Tingkat Pendidikan PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA

Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006 Kelompok Umur Jenis kelamin Total Laki-laki Perempuan 60-74 tahun 15 88,2 19 82,6 34 85,0 75-90 tahun 2 11,8 3 13,0 5 12,5 Di atas 90 tahun 1 4,3 1 2,5 Total 17 100,0 23 100,0 40 100,0 Tabel 10 juga memberikan gambaran bahwa harapan hidup responden perempuan lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Hal ini ditunjukkan terdapat satu orang responden perempuan berusia 90 tahun. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden, Ibu Neng 60 tahun terdapat perempuan di Kampung Batu Belah berusia mencapai 108 tahun. Pola ini memang terlihat baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan, dimana persentase penduduk Lansianya cukup tinggi di atas 6 persen ada kecenderungan jumlah penduduk Lansia perempuan lebih tinggi daripada laki- laki Wahyuni, 2003. Penduduk Lansia di Desa Situ Udik saat ini mencapai 5,6 persen sehingga hal ini memperkuat kecenderungan tersebut.

5.2 Tingkat Pendidikan

Informasi tentang tingkat pendidikan Lansia menjadi sangat penting karena tidak saja menjadi determinan penting dari cara berfikir rasional dan sistematis seseorang tapi juga terhadap kesejahteraan Lansia. Rasionalitas seseorang tentunya akan mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Dikaitkan dengan partisipasi sebagai suatu bentuk tindakan, rasionalitas tentunya akan mempengaruhi kualitas partisipasi seseorang. Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak lulus Sekolah Dasar, dan tamatan Sekolah Dasar SD ke dalam kategori tingkat pendidikan rendah. Selanjutnya tidak lulus Sekolah Menengah baik tingkat pertama SMP maupun tingkat atas serta tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP, tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA dikategorikan dalam tingkat pendidikan rendah. Sedangkan tamatan AkademiD1D3, dan tamatan Perguruan Tinggi dikategorikan dalam tingkat pendidikan tinggi. Berikut ini tabel yang menunjukkan tingkat pendidikan responden. Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006 Tingkat Pendidikan Jumlah orang Persentase Tidak sekolah 13 32,5 Tidak lulus SD 17 42,5 Lulus SD 9 22,5 Lulus SMA 1 2,5 Total 40 100,0 Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan responden Lansia rendah. Secara rata-rata tiga perempat responden Lansia tidak pernah sekolah maupun tidak lulus Sekolah Dasar SD. Bahkan terdapat 10 orang diantara para responden Lansia tersebut mengaku buta huruf, delapan orang diantaranya adalah perempuan Lansia. Masyarakat Desa Situ Udik memiliki pandangan yang berbeda tentang pendidikan tinggi, hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden berikut ini: Orang yang memiliki pendidikan di atas S1 disini dianggap sebagai orang yang tercabut dari akar budayanyaIbu Neng, 60 tahun Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab rendahnya pendidikan responden Lansia tersebut, yakni faktor ekonomi, fasilitas sarana dan prasarana pendidikan, faktor sosial budaya, serta lokasi desa. Faktor ekonomi dianggap menjadi determinan utama rendahnya pendidikan responden Lansia. Hal ini karena para Lansia ini pernah melewati masa usia sekolah dimana sistem pendidikan yang masih kental warisan zaman kolonialisasi yang membatasi kesempatan memperoleh pendidikan masyarakat pribumi, serta pasca kemerdekaan yang sarat akan konflik dan perekonomian mengalami resesi. Beberapa responden menyatakan bahwa prioritas mereka adalah apa yang mereka makan esok hari, seperti yang dikemukakan oleh Ibu Njnh 65 tahun berikut: “Saya pengen sekali sekolah, tapi kan kalo orang kecil cuma boleh sampe kelas tiga SR. Terus, jangankan untuk sekolah, buat makan saja tidak ada. Baju aja dari gedebog pisang.” Faktor fasilitas pendidikan yang tersedia juga menjadi faktor penyebab. Menurut keterangan yang diperoleh dari responden, dahulu di Desa Situ Udik hanya tersedia madrasah dan sekolah rakyat sebagai lembaga pendidikan yang dapat diakses. Hal ini karena letak sekolah lain yang jauh dari desa. Jarak sarana dan prasarana pendidikan yang jauh ini juga memiliki pertimbangan ekonomi, karena selain biaya pendidikan yang dinilai mahal harus ditambah dengan biaya untuk transportasi ke luar desa. Hal ini dikemukakan oleh M. Nas 61 tahun yang merupakan satu-satunya responden Lansia yang lulus sekolah setingkat Sekolah Menengah Atas SMA yakni Pendidikan Guru Agama PGA. “Dulu, jika ingin meneruskan sekolah, orang harus keluar desa dulu. Butuh waktu, tenaga, dan biaya yang banyak karena di Bogor cuma ada satu PGA”. Bapak M. Nas 61 tahun lebih jauh menjelaskan bahwa dahulu akses masyarakat untuk keluar desa sangatlah sulit, karena belum adanya fasilitas jalan. Fasilitas jalan yang ada adalah jalan setapak atau bahkan pematang sawah, sehingga untuk mencapai pasar atau sarana umum yang ada di tingkat kecamatan membutuhkan waktu hingga setengah hari perjalanan. Ibu Neng 61 tahun juga menjelaskan jika hendak keluar dari desa, perempuan haruslah ditemani oleh bapak, suami atau saudara lelakinya. Hal ini karena banyak hambatan selama diperjalanan. Faktor penyebab lainnya adalah faktor sosial budaya, dimana terdapat anggapan bahwa dengan bersekolah menjadikan seseorang justru menjadi miskin. Hal ini karena uang yang seharusnya untuk makan sehari- hari harus dialokasikan ke biaya pendidikan. Selain itu, mengakarnya budaya patriarki pada masyarakat membuat perempuan Lansia khususnya berpendidikan sangat rendah, ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006 Jenjang Pendidikan Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan Tidak sekolah 2 5,0 11 27,5 13 32,5 tidak lulus SD 7 17,5 10 25,0 17 42,5 lulus SD 7 17,5 2 5,0 9 22,5 lulus SMA 1 2,5 1 2,5 Total 17 42,5 23 57,5 40 100,0 Gambaran rendahnya pendidikan perempuan yang diperoleh dari tabel tersebut akibat faktor sosial budaya diperkuat oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa anak perempuan pasti akan pergi ke dapur juga, stigma masyarakat bahwa sekolah menjadikan perempuan sebagai perawan tua dan tidak ada yang mau menjadikan istri jika pendidikannya terlalu tinggi. Di lain pihak, laki- laki Lansia berpendidikan rendah disebabkan juga oleh faktor sosial budaya dimana terdapat keharusan membantu kebutuhan finansial orang tua. Sekolah tidak penting bagi laki- laki karena yang paling terpenting adalah menghasilkan uang dengan segera untuk menunjang kebutuhan hidup sehari- hari keluarga. Pendidikan non formal di pesantren menjadi pilihan masyarakat Desa Situ Udik, karena keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan formal. Sehingga meski banyak dari para Lansia buta huruf latin, namun para Lansia ini justru melek huruf arab gundul dan Al-Quran serta mampu menulis huruf arab gundul ini dengan baik. Hingga kini huruf arab gundul ini masih digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan tertulis. Namun, huruf arab gundul ini punya sedikit perbedaan, sebab ini digunakan untuk bahasa sehari-hari mereka yakni bahasa sunda. Hal ini ditunjukkan saat pengajian ibu- ibu di Kampung Al- Barokah, dimana panitia pengajian memberikan materi pengajian yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul. Menurut mereka ini mempermudah dalam penyampaiannya, khususnya bagi ibu- ibu berusia lanjut. Program Keaksaraan Fungsional pernah digalakkan di Desa Situ Udik. Namun program ini tidak berkelanjutan. Hal ini karena ketiadaan sarana serta prasarana, sebab kegiatan program ini dinilai tumpang tindih dengan kegiatan PKK. Sehingga yang dominan justru kegiatan PKK bukan program KF.

5.3 Tingkat Pendapatan

Dokumen yang terkait

Efek Iklan Layanan Masyarakat "Versi Pak Lurah “ Terhadap Perilaku Pemilih Dalam Pemungutan Suara. Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

0 13 118

Kelembagaan Pengajian dalam Pembangrman Masyarakat Perdesaan (Studi Kasus Kelembagaan Pengajian di Desa Situ 1lir, Kecamatan Cibungbulang, Bogar)

0 10 156

Analisis curahan tenaga kerja dan pendapatan usahaternak domba (studi kasus di desa Situ Udik kecamatan Cibungbulang kabupaten Bogor)

0 8 45

Optimalisasi Produksi pada Peternakan Puyuh Bintang Tiga, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

0 22 203

Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Varietas Ciherang (Studi Kasus: Gapoktan Tani Bersama, Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)

2 10 180

Analisis Persepsi Nilai Anak dan Perilaku Investasi Waktu pada Anak (Kasus di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)

0 14 82

Analisis kontribusi shodaqoh infaq “rereongan serumpi” terhadap kesejahteraan warga desa situ udik, kecamatan cibungbulang bogor : sebuah impementasi participatory rural development di indonesia

0 2 15

Pemanfaatan Hijauan di Lahan Irigasi di Desa Cihideung Udik, Cibitung Tengah, dan Situ Udik, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 5 40

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Praktik Birokrasi Desa (Studi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)

0 10 152

Analisis Efisiensi Usahatani Ubi Jalar Di Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

2 8 105