Jadi dalam menerima pelayanan pengaduan, P2TP2A menerima klien yaitu datang langsung, melalui telepon, dan dapat juga rujukan dari
lembaga atau pihak lain.
1. Pelapor Melapor secara Langsung
Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan Bu Dini Staf Penerima Pengaduan, bahwa korban yang datang melapor langsung
mengisi formulir pengaduan. Hasil wawancaranya sebagai berikut: “Tahap berikutnya yaitu mengisi administrasi yang ada di
P2TP2A baru kita tuntun untuk mengisi formulir. Karena itu kan utama juga untuk mengisi formulir pengaduan, karena itu bukti
bahwa klien ini memang melapor ke P2TP2A dan memberikan kuasa kepada P2TP2A untuk menindaklanjuti kasusnya.”
27
Untuk memperkuat data, peneliti juga mewawancarai Bu Listya Wakil Ketua II P2TP2A, bahwa klienkorban yang datang membuat
pengaduan tertulis setelah itu ditandatangani oleh pelapor. Berikut hasil wawancaranya:
“Setelah mereka mengadu, mengadunya tadi yaa macem- macem caranya, mereka diterima oleh P2TP2A, kalo yang
langsung mereka langsung membuat pengaduan secara tertulis dan
ditandatangani oleh
mereka, karna
kalo tidak
ditandatangani, kita menjaga untuk tidak terjadi tanggung gugat, bukan tanggungjawab saja, karna ini biasanya berkaitan dengan
hukum, kalo kita tidak sesuai dengan aturan juga nanti kita yang kena malah. Oleh karna itu, kita kalo mereka datang, mereka
langsung bikin pengaduan yang ditandatangani oleh pengadu. Yang mengadu bisa kliennya, bisa keluarga korban ataupun bisa
pendampi
ng yang lain. Jadi tidak selalu harus korban.”
28
27
Wawancara Pribadi dengan Dini Kurnia, S.Si, Tangerang Selatan, 18 Maret 2015, lihat lampiran II.
28
Wawancara Pribadi dengan Hj. Listya Windyarti, S.Sos, MKM, Tangerang Selatan, 07 April 2015, lihat lampiran VI.
2. Penanganan Pengaduan melalui Telepon
Unit pelayanan penerimaan pengaduan bagi korban kekerasan harus bisa juga diakses melalui telepon. Nomor telepon pengaduan bisa
dibuat khusus hotline atau disediakan dengan menggunakan nomor telepon kantor reguler. Pengaduan melalui telepon diperlukan bagi
korban yang tidak mampu mengakses layanan dengan datang langsung. Pengaduan melalui telepon juga diperlukan bagi korban yang merasa
belum siap bertemu langsung dengan petugas penerimaan pengaduan.
29
Klienkorban KDRT yang melapor melalui telepon akan diterima seperti halnya pengaduan yang datang langsung dan ditanya
identitasnya serta permasalahannya. Sebagaimana dikatakan Bu Dini Staf Penerima Pengaduan sebagai berikut:
“Nah biasanya kalau mereka sudah mengetahui contact personnya entah itu nomor kantor atau nomor petugasnya,
mereka langsung menghubungi dulu sebelum datang ke kantor kami. Karena biasanya klien ngga langsung datang, ada yang
menanyakan informasi mengenai jam kerja kantor, layanan kantor, ada juga yang memang mereka bentrok dengan aktivitas
mereka gitu. Jadi kalau klien telpon kita terima, kita tanya identitasnya trus juga keperluannya apa, permasalahannya apa.
Kita menerima pengaduan itu sesuai pelaporan jadi kalau tidak
ada pelaporan, tidak ada pengaduan kita tidak bisa terima.”
30
Untuk memperkuat data, peneliti juga mewawancarai Bu Listya Wakil Ketua II P2TP2A mengenai penanganan pengaduan melalui
telepon. Apabila klien menelepon akan diterima dan dicatat apa yang
29
KPPPA RI, Prosedur Standar Operasional, h. 18.
30
Wawancara Pribadi dengan Dini Kurnia, S.Si, Tangerang Selatan, 18 Maret 2015, lihat lampiran II.
diadukannya. Tetapi tetap harus datang ke P2TP2A apabila kasusnya mau ditindaklanjuti. Hasil wawancaranya sebagai berikut:
“Kalo yang melalui telepon, biasanya kita catat juga, apa- apa pengaduannya, nanti kalo mau ditindaklanjuti mereka tetap
harus datang. Jadi kita tetap harus ada kontak fisik yaa karna ini kan kasus, kasus kan ngga mungkin kita hanya telpon saja.”
31
3. Penanganan Pengaduan dari Rujukan
Sering kali korban juga datang karena dirujuk oleh lembaga- lembaga lain. Dalam kasus ini, maka korban diterima sebagaimana
korban yang datang secara langsung. Perbedaannya adalah sebelum mewawancarai korban, petugas harus memeriksa terlebih dahulu surat
rujukan ataupun data-data yang dikirimkan oleh lembagaindividu perujuk. Dalam hal tidak ada surat rujukan ataupun data-data penyerta,
maka langkah-langkah penanganannya sama dengan korban yang datang secara langsung.
32
P2TP2A mendapat rujukan dari Komnas Perempuan, KPAI, P2TP2A dari kota atau provinsi lain, dan lain sebagainya. Sebagaimana
hasil wawancara peneliti dengan Bu Dini Staf Penerima Pengaduan sebagai berikut:
“Biasanya juga dapat rujukan, rujukan bisa dari Komnas Perempuan, KPAI, P2TP2A di kota atau provinsi lain, terus bisa
juga dari PPT, Satgas, atau relawan-relawan yang pernah mengikuti sosialisasi P2TP2A.”
33
31
Wawancara Pribadi dengan Hj. Listya Windyarti, S.Sos, MKM, Tangerang Selatan, 07 April 2015, lihat lampiran VI.
32
KPPPA RI, Prosedur Standar Operasional, h. 20.
33
Wawancara Pribadi dengan Dini Kurnia, S.Si, Tangerang Selatan, 18 Maret 2015, lihat lampiran II.