Pendidikan non formal di pesantren menjadi pilihan masyarakat Desa Situ Udik, karena keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan formal. Sehingga meski
banyak dari para Lansia buta huruf latin, namun para Lansia ini justru melek huruf arab gundul dan Al-Quran serta mampu menulis huruf arab gundul ini dengan baik. Hingga
kini huruf arab gundul ini masih digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan tertulis. Namun, huruf arab gundul ini punya sedikit perbedaan, sebab ini digunakan untuk
bahasa sehari-hari mereka yakni bahasa sunda. Hal ini ditunjukkan saat pengajian ibu- ibu di Kampung Al- Barokah, dimana panitia pengajian memberikan materi pengajian
yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul. Menurut mereka ini mempermudah dalam penyampaiannya, khususnya bagi ibu- ibu berusia lanjut.
Program Keaksaraan Fungsional pernah digalakkan di Desa Situ Udik. Namun program ini tidak berkelanjutan. Hal ini karena ketiadaan sarana serta prasarana, sebab
kegiatan program ini dinilai tumpang tindih dengan kegiatan PKK. Sehingga yang dominan justru kegiatan PKK bukan program KF.
5.3 Tingkat Pendapatan
Masa tua merupakan masa kemunduran, kemuduran fisik karena penurunan fungsi organ tub uh kemudian berdampak lanjut juga pada penurunan pendapatan
seseorang. Penurunan ini selain karena penurunan produktifitas namun juga disebabkan karena penurunan motivasi seseorang dalam memperoleh hasil dari pekerjaannya. Hal
ini diperkuat oleh pendapat responden Lansia di Desa Situ Udik, bahwa idealnya masa tua adalah masa menikmati hasil kerja keras semasa mereka muda. Investasi dimasa tua
yang mereka nikmati tidak hanya diperoleh dari tabungan namun juga dari anak mereka. Pendapatan disini merupakan jumlah uang yang diperoleh setiap bulannya baik
yang didapat individu maupun rumah tangga, karena beberapa responden merupakan
pasangan suami istri. Sumber atau asal pendapatan yang diperoleh oleh responden Lansia setiap bulannya, dapat dilihat dari Tabel 13.
Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006 Asal Pendapatan
Frekuensi orang Persentase Total
Laki-laki+Perempuan Laki-laki
Perempuan
Uang Pensiun 1
4 5,4
Dana BLT BBM 10
19 39,2
Anak 5
8 17,6
Bekerja 14
7 28,4
SumbanganSantunan 2
5 9,5
Total
100,0
Tabel tersebut memberikan gambaran bahwa hampir 40 persen responden
menerima dana BLT BBM sebagai sumber pendapatannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen responden Lansia tersebut berasal dari keluarga miskin.
Namun, menurut keterangan ketua RT 02, Kampung Al Barokah memiliki kebijakan mengenai pembagian dana BLT BBM ini. Dana yang diperoleh setiap rumah tangga
miskin dipotong RP 50.000 setiap triwulan penerimaan dana tersebut. Potongan tersebut kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mendapatkan dana BLT-BBM ini. Hal ini
bertujuan untuk mencegah kecemburuan, konflik dan pemerataan bagi semua warga Kampung Al Barokah yang menghendaki mendapatkan dana tersebut. Namun, di
kampung lain tidak memiliki kebijakan seperti itu maka banyak Lansia yang seharusnya mendapatkan dana tersebut tidak memperolehnya tapi justru anak atau cucunya yan
memperoleh. Tabel 13 juga menunjukkan terdapat 21 orang atau 28,4 persen Lansia masih
bekerja. Umumnya, Lansia ini masih bekerja di sektor pertanian, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh tani. Perempuan Lansia biasanya menjadi buruh tani
untuk pekerjaan-pekerjaan seperti ngababut, nandur, ngarambet. Sedangkan panen, nyangkul dan ngagaru merupakan pekerjaan-pekerjaan dimana Lansia laki- laki menjadi
buruh tani. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya Lansia ini bekerja sebagai buruh tani, yakni: mereka tidak berlahan lagi karena proses pewarisan kepada
anak-anak mereka dan fragmentasi lahan, selain itu beruh tani merupakan satu-satunya pekerjaan yang dapat diakses oleh para Lansia dan mendapatkan upah yang setara
dengan buruh tani ‘muda’. Data mengenai sumber pendapatan pada tabel di atas memberikan gambaran
bahwa ketiadaan jaminan sosial di hari tua yakni berupa pensiun hanya empat responden mempunyai dana pensiun menyebabkan para Lansia ini harus tetap bekerja
baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun kebutuhan anak maupun cucu. Ibu Ali 66 tahun misalnya, beliau masih bekerja dengan berdagang makanan
keliling disekitar kampung tempatnya tinggal untuk menghidupi empat orang cucunya yang ditinggalkan orangtua yang bercerai.
Bekerja dalam hal ini merupakan suatu strategi responden Lansia untuk ‘produktif’, dimana bekerja dinilai oleh para Lansia ini sebagai kegiatan untuk mengisi
hari tua. Artinya bekerja merupakan suatu kegiatan sampingan yang tidak memiliki target tertentu kecuali untuk mengisi waktu luang. Tidak sedikit dari para responden
masih melakukan aktivitas dalam keluarga meski dalam kontribusi yang kecil. Sehingga hasil yang dicapai dengan bekerja sendiri dianggap sebagai hasil tambahan atau
minimal pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tingkat pendapatan dalam penelitian ini digolongkan dalam tiga kategori
berdasarkan besarnya uang yang diterima setiap bulannya yakni tinggi, rendah dan sedang. Batasan rendah yakni dibawah Rp 100.000 ditentukan berdasarkan jumlah uang
yang diterima jika Lansia hanya memperoleh pendapatan dari dana BLT BBM.
Sedangkan batasan lebih dari Rp 500.000 untuk mengkategorikan tingkat pendapatan rendah didasarkan pada besarnya nilai uang pensiun PNS.
Informasi yang diperoleh dari kuesioner bahwa lebih dari 52 persen responden berpendapatan sedang dan 30 persen diantaranya berpendapatan dibawah Rp 100.000.
Responden yang berpendapatan dibawah Rp100.000 ini mayoritas adalah perempuan Lansia. Tingkat pendapatan berdasarkan jenis kelamin, ditunjukkan dalam Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006
Jenis kelamin Besar Pendapatan
Total Rp 100.000
Rp 100.000-Rp 500.000
Lebih dari Rp 500.000
Laki-laki 3 7,5
9 22,5 5 12,5
17 42,5 Perempuan
9 22,5 12 30,0
2 5,0 23 57,5
Total 12
21 7
40 30,0
52,5 17,5
100,0
Informasi yang ditunjukkan dalam Tabel 14 membawa pada kesimpulan bahwa sebagian dari responden merupakan perempuan dari rumah tangga miskin. Sebanyak
sembilan orang perempuan berpendapatan dibawah Rp 100.000 menyatakan bahwa pendapatan itupun diperoleh dari dana BLT-BBM maupun dana anak yatim dan janda
yang dikumpulkan warga dalam paguyuban dan perelek. Dana yatim, jompo dan janda ini dibagikan setiap satu tahun sekali menjelang hari raya Iedul Fitri. Setiap bulannya
warga masyarakat memberikan sumbangan berupa 1 liter beras atau dalam bentuk uang sebesar RP 2.500. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat desa ini memiliki suatu
sistem yang dapat menunjang kesejahteraan Lansia khususnya bagi Lansia janda dan jompo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan puasa ramadhan dan bertepatan dengan
diturunkannya dana BLT BBM tahap keempat serta pembagian zakat bagi orang yang membutuhkan mustahiq.
Masa tua merupakan masa kemunduran, baik fisik maupun finansial seseorang. Data hasil kuisioner menunjukkan bahwa tidak terdapat responden di atas usia 67 tahun
yang memperoleh pendapatan di atas Rp 500.000. Terdapat satu orang perempuan berusia 90 tahun, Ibu Hal, memperoleh pendapatan antara Rp 100.000-Rp 500.000,
yang mana diperoleh dari pensiun suaminya. Namun, uang tersebut dipergunakan juga untuk menopang kehidupan anak serta cucunya, seperti yang dikemukakannya sebagai
berikut:
“Uang dari pensiunan suami mah habis buat makan, sama berobat saya. Berobat juga ke Puskesmas aja. Gak mau ah ngebebanin anak.”
Hal ini juga menunjukkan bahwa masih memiliki penghasilan merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi Lansia, karena dengan demikian masih merasa dibutuhkan
atau diperlukan bagi keluarganya bukan dipandang sebagai beban. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi perkembangan diri para Lansia ini, mereka akan merasa
diperhatikan kehadirannya sehingga secara psikologis ini dapat memenuhi kebutuhan bereksistensi mereka dan mereka tidak merasa memperoleh perlakuan yang ‘berbeda’
yang dapat menimbulkan mereka merasa tersisih dari lingkungan sosialnya.
5.4 Status Pernikahan