Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
secara psikiskejiwaan dapat mengakibatkan trauma atau rasa takut yang berkepanjangan, dan membenci laki-laki dalam hidupnya. Ketiga, secara
ekonomi keluarga akan terlantar baik anak atau istri dari segi sandang, pangan, papan, maupun pendidikan. Keempat, secara sosial perempuan
korban biasanya minder dan tidak dapat bergaul dengan wajar dengan masyarakat sekitarnya karena merasa minder.
7
Berdasarkan deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, negara berkewajiban melindungi warganya dari serangan kekerasan, baik
di lingkup publik maupun di dalam rumah tangga. Untuk itu diperlukan jaminan hukum maupun sarana rehabilitasi guna mengatasi persoalan
kekerasan dalam rumah tangga.
8
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga ibarat gunung es. Data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan
karena tidak semua korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga bersedia melaporkan kejadian yang dialaminya. Hal itu disebabkan
antara lain: korban malu membuka aib sendiri tentang diri yang tercemarterluka secara fisik, psikologis dan sosial; korban khawatir bila
lapor malah semakin menambah luka karena proses peradilan, pemberitaan
media; pembalasan
dari pelakukeluarga
semakin dipersalahkandikucilkan; dan korban sadar akan sulitnya pembuktian
demi keperluan peradilan, biasanya korban sudah siap bercerai.
9
7
Kholifah, “Sikap Islam terhadap Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga,” h. 124.
8
Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 46.
9
Dadang Hawari, Penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga Domestic Violence Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009, h. 104.
Menurut data Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan CATAHU KTP yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2010, dari
105.103 kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengaduan, kekerasan terhadap istri menempati angka tertinggi, yakni
98.577.
10
Dalam data yang ada, pada 2009 kasus KDRT yang berhasil dicatat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak KPPPA
berdasar pada data Kepolisian sebanyak 143.586 kasus. Pada 2010 berjumlah 105.103 kasus. Memasuki 2011, sebanyak 119.107 kasus.
11
Untuk meminimalisir tindakan KDRT ini, maka perlu adanya lembaga yang concern menangani masalah KDRT, salah satunya yaitu
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak P2TP2A Kota Tangerang Selatan yang dibentuk berdasarkan SK Walikota
Tangerang Selatan Nomor: 147.141Kep.402-HUK2010.
12
Tujuannya yaitu memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak yang menjadi
korban kekerasan serta berupaya memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan perempuan dan anak dalam rangka terwujudnya kesetaraan
dan keadilan gender. Di wilayah Tangerang Selatan sendiri jumlah kasus KDRT pada
tahun 2011 sebanyak 140 kasus dan pada tahun 2012 ada 116 kasus
10
Ufi Ulfiah, “Islam, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Al Arham Edisi 41 A,”
artikel diakses
pada 24
Februari 2015
dari http:www.rahima.or.idindex.php?option=com_contentview=articleid=840:islam-perempuan-
dan-kekerasan-dalam-rumah-tanggacatid=19:al-arhamItemid=328
11
Dewi Mardiani dan Ahmad Reza Safitri, “Kasus KDRT Meningkat,” artikel diakses pada 24 Februari 2015 dari http:m.republika.co.idberitanasionalhukum120427m34tjt-kasus-kdrt-
meningkat
12
Brosur P2TP2A Kota Tangerang Selatan.
berdasarkan laporan dari Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Keluarga
Berencana BPMPPKB Kota Tangerang Selatan.
13
Peneliti memilih P2TP2A Kota Tangerang Selatan karena lembaga ini merupakan upaya Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk
menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah Kota Tangerang Selatan. P2TP2A Kota Tangerang Selatan
sudah memberikan pelayanan kepada 57 klien sepanjang tahun 2014. Berdasarkan dokumentasi dari P2TP2A mengenai data klien berdasarkan
jenis kekerasan yang dialami yaitu kekerasan fisik ada 8 klien, kekerasan psikis ada 37 klien, kekerasan seksual ada 23 klien, dan penelantaran ada
10 klien satu klien ada yang mendapatkan dua atau lebih tindak kekerasan.
14
Alasan peneliti
tertarik membahas
dan meneliti
adalah dilatarbelakangi fakta kasus KDRT setiap tahun semakin meningkat dan
membutuhkan penanganan dari lembaga yang khusus menangani masalah perempuan agar dapat meminimalisir kasus KDRT. Selain itu persepsi
masyarakat yang menganggap bahwa masalah KDRT adalah masalah internal keluarga aib rumah tangga yang orang lain tidak perlu tahu
menyebabkan KDRT menjadi sesuatu yang lumrah. Padahal KDRT termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan masalah sosial.
13
Riani, “Hingga Agustus, KDRT Tangsel Sebanyak 36 Kasus,” artikel diakses pada 01 Maret 2015 dari http:www.bantenhits.commetropolitan1841-hingga-agustus-kdrt-tangsel-
sebanyak-36-kasus
14
Dokumen P2TP2A Kota Tangerang Selatan tahun 2014.
Perempuan yang kebanyakan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ini mengalami banyak penderitaan, baik berupa penderitaan fisik
seperti luka dan memar, penderitaan psikis seperti merasa terancam, merasa takut, penelantaran dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana program pelayanan sosial bagi perempuan korban KDRT di P2TP2A Kota Tangerang Selatan
ini dapat membantu meminimalisir masalah tentang KDRT dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat KDRT. Dari
pemikiran diatas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian
“Pelayanan Sosial bagi Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak P2TP2A Kota Tangerang Selatan.”