam terhadap Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga,” h. 123.
mencoba untuk mengerti. b.
Berharap: Istri selalu berharap suami akan berubah menjadi baik, sehingga selalu bersabar.
c. Teror: Biasanya setelah suami dimaafkan istri, maka hari-hari berikutnya
jika menghadapi masalah keluarga suami kembali melakukan teror, mengancam, menakut-nakuti akan dipukul, ditinggal, dan sebagainya.
Istri kembali menangis, memaafkan, memaklumi, bersabar dan berharap suami berubah, sampai suami kembali melakukan kekerasan. Demikian
seterusnya. Ini adalah siklus perputaran terjadinya kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga dalam prakteknya sulit diungkap karena beberapa sebab. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga terjadi
dalam lingkup kehidupan rumah tangga yang dipahami sebagai urusan yang bersifat privasi, dimana orang lain tidak boleh ikut campur intervensi.
Kedua, pada umumnya korban istrianak adalah pihak yang secara struktural lemah dan mempunyai ketergantungan khususnya secara
ekonomi dengan pelaku suami. Dalam posisi ini, korban pada umumnya selalu mengambil sikap diam atau bahkan menutup-nutupi tindak kekerasan
tersebut, karena dengan membuka kasus kekerasan dalam rumah tangga ke publik berarti membuka aib keluarga. Ketiga, kurangnya pengetahuan dan
kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak hukum yang dimilikinya. Keempat, adanya stigma sosial bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami
dipahami oleh masyarakat sebagai hal yang mungkin dianggap wajar dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang memang mempunyai
otoritas untuk melakukannya. Pada posisi ini, korban sering enggan melaporkan kepada aparat penegak hukum karena khawatir justru akan
dipersalahkan blame the victim.
35
4. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pada dasarnya bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak berbeda dengan bentuk
kekerasan lainnya tetapi didalamnya terdapat hubungan yang saling menyakiti, dan adanya tujuan pelaku untuk melestarikan kekuasaan dan
kendali atas pasangannya.
36
Kekerasan dalam rumah tangga tidak melulu harus diartikan dalam bentuk tindakan fisik memukul, menjambak, termasuk juga kekerasan
dalam bentuk psikis, seperti terus-menerus ditekan atau dipojokkan oleh keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau kata-kata kasar atau memelototi,
sudah dianggap sebagai bentuk kekerasan.
37
Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan
35
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender Purwokerto: Pusat Studi Gender, 2006, h. 50-51.
36
Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 31.
37
Mansur dan Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, h. 133-134.
dalam rumah tangga dapat berwujud:
38
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat; 2.
Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, danatau penderitaan psikis berat pada seseorang; 3.
Kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga,
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau
tujuan tertentu; 4.
Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
danatau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
38
Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Secara garis besar, bentuk-bentuk kekerasan dapat dikelompokkan dalam lima bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan verbal,
kekerasan psikologi atau emosional, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual. Seorang korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya mengalami satu
bentuk kekerasan saja, bisa jadi dia mengalami beberapa bentuk kekerasan secara berlapis kumulatif, artinya mengalami beberapa jenis kekerasan
atau kombinasi jenis-jenis kekerasan tersebut.
39
Menurut Ashcraft, Fine, Hegde, Schechter dan Walker dalam Journal of Counseling Development Vol 81 Tahun 2003, kekerasan dalam rumah
tangga mencakup bentuk perilaku sebagai berikut:
40
1. Kekerasan fisik, seperti: menghantam, mendorong, menampar, menusuk,
menendang, menggunakan senjata, melempar benda, mematahkan
barang-barang, menarik rambut, dan mengurung.
2. Kekerasan verbal, seperti: menjatuhkan, mencaci maki, mengkritik,
bersilat lidah, menghina, membuat perasaan berdosa, memperkuat
perasaan takut.
3. Kekerasan ekonomi, seperti: mempekerjakan dalam suatu pekerjaan,
memberhentikanmembatasi pekerjaan,
memanfaatkan peluang
penghasilan, meminta paksa dukungan.
4. Kekerasan dengan pengasingan sosial, seperti: mengawasi pergaulan dan
39
Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 32.
40
Nurhayati, Bimbingan, Konseling Psikoterapi Inovatif, h. 129.
ruang gerak, membatasi keterlibatan di masyarakat.
5. Kekerasan seksual, seperti: memaksa untuk melaksanakan tindakan
seksual yang tidak dikehendaki, menyeleweng, melakukan hubungan sodomi dengan kekerasan, menuduh menyeleweng, menghina cara
mencapai kepuasan seks, tidak memberi kasih sayang.
6. Mengerdilkanmenyepelekan, seperti: mudah melakukan kekerasan,
menuduh keras yang tidak terjadi, membalas dengan kekerasan,
menyalahkan melakukan kekerasan.
7. Mengintimidasi, seperti: menunjukkan perangai yang menakutkan,
menghancurkan barang
milik, melukai
binatang kesayangan,
mengancam dengan senjata, mengancam untuk meninggalkan, mengambil anak-anak, mengancam bunuh diri, mengancam untuk
mengungkapkan homoseksualitas ke masyarakat, para pekerja, keluarga,
atau mantan pasangan.
5. Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga lahir dipengaruhi oleh banyak variabel kebudayaan, hukum, politik, ekonomi dan agama yang akar
masalahnya adalah sebagai berikut:
41
1. Masyarakat memposisikan lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang
bersifat private affair urusan pribadi dan oleh karenanya orang lain
41
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h. 9.