Partisipasi lansia dalam kelembagaan politik desa:kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor
Oleh :
GIBTHI IHDA SURYANI A14202029
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
(2)
RINGKASAN
GIBTHI IHDA SURYANI. PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI)
Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala ya ng mendunia. Proporsi penduduk Lansia dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, proporsi Lansia meningkat hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun, dari 4,5 persen pada tahun 1971 diperkirakan meningkat menjadi 11,3 persen pada 2020. Lebih dari 50 persen Lansia adalah perempuan, dan sekitar tiga perlima (61,7 persen) bertempat tinggal di pedesaan. Peningkatan ini mempunyai konsekuensi terhadap berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, kesehatan dan politik; dan yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan jumlah Lansia terlantar dan rawan terlantar.
Resolusi dari United Nations (PBB) dirumuskan untuk hak dan kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat. Namun, hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya dengan kehidupan politik, di kalangan pengemban kepentingan (stakeholders) masih minim. Hal ini ironis dengan nilai budaya masyarakat Indonesia yang masih menempatkan Lansia dalam posisi terhormat dalam pengambilan keputusan, terutama dalam masyarakat desa. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti apakah yang masih mene mpati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut, dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan
Tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan. (2) mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa. (3) menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa, serta menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa.
Pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini. Lokasi penelitian di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang dilaksanakan pada bulan September-November 2006. Metode penentuan sampling untuk penelitian ini menggunakan metode cluster sampling. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan uji statistik yang relevan.
Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini mayoritas berada pada rentang umur 60-67 tahun, dengan satu orang responden tertua berusia 90 tahun. Sebanyak 23 orang responden berjenis kelamin perempuan. Hampir setengah dari responden perempuan tersebut mengaku buta huruf. Ditinjau dari aspek ekonomi responden yang berpendapatan di bawah Rp100.000 pun mayoritas adalah perempuan Lansia, dimana 12 orang di antaranya berstatus janda. Lebih dari 90 persen responden tinggal di rumah sendiri, dan 80 persen masih mandiri dalam perawatan. Dari pengalaman berorganisasi ditemukan bahwa mayoritas memiliki tingkat pengalaman organisasi yang sedang, dan terdapat satu orang perempuan Lansia yang memiliki tingkat pengalaman berorganisasi yang tinggi. Situasi ini menggambaran kehidupan sosial kemasyarakatan responden.
(3)
Rapat formal desa, para dewan dan pamong desa serta musyawarah desa merupakan institusi dimana warga Situ Udik menyalurkan aspirasi politik serta sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan. Tingkat partisipasi responden dengan dalam rapat formal desa yang tinggi hanya sebesar 25 persen saja. Lebih dari 77 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dewan desa. Responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam musyawarah desa hanya sebesar 15 persen. Hal ini menunjukkan pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa, dipertegas dengan pengujian keterhubungan dengan uji statistik.
Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara tingkat pendapatan dengan kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan sikap Lansia terhadap politik. Hasil uji ini menjadi melemah atau bahkan memiliki derajat hubungan yang dapat diabaikan dengan kontrol dari terpaan media massa dan partisipasi dalam Pemilu 2004.
Hasil uji Koefisien Kotingensi menunjukkan hanya terdapat signifikasi hubungan antara faktor sosial ekonomi dari responden Lansia laki- laki dengan sikap terhadap politik. Hasil uji Spearman pun menunjukkan keterhubungan hal terebut antara sikap terhadap politik dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini menunjukkan perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik, mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa.
Masyarakat Desa Situ Udik berorientasi pada “ketokohan” kyai dalam keseharian termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Keberhasilan politik orang-orang elite desa ini dalam mempertahankan dominasi disebabkan mereka memiliki kebijaksanaan sosial, dan kokohnya pola hubungan ‘kebapakan’ dan ‘saduluran’. Disertai prinsip safety first atau dahulukan selamat yang kemudian melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral pola hubungan sosial masyarakat Desa Situ Udik.
Pola hubungan kekuasaan dan nilai ‘kebapakan’ menjadi etika yang menampilkan tindakan dengan bentuk kesetiaan secara sukarela hormat kepada ‘dununganna’. Gelombang reformasi politik lewat partisipasi dalam Pemilu 2004 dan terpaan berita politik dari media massa pun tidak mampu memberikan dampak yang mendasar terhadap dinamika politik lokal. Kuatnya konstruksi sosial ini menyingkirkan perempuan ‘sepuh’ dari perpolitikan desa. Perempuan masih menghadapi tuntutan dari tradisi sebagai seorang ibu, istri atau bahkan ketika perempuan tua menjadi seorang nenek yang mengurus cucunya.
(4)
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus : Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Oleh :
Gibthi Ihda Suryani A14202029
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
(5)
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama : Gibthi Ihda Suryani
NRP : A14202029
Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menye tujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS NIP. 131 622 687
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
(6)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2007
Gibthi Ihda Suryani A14202029
(7)
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan dengan nama Gibthi Ihda Suryani pada tanggal 12 Maret 1985, anak pertama dari pasangan Suroso dan Yulinar. Penulis memulai pendidikan formalnya di SDN Panaragan I Kodya Bogor dan lulus pada bulan Mei 1996. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya pada SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada bulan Juni 1999. Kemudian penulis melanjutkan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada bulan Juni 2002. Penulis menempuh jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) untuk melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor, dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa penulis telah menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Sosiologi Umum pada semester ga njil tahun ajaran 2004/2005, asisten dosen untuk praktek lapang Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 dan tahun ajaran 2006/2007, serta asisten dosen untuk Mata Kuliah Perubahan Sosial semester ganjil tahun ajaran 2006/2007. Sedangkan untuk kegiatan ekstrakurikuler penulis pernah berpartisipasi dalam beberapa kegiatan dan kepanitiaan kampus. Kepanitiaan yang pernah diikuti adalah Agro Career 2004 yang diselenggarakan oleh MISETA, serta Malam Keakraban KPM 2004. Penulis juga pernah tergabung dalam organisasi mahasiswa IRCyD divisi penelitian.
(8)
KATA PENGANTAR
Mengawali Penulisan skripsi ini perkenankan penulis untuk berucap syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, karena atas segala karuniaNya lah kita mendapatkan nikmat hidup, nikmat iman, dan nikmat Islam serta penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini tepat pada waktunya. Salawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan dan suri teladan kita Nabi Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati yang membawa kita pada pencerahan.
Penulisan skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Topik dari penulisan skripsi ini adalah studi lansia dan kelembagaan desa. Topik ini dianggap menarik karena mengingat pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut pada abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia, yang tentunya menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus segera ditangani. Adapun judul dari penulisan skripsi ini adalah “Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa”
Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya maka dari itu kritik dan saran sangatlah diharapkan. Semoga apa yang kita kerjakan mendapat ridho dari-Nya dan memberikan manfaat bagi dunia pendidikan dan pengembangan serta pemberdayaan masyarakat pertanian di negara ini.
Bogor, Mei 2007
(9)
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghanturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak, baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian tugas ini, antara lain :
1. Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, dan memberi arahan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku dosen selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini. 3. Bapak (Bang) Martua Sihaloho, SP, Msi selaku dosen penguji perwakilan
Departemen yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini.
4. Mamiku, Papa, Adikku tersayang PITAK, Om Yud, Te’ Melly, Lulu, Ade Luna dan Bi Ukit yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moral serta dana selama ini.
5. Keluarga Bapak Lamsuni, Ibu Neneng, King, Adik-adikku (Najma, Lula, Ahla, Azka, Zul, Tria, Fiky) Teh Cicih, Teh Neng, Teh Nining serta Agung, terima kasih atas bantuannya selama saya penelitian di Desa Situ Udik serta penerimaannya yang luar biasa baik. Saya sangat beruntung pernah mengenal mereka.
6. Perangkat Desa Situ Udik, Bapak Kepala Desa H. Miftahullukman, Bapak Sekdes Saiful Manan, Pak Mista dan Pak Ucok, terima kasih atas bantuannya selama saya penelitian.
7. Warga Desa Situ Udik, khususnya para bapak-bapak dan ibu- ibu Lansia di Kampung Al Barokah, Ganda Rasa, Cimanggu, Cikadondong dan Malang Nengah atas bantuannya.
8. Anandita Puspitasari terima kasih atas dukungan serta persahabatan kita selama delapan tahun, Sindo Group: Siti Anis Musyarofah, Niken Tiara F.A, Ajipadma Dhara K., Isnanik Dian A. Teman satu bimbinganku Gina Septania, pembahas
(10)
kolokiumku Yohan Budiman dan rekan-rekan sejawat KPM 39 lainnya, semoga tali silaturahmi yang telah terjalin selama ini tidak akan terputus.
9. Teman-temanku di KPM 40: Rizky Ali Akbar, Lina, Utari, Dipa. Adik-adikku di KPM 41: Bayu, Nessa, dan kawan-kawan serta adik-adikku di KPM 42 terutama kelompok Al-Barokah.
10.Anggi Muhammad Adriawan atas bimbingan SPSS dan les singkat statistiknya. 11.Mas Anton dan Mbak Hana yang telah banyak memberi masukan untuk
penulisan Skripsi ini serta buku-bukunya yang telah dipinjamkan.
12.Teman-temanku di LTYC dan Acem atas kebersamaan kita selama ini; Antonius Jemi atas bantuannya.
13.Pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
(11)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ... 9
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 10
2.1 Tinjauan Pustaka ... 10
2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan ... 10
2.1.2 Lanjut Usia: Perkembangan Teori Gerontologi... 12
2.1.3 Konsep Successful Aging ... 15
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa... 18
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik ... 23
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal ... 29
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 92
2.2 Kerangka Analisis ... 33
2.3 Hipotesis ... 37
2.4 Definisi Operasional ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42
3.1 Metode Penelitian ... 42
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43
3.3 Metode Penentuan Sampling ... 43
3.4 Metode Pengumpulan Data... 45
(12)
BAB IV KONTEKS LOKASI ... 48
4.1 Infrastruktur ... 48
4.1.1 Kondisi dan Letak Geografis ... 48
4.1.2 Struktur Pemerintahan, Sarana dan Prasarana ... 49
4.1.3 Karakteristik Masyarakat ... 54
4.2. Suprastruktur ... 56
4.2.1 Pengajian: Kelembagaan Sosial, Keagamaan, dan Politik Masyarakat Desa Situ Udik ... 56
4.2.2 Lansia dan Kelembagaan Ekonomi Desa ... 60
BAB V PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA DESA SITU UDIK ... 62
5.1 Struktur Umur dan Jenis Kelamin ... 62
5.2 Tingkat Pendidikan ... 65
5.3Tingkat Pendapatan ... 69
5.4Status Pernikahan... 73
5.5Tempat Tinggal dan Perawatan ... 75
5.5.1 Tempat Tinggal... 75
5.5.2 Perawatan... 77
5.6 Pengalaman Berorganisasi ... 78
5.6.1 Keikutsertaan dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat... 78
5.6.2 Peran dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat... 80
BAB VI PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK ... 85
6.1 Lansia dan Politik ... 85
6.1.1 Tingkat Partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004 ... 85
6.1.2 Tingkat Keterdedahan terhadap Media Massa ... 91
6.2 Nilai Sosial dan Budaya Politik Lansia 6.2.1 Sikap terhadap Politik ... 94
6.2.2 Kepercayaan terhadap Kinerja Lembaga Politik Desa ... 98
(13)
BAB VII PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK
DESA... 102
7.1 Partisipasi Lansia dalam Rapat Formal Desa ... 102
7.2 Partisipasi Lansia dalam Dewan Desa ... 108
7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa... 112
BAB VIII PARTISIPASI LANSIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ... 117
8.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Nilai Budaya Masyarakat Desa ... 117
8.1.1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Nilai Budaya Masyarakat Desa... 118
8.1.2 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Politik dan Nilai Budaya Masyarakat Desa ... 121
8.1.3 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Jenis Kelamin dan Nilai Budaya Masyarakat Desa ... 123
8.2 Hubungan Nilai Budaya Masyarakat Desa dengan Partisip asi dalam Kelembagaan Politik Desa ... 126
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 129
9.1 Kesimpulan ... 129
9.2 Saran ... 135
DAFTAR PUSTAKA... 137
(14)
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis kelamin di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe daerah di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
3
Tabel 4. Jumlah aparat dalam perangkat desa tahun 2005/2006 49 Tabel 5. Jumlah aparat dan kader dalam lembaga- lembaga Desa Situ
Udik tahun 2005
50
Tabel 6. Fasilitas pendidikan dan perbandingan tenaga pengajardengan murid Desa Situ Udik tahun 2005/2006
53
Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan mata pencaharian tahun 2005
54
Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir tahun 2005
55
Tabel 9. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan kelompok umur tahun 2005
55
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006
65
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006
66
Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006
68
Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006
70
Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006
72
(15)
dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat tinggal, Desa Situ Udik tahun 2006
75
Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan caregiving dan status pernikahan, Desa Situ Udik tahun 2006
77
Tabel 18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis organisasi yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
79
Tabel 19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis perkumpulan yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
80
Tabel 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi/jabatan dalam organisasi/perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
81
Tabel 21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama keikutsertaan dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
82
Tabel 22. Jumlah responden berdasarkan tingkat pengalaman berorganisasi dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
83
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan partai politik yang dipilih pada Pemilu 2004, Desa Situ Udik
87
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan perana n yang ditampilkan dalam kampanye Pemilu 2004, Desa Situ Udik
88
Tabel 25. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam partai politik, Desa Situ Udik tahun 2006
89
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu legislatif 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 27. Tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 28. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
91
Tabel 29. Jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap berita politik, Desa Situ Udik tahun 2006
(16)
Tabel 30. Tingkat Keterdedahan responden terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
93
Tabel 31. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan pernyataan politiknya, Desa Situ Udik tahun 2006
95
Tabel 32. Tabulasi silang antara frekuensi sebut pernyataan sikap tentang politik dengan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
96
Tabel 33. Jumlah responden berdasarkan minat keikutsertaan dalam kelembagaan politik dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
97
Tabel 34. Sikap responden terhadap politik Desa Situ Udik berdasarkan jenis kelamin, tahun 2006
98
Tabel 35. Jumlah dan persentase responden bedasarkan penilaian terhadap kinerja perangkat desa, Desa Situ Udik tahun 2006
99
Tabel 36. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
104
Tabel 37. Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk-bentuk rapat formal yang pernah diikuti
105
Tabel 38. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
106
Tabel 39. Tingkat partisipasi responden dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
107
Tabel 40. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi yang ditempati dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
109
Tabel 41. Jumlah dan persentase responden yang menjadi dewan desa berdasarkan proses penempatan posisi dalam Kelembagaan Politik Desa Situ Ud ik
110
Tabel 42. Tingkat partisipasi Lansia dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
111
Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
113
Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
(17)
Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
115
Tabel 46 Hubungan faktor sosial ekonomi dengan faktor nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik tahun 2006
118
Tabel 47 Hubungan antara faktor sosial ekonomi, faktor politik dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
121
Tabel 48 Keputusan uji statistik kotingensi hubungan antara faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
124
Tabel 49 Hubungan antara nilai budaya masyarakat desa dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik Desa Situ Udik, tahun 2006
(18)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman Gambar 1. Kerangka Pemikiran...41
(19)
1.1 Latar Belakang
Abad 21 merupakan abad lanjut usia (era of population aging) karena pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut (Lansia) pada abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia. Proporsi penduduk Lansia dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia1. Suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat dari proses transisi demografi yaitu perubahan tingkat kelahiran, dari tingkat kelahiran tinggi ke tingkat yang lebih rendah serta perubahan tingkat kematian, dari angka kematian tinggi me njadi angka kematian yang rendah (Rusli, 1983). Demikian juga yang terjadi di Indonesia, bahkan diproyeksikan pada beberapa dekade mendatang jumlah penduduk Lansia di Indonesia akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah balita.
Saat ini Indonesia menempati posisi kesepuluh dengan jumlah populasi Lansia terbanyak didunia, dan menjadi negara terbanyak penduduknya di ASEAN dengan jumlah absolut Lansia tertinggi. Antara tahun 2010 dan 2020, angka pertumbuhan populasi Lansia akan menjadi 3,7 persen, berbanding dengan tingkat pertumbuhan populasi 0,8 persen (Dung Do-Le dan Raharjo, 2002).
Jika dilihat berdasarkan komposisi penduduk menurut umur, struktur penduduk Indonesia semakin mengarah ke penduduk tua. Suatu negara memasuki era penduduk struktur tua (aging population) jika proporsi penduduk lanjut usianya telah berada pada patokan penduduk berstruktur tua yakni tujuh persen dari total populasi. Penduduk dengan usia 60 tahun keatas mengalami peningkatan, dilihat dari proporsi dari total
1 Lilis Heri Mis Cicih, Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Indonesia Masa Kini dalam Warta Demografi,
(20)
2
penduduk Indonesia, dari sekitar 4,5 persen (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 7,2 persen (15.054.877 jiwa) di tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 11,3 persen pada tahun 20202.
Fenomena yang terjadi dari peningkatan penduduk Lansia di Indonesia, seperti halnya di negara- negara berkembang lain, jika ditinjau dari perbandingan jenis kelamin baik di desa maupun di kota, jumlah penduduk Lansia perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk Lansia laki- laki. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis
kelamin di Indonesia tahun 2004
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Perempuan 8.687.222 52,58
Laki-laki 7.835.089 47,42
Perempuan+Laki-laki 16.522.311 100,00
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004. Badan Pusat Statistik. 2004.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dengan usia lanjut (60 tahun keatas) kini telah mencapai 16,5 juta jiwa. Tabel tersebut juga memberikan gambaran bahwa sebagian besar jumlah penduduk Lansia di Indonesia sampai tahun 2004 (52,6%) adalah perempuan. Sejalan dengan proses pembangunan yang disertai dengan perkembangan sektor industri dan perdagangan khususnya di daerah perkotaan telah menarik ’orang muda’ dari desa untuk mencari pekerjaan. Akibatnya dari migrasi tersebut adalah bertambahnya jumlah penduduk Lansia di pedesaan (Lihat Tabel 2). Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe
daerah di Indonesia tahun 2004
Tipe Daerah Jumlah Persentase (%)
Perkotaan 6.328.909 38,31
Pedesaan 10.193.402 61,69
Perkotaan+Pedesaan 16.522.311 100,00
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Tahun 2004. BPS.
2 Lansia Lebih Banyak dari Balita. http://HarianTerbit.com/2june2004/rubrik/nasional.htm. Diakses
(21)
Berdasarkan Tabel 2, maka nampak bahwa hampir dua pertiga dari jumlah populasi penduduk Lansia di Indonesia bertempat tinggal di Pedesaan. Indonesia di masa reformasi tahun 1998 dan desentralisasi, secara administatif, terbagi menjadi 32 provinsi. Terdapat lima provinsi yang memiliki struktur populasi yang menua; termasuk diantaranya DI Yogyakarta yang memiliki proporsi Lansia tertinggi (13,7 persen). Beberapa provinsi lain yang telah mengalami proses penuaan penduduk dibandingkan dengan apa yang terjadi secara nasional yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Bahkan beberapa propinsi mempunyai persentase Lansia yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain3.
Perbaikan taraf kehidupan dan kesehatan dari suatu masyarakat berdampak pada bertambah panjang masa hidup seseorang. Indonesia diperkirakan akan terjadi “Silver Tsunami” yang sangat meningkat jumlah penduduk usia lanjut. Perkembangan jumlah lanjut usia termasuk sangat cepat disebabkan karena penurunan tingkat fertilitas penduduk. Harapan hidup penduduk Indonesia mengalami peningkatan jumlah dan proporsi sejak tahun 1980, dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
Sensus Penduduk Tahun Laki-laki Perempuan Laki-laki+Perempuan
1971 44,20 47,17 45,73
1980 50,64 53,69 52,21
1990 58,06 61,54 59,80
2000 63,45 67,30 65,43
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan, http//:www.portal.menegpp.go.id.htm
Berdasarkan Tabel 3 di atas, terlihat bahwa harapan hidup perempuan Indonesia di tahun 2000 mampu bertahan hidup hingga mendekati 70 tahun serta memiliki harapan hidup yang lebih lama dibandingkan laki- laki. Beberapa tahun mendatang usia
3 Jutaan Lansia Butuh Pelayanan Sosial, http//:www.suarakarya-online.com/wacana_wanita/2004.htm,
(22)
4
rata-rata penduduk dapat mencapai 100 tahun. Hal inilah yang kemudian akan menambah peliknya permasalahan peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut di Indonesia. Sejalan dengan proses penuaan, kondisi fisik maupun non-fisik Lansia yang mengalami penurunan maka dibutuhkan peningkatan pelayanan sosial bagi penduduk Lansia.
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Wirakartakusumah et al. (1995) tentang determinan Lansia bekerja dan bertempat tinggal di Indonesia maupun Wahyuni (2003) yang mengkaji tentang kesejahteraan Lansia di pedesaan Jawa Barat, serta Indawati (2003) yang melakukan identifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan banyaknya Lansia di Kabupaten Lamongan, menunjukkan bahwa perempuan Lansia dan yang tinggal di pedesaan merupakan Lansia yang yang sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini karena perempuan Lansia cenderung lebih tua, tidak bekerja, hidup sendiri, berstatus tidak kawin (janda), tingkat pendidikannya rendah, miskin, tinggal di pedesaan dan mayoritas hidup sendiri.
Masyarakat Indonesia pada umumnya menempatkan lanjut usia (Lansia) pada posisi yang dihormati. Hal ini bukan saja karena sesuai dengan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat, tetapi juga karena Lansia tergolong ke dalam kelompok rentan. Penghormatan itu antara lain, berupa pemberian fasilitas dan pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak- hak mereka. Pada mulanya program pemerintah dalam penanganan terhadap penduduk Lansia lebih menekankan pemberian santunan kepada mereka yang terlantar, sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Kemudian untuk dapat mempunyai sasaran yang lebih luas dengan memberikan dorongan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan Lansia kepada keluarga dan
(23)
masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya Lansia yang berguna, berkualitas dan mandiri, maka diatur Pasal 8 UU No.39/1999.
Meskipun perhatian mulai diberikan kepada Lansia, namun hingga saat ini masih terdapat sekitar 3,7 juta lanjut usia (Lansia) di Indonesia yang memerlukan pelayanan sosial. Sebagian besar di antara mereka dalam keadaan terlantar dan memerlukan upaya perlindungan khusus. Pada tahun 1998, jumlah Lansia yang terlantar sebanyak 3.485.066 orang dan rawan terlantar 4.975.942 orang. Sedangkan pada tahun 2002, jumlah Lansia telantar 3.754.569 orang dan rawan terlantar menjadi 5.102.800 orang (www.suarakaryaonline.htm/wanita.htm). Namun, bentuk perhatian dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selama inipun masih terbatas dikarenakan mereka miskin bukan karena mereka Lansia. Pemusatan perhatian masih terbatas pada masalah sosial ekonomi, belum menyentuh pada hak Lansia dalam kehidupan berpolitiknya.
Padahal isu kesetaraan perempuan Lansia baru mulai mengemuka dan diakui dunia sejak Konferensi Dunia I tentang Perempuan tahun 1975. Kemudian ditindaklanjuti dengan mulai berperspektif gender pada Konferensi Dunia III tentang perempuan tahun 1985 yang mengidentifikasi ”perempuan Lansia” sebagai salah satu dari 14 isu yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini dimaksudkan agar perempuan Lansia tidak hanya diperlakukan sebagai objek yang rawan dan memerlukan berbagai bantuan, pelayanan dan perawatan, tetapi juga sebagai subjek yang mempunyai berbagai kemampuan dan memberikan sumbangan bagi pembangunan4. Kemudian dilakukan evaluasi pelaksanaan hasil- hasil Konferensi Dunia tentang Lansia (1982) yang menghasilkan United Nation Principles for Older Persons, yang dicetuskan pada 1991
(24)
6
dengan Resolusi No 46/91 menghimbau negara- negara anggota PBB tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat5.
Konsepsi tersebut berkembang hingga kemudian dalam pertemuan Sidang Lanjut Usia kedua di Madrid tahun 2002 menghasilkan kesepakatan Rencana Aksi Internasional Lanjut Usia (Madrid International Plan of Action of Ageing). Tindak lanjut dari rencana aksi yakni dilaksanakannya seminar di Shanghai September 2002 yang menghasilkan strategi implementasi bagi para lanjut usia (Shanghai Implementation Strategy)6. Hasil Strategi tersebut memberikan gambaran orang lanjut usia bukanlah suatu beban, melainkan suatu keberhasilan tidak saja menyangkut kesejahteraan sosial, akan tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan dalam pembangunan, termasuk bidang politik.
Walaupun konsep successful aging tersebut diformulasikan dari pengalaman dan penelitian negara maju. Tetapi dalam praktek pembinaan usia lanjut, harus mengakomodasi faktor-faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial setempat. Hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya dengan kehidupan politik, dikalangan pengemban kepentingan (stakeholders) belum ada. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang urgensi dan kompleksnya isu Lansia ini menjadi salah satu penyebabnya
Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian maupun studi-studi tentang Lansia khususnya partisipasi Lansia dalam politik. Kelembagaan politik desa menjadi fokus penelitian ini dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan.
5 Lansia Indonesia Tercepat. www.suaramerdeka.com/Sabtu/290504.htm. Diakses tanggal 5 Mei 2006. 6 Loc.cit.
(25)
1.2 Perumusan Masalah
Proses menua (aging) adalah proses alami ya ng disertai adanya penurunan kondisi fisik, biologis, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Menua adalah juga proses kehilangan, mulai dari kehilangan peran sosial (misalnya karena pensiun), kehilangan pendapatan, hingga kehilangan teman dan keluarga karena kematian. Keadaan itu cenderung berpotensi tidak saja menimbulkan bagi masalah bagi kondisi fisik Lansia namun juga kondisi mentalnya.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita lebih terobsesi dengan aspek negatif daripada positif dalam hal pertambahan usia. Tapi bukti yang terdapat dalam berbagai bukti ilmiah jelas-jelas menunjukkan hal- hal yang berbeda dari stereotipe yang ada. Bahkan membaiknya teknologi kesehatan dan gaya hidup sehat yang dianut sebagian masyarakat menunjukkan peningkatan angka harapan hidup manusia. Maka sama seperti yang diungkapkan oleh penulis Theodore Rozak, "Masa depan di tangan orang-orang dewasa". Meskipun sebagian dari penduduk Lansia dianggap menjadi beban bagi penduduk produktif karena kondisi fisik, mental, sosial yang menurun sehingga tidak memungkinkan mereka berperan dalam pembangunan. Namun di sisi lain Lansia memiliki pengalaman, kearifan, keahlian, semangat kejuangan dan kekayaan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh generasi yang lebih muda. Khus usnya pada masyarakat pedesaan yang erat kaitannya dengan nilai- nilai ketradisionalan. Ketradisionalan masyarakat desa diidentifikasi melalui pandangan bahwa segala kegiatan dianggap baik bila sesuai dengan norma-norma yang telah diwariskan nenek moyang secara turun temurun (Prijono dan Prijono, 1983).
Pola pikir ini pulalah yang mendasari nilai-nilai masyarakat desa dalam menentukan pemimpin maupun orang-orang yang memegang peranan penting di
(26)
8
masyarakat. Seorang lurah misalnya, dipilih bukan hanya latar belakang pendidikannya tapi juga karena usia dan kebijaksanaannya. Hal ini disebabkan seorang lurah bukan hanya semata-mata kepala desa saja, tapi juga sebagai “bapak” bagi semua penduduk desa. Demikian pula dengan para pamong desa, biasanya terdiri dari orang-orang tua desa, yang umumnya menjadi anggota masyarakat terpenting karena pengetahuannya akan adat istiadat. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti apakah yang masih menempati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut. Jika kelembagaan politik desa identik dengan istilah maskulinitas dan atribut ‘kebapakan’ seorang pemimpin desa, maka apakah perempuan Lansia juga memiliki tempat didalamnya.
Berdasarkan hasil pemaparan di atas serta pemaparan sebelumnya pada latar belakang, ingin diteliti lebih lanjut beberapa aspek yang terkait dengan masalah tersebut, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik Lansia di pedesaan?
2. Bagaimanakah partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa?
1.3Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta membuat suatu analisis terhadap partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi faktor- faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial di pedesaan (khususnya Desa Situ Udik) dalam kaitannya dengan konsep successful aging
(27)
dan teori aktivitas sebagai landasan teoritisnya. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut ini:
1. mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan
2. mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa
3. menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa
4. menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa.
1.4Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini, terdapat beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu :
1. Dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan terkait dengan isu- isu Lansia secara lebih mendalam.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan Lansia khususnya perempuan. 3. Menambah khasanah pengetahuan tentang kajian kependudukan khususnya studi
tentang Lansia dengan melakukan perbandingan antara laki- laki lansia dan perempuan lansia ditinjau dari berbagai aspek baik sosial, ekonomi, religi-kultural yang berkaitan erat dengan kehidupan berpolitik.
(28)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendekatan Teoritis
2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan
Lanjut usia adalah setiap warga negara Indonesia pria atau wanita yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik potensial maupun tidak potensial. Batasan lanjut usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi Kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia usia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, manusia lanjut usia memang mempunyai karakteristik yang spesifik. Secara alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya (Rully, 2003).
Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN, 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.
(29)
Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda.
Mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) dalam Suhartini (2004) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Berbagai aspek pengelompokan lanjut usia yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, 2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan 4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Saparinah (1983) dalam Suhartini (2004) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap prapensiun pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Hal ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hidupnya. Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Sedangkan dalam
(30)
12
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas dinyatakan bahwa yang disebut sebagai lanjut usia adalah laki- laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih. Merujuk pada hal tersebut maka dalam penelitian ini batasan lanjut usia adalah individu berusia 60 tahun ke atas.
2.1.2 Lanjut Usia : Perkembangan Teori Gerontologi
Terdapat sejumlah teori yang digunakan dalam menjelaskan fenomena penuaan (aging) dalam ilmu sosiologi. Penuaan dapat dianalisa menurut ilmu sosiologi sebagai tiga proses yang mempengaruhi orang-orang ketika mereka menjadi tua: biologis, psikologis, dan sosial; Tiga proses tersebut mengusulkan tiga metafor waktu perkembang yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lainnya
1. Penuaan biologis secara khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, kerutan, suatu kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan lemak, dan penurunan efisiensi kardiovaskuler.
2. Tua menurut psikologis diasumsikan bahwa memori, pelajaran, kecerdasan/inteligensi, keterampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung untuk merosot karena umur.
3. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai- nilai, dan peran yang secara kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu .
Sosial gerontologi adalah bidang studi multidisipliner dan merupakan instrumen teoritis utama kaum ortodoks yang berkenaan dengan lanjut usia terutama di Amerika Serikat, Inggris dan akademisi Australia (Phillipson 1998; Biggs dalam Powell 2001). Berikut ini penjelasan singkat mengenai teori-teori tersebut yang merupakan ikhtisar dari buku ”Sosiologi Wanita”, Ollenburger dan Moore (1996). Teori- teori tersebut dibagi dalam tiga tipe dasar yakni teori-teori fungsionalis yang memfokuskan pada
(31)
diskontinuitas dalam proses penuaan dan hilangnya status; teori-teori yang memfokuskan pada penuaan individu dan interaksinya dengan masyarakat serta lingkunganya; dan teori-teori kritis yang memperhatikan faktor-faktor struktural yang mempengaruhi kaum Lansia.
Teori Fungsionalis, terdiri dari beberapa teori yang membangun diantaranya: 1. Teori peran, komponen utama teori ini adalah hilangnya peran dan penyesuaian
diri atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan peran-peran baru dalam usia tua. Perubahan peran yang terjadi setelah pensiun, ketika peran kerja yang bebas digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang tergantung. Salah satu premisnya, wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan peran-peran usia tua, karena mereka mengalami transisi yang lebih lancar kedalam peran-peran ketergantungan pada umumnya. Teori ini cenderung melestarikan nilai- nilai kultural yang dominan, dan melukiskan suatu gambaran wanita dalam masyarakat yang strereotipe.
2. Teori aktivitas, mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan positif antara aktifitas sosial dan kepuasan hidup. Lebih jauh teori ini menjelaskan bahwa orang yang masa mudanya sangat aktif dan terus juga memelihara keaktifannya setelah dia menua. Ahli jiwa mengatakan bahwa “sense of integrity” dibangun semasa muda dan akan tetap terpelihara sampai tua. Ericson, membuat suatu ringkasan tentang fase- fase perkembangan manusia sejak bayi sampai tua, yang mana tiap fase menerangkan tentang adanya krisis-krisis untuk memilih antara ke arah mana seseorang akan berkembang. Fase terakhir disebut bahwa ada pilihan antara: “sense of integrity” dan “sense of despair” karena adanya rasa takut akan kematian. Pada masa tua terjadi krisis antara deferensiasi egonya (ego
(32)
14
differentitation) melawan preokupasi peranannya dalam bekerja (work role preoccupation). Hal ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran tentang pensiun. Juga ditambahkan bahwa pada masa ini ada krisis, seseorang itu dapat membangun suatu hubungan-hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan mengembangkan aktivitas-aktivitas yang kreatif untuk melawan pikiran-pikiran yang terpusat kepada kemunduran-kemunduran fisiknya (Powell, 2001). Namun, teori ini menganggap bahwa individu mempunyai suatu elemen kontrol terhadap dunia sosial mereka, dan mengabaikan persoalan kemiskinan, gender, dan diskriminasi ras.
3. Teori keterlepasan, mengemukakan bahwa pengurangan interaksi sosial diharapkan oleh individu- individu Lansia, terjadi saling menarik diri antara Lansia dan non-Lansia di dalam sistem sosial.
4. Teori lingkungan sosial, memfokuskan pada pengaruh lingkungan sosial dan fisik kaum Lansia terhadap aktivitas-aktivitas sosial, pola-pola interaksi Lansia dengan tetangga dan keluarga, dan kepuasan hidup mereka yang terlihat dari persepsi dan makna yang diterapkan dalam kehidupan sehari- hari Lansia. Hal ini dikembangkan dalam suatu tipologi dengan memperhatikan lingkungan berusia sama dan lingkungan beragam usia.
5. Teori pertukaran, fokusnya adalah pada individu- individu, karena mereka berinteraksi dan berupaya mempertahankan suatu keseimbangan ketika mereka mempertukarkan imbalan- imbalan, hukuman dan persahabatan. Norma pertukaran ini merujuk pada bagaimana orang di sekitar Lansia membantu mereka, dan mereka juga memberikan dukungan kepada orang lain. Bagi wanita
(33)
Lansia, pertukaran ini seringkali dinegosiasikan dalam arti kesukarelawanan atau bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak dibayar.
Teori-teori kritis dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural dalam menjelaskan fenomena penuaan populasi ini:
1. stratifikasi umur, teori ini menganalisis lapisan- lapisan sosial berdasarkan kelas, yang membagi individu- individu dan kelompok-kelompok dalam beberapa golongan sosial, yang memiliki akses yang berbeda pada imbalan, sumber-sumber dan kekuasaan.
2. Ekonomi politik penuaan, bahwa perbedaan ancaman dan diskriminasi terhadap kaum Lansia, mencerminkan distribusi kekuasaan, pendapat, dan pemilikan dalam keseluruhan struktur sosial. Kebutuhan kaum Lansia menjadi prioritas yang rendah dalam suatu sistem berdasarkan kapitalisme dan pencarian keuntungan. Kemiskinan kaum tua sekarang, merupakan fungsi dari ketidakmampuan sistem kapitalis untuk mengontrol institusi- institusi politik, ekonomi, dan sosial.
2.1.3 Konsep Successful Aging
Perkembangan teori-teori tersebut kemudian melahirkan bagan atau kerangka konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua yang sukses adalah "succesful aging", yang pertama kali dikemukakan oleh R. J. Havighurst pada tahun 1961. Konsep dari sukses di usia lanjut merupakan pusat dari ilmu usia lanjut (gerontologi), dan artikel oleh Havighurst muncul sebagai konsep dalam isu pertama tentang publikasi Gerontologis (Bearon, 1996).
(34)
16
Definisi konsep sukses ini sendiri menimbulkan kerancuan tidak ada definisi yang dengan baik diterima atau model tentang successful aging yang telah teruji selama ini. Havighurst (1961) mendefinisikannya sebagai "adding life to the years" dan "memperoleh kepuasan hidup". Palmore (1995) dalam ensiklopedi tentang proses penuaan, mengemukakan bahwa suatu definisi yang komprehensif tentang successful aging yang berkombinasi dengan survival (umur panjang), kesehatan (ketiadaan cacat), dan kepuasan hidup (kebahagiaan). Rowe dan Kahn (1987) mendefinisikannya dalam kaitan dengan berbagai variabel fisiologis dan psikologis (Bearon, 1996).
Terdapat tiga teori gerontologi sosial yang dijadikan dasar dari munculnya konsep successful aging ini, diantaranya teori aging yang pertama, Cumming dan Henry dengan "teori keterlepasan" (1961), yang mengemukakan pada proses/rangkaian penuaan yang normal, seseorang secara berangsur-angsur menarik atau melepaskan dari peranan sosial sebagai tanggapan alami untuk mengurangi kemampuan dan mengurangi minat, dan untuk kurangnya dorongan untuk partisipasi bermasyarakat. Di dalam model ini, orang yang sukses di masa tuanya dengan sepenuh hati mengundurkan diri dari pekerjaan atau kehidupan berkeluarga dan dengan puas berada di kursi goyang, atau mengucilkan diri, aktivitas pasif yang bersiap-siap menghadapi kematian (Bearon, 1996).
Teori utama aging yang kedua, dikenal sebagai "teori aktivitas", yang mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka mengambil bagian dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk (Lemon, Bengtson dan Peterson, 1972 dalam Bearon, 1996). Kini, teori-teori tersebut tidak lagi digunakan oleh gerontologis yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang terlalu membatasi dalam anjuran dari suatu gaya hidup tertentu. Riset empiris menunjukkan heterogenitas para
(35)
Lansia, mencakup orang-orang yang memilih kehidupan sedikit terstruktur tersusun atau tidak memperhatikan kesehatan atau berarti untuk mengejar suatu jadwal aktivitas penuh. Meskipun demikian, aktivitas secara luas diakui oleh para Lansia sendiri sebagai kunci mereka menuju sukses diusia tuanya, sehingga gerontologis sudah menggelari filosofi ini "etnis yang sibuk" (Powell, 2001).
Teori ketiga tentang penuaan yang telah dipandang dengan memiliki banyak kelebihan di tahun terakhir disebut "teori kesinambungan”. Teori ini mengusulkan bahwa orang berumur paling sukses sukses adalah mereka yang memindahkan kebiasaan, pilihan, gaya hidup dan hubungan dari paruh baya hingga akhir hidup (Bearon, 1996).
Kriteria sukses dalam pembinaan kelompok usia lanjut, cukup kompleks seperti indikator subyektif dan obyektif. Indikator subyektif di antaranya meliputi kepuasan batin (makna hidup). Sedang indikator obyektif berupa usia yang panjang, kesehatan mental dan produktif sosial. Itu akan bisa tercapai jika seseorang bisa melakukan kontrol personal.
Konsep succesful aging sebagai perspektif yang berorientasi pada proses merupakan mekanisme dengan modal selektif, optimalisasi dan kompensasi. Hal ini, yang dimaksud selektif adalah membatasi aktivitas sehari- hari secara proaktif sesuai dengan motivasi dan kemampuan yang dimiliki. Model kedua adalah kompensasi, model ini tidak hanya mengandung adaptasi terhadap aktivitas yang selama ini dilakukan tetapi juga menciptakan aktivitas baru sesuai dengan kondisi Lansia. Agar hasilnya bisa maksimal di samping dua hal tersebut, perlu diimbangi dengan optimalisasi. Sebab dengan adanya optimalisasi secara tidak langsung memberikan
(36)
18
kesempatan pada Lansia untuk melakukan praktek dan latihan dengan menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif.
Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika mereka masih kecil. Para usia lanjut mempunyai peranan yang menonjol sebagai seorang yang “dituakan”, bijak dan berpengalaman, pembuat keputusan, dan kaya pengetahuan. Mereka sering berperan sebagai model bagi generasi muda, walaupun pada kenyataannya banyak diantara mereka tidak mempunyai pendidikan formal Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai- nilai sosal budaya sehingga dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya yang dimiliki orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh para generasi penerus mereka (Yasa, 1999 dalam Suhartini, 2004).
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa
Penggunaan kata kelembagaan disini mengacu pada istilah kelembagaan sosial yang berasal dari istilah social institution. Namun, Koentjaraningrat dalam Soekanto (1990) menggunakan istilah pranata sosial yang didefinisikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat, dalam menggambarkan dan menjelaskan istilah social institution tersebut. Penekanan diberikan pada sistem tata kelakuan atau norma dalam memenuhi kebutuhan. Coward dalam Cernea (1988) juga
(37)
menggunakan konsep pranata sosial untuk menperjelas perspektif sosiologi dalam kelembagaan irigasi, hanya saja hal ini juga dikaitkannya dengan konsep organisasi sosial. Konsep pranata ini menurutnya banyak dipakai dalam sosiologi, yang menunjuk pada perilaku ideal dan harapan peranan sebagai suatu konsep umum berbagai aturan yang menyokong pola perilaku sosial: norma, cara-cara rakyat, adat kebiasaan dan hukum.
Istilah ‘Social Institution’ oleh Soemardjan (1964) diterjemahkan dengan istilah lembaga kemasyarakatan. Hal ini dengan maksud istilah lembaga, kecuali menunjuk pada suatu bentuk, juga mengandung pengertian yang abstrak tentang adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang merupakan ciri dari lembaga itu.
Kelembagaan yang dipaparkan Schmid (1977) dalam Tonny (2004), adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lain. Hak- hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya pemanfaatan sumberdaya tertentu. Ahli ekonomi memakai konsep yang sama dalam mendefinisikan lembaga sebagai suatu peraturan perilaku. Pola perilaku sosial pada setiap kelompok penduduk dan interaksi dapat disebut sebagai organisasi sosial. Organisasi sosial ini terdiri dari pola kelompok-kelompok yang kurang resmi, bertujuan, ataupun mapan seperti rapat antara badan yang berwenang dengan kelompok musyawarah masyarakat.
Konsep kelembagaan sosial ini bukanlah istilah ‘lembaga’ (yang berasal dari kata institute) yang biasa digunakan dalam percakapan sehari- hari (Tonny, 2003). Umumnya, kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi, dalam banyak hal dapat merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut. Lebih lanjut Tonny
(38)
20
(2003) menjelaskan bahwa istilah lembaga biasanya merujuk pada suatu ‘badan’, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai organisasi yang memiliki beragam tujuan. Sehingga disimpulkan bahwa kelembagaan sosial merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai- nilai yang penting. Esensinya, menurut Polak (1966), kelembagaan itu memiliki tujuan yang mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Tonny, 2003).
Setiap masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu yang apabila dikelompokan akan terhimpun menjadi suatu kelembagaan sosial. Berdasarkan hal tersebut, sebagai suatu batasan, dapat dikatakan kelembagaan adalah himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam masyarakat. Wujud kongkrit dari kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (Soekanto, 1990), hal ini diperkuat oleh Mc Iver dan Page dalam Soemardjan (1964) yang membandingkan istilah kelembagaan dengan istilah association--asosiasi. Sedangkan kelembagaan merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya (Bertrand, 1974 dalam Tonny, 2003).
Kelembagaan sosial yang merupakan seperangkat aturan dan perilaku yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan tersebut. Koenjtaraningrat dalam Soekanto (1990) mengkategorikannya menjadi kelembagaan kekerabatan atau domestik, ekonomi, pendidikan, ilmiah, keagamaan, somatik, estetika dan rekreasi serta kelembagaan politik.
Kelembagaan politik merupakan kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran yakni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian dari politik itu sendiri
(39)
adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan tersebut. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh anggota masyarakat, dan bukan tujuan pribadi seseorang. Politik ini juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk dalam hal ini partai politik dan kegiatan perorangan (Budiarjo, 1972).
Rush dan Althoff (2003) mengemukakan bahwa perhatian sentral dari politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu; atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai- nilai tertentu; atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa esensi dari politik tergantung pada opini maupun pendapat masing- masing. Lebih lanjut Rush dan Althoff (2003) menerangkan bahwa pada banyak segi, kekuasaan merupakan titik sentral dari suatu studi politik. Hal ini kemudian menjuruskan kita pada esensi dari politik, yakni sarana-sarana dengan mana manusia memecahkan permasalahannya bersama-sama dengan manusia lain. Pada aspek ini kajian politik mencakup juga studi mengenai permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang dikembangkan manusia untuk memecahkan masalah tersebut, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi manusia untuk mengarasi permaslahan yang ada. Permasalahan tersebut menyangkut pemerintahan dalam pengertian ”aktivitas menjaga ketentraman” .
Konsepsi politik merupakan istilah yang diberikan oleh pengamat terhadap tipe-tipe kegiatan tertentu, Adrain dalam Fadhilah (2005) kemudian mengkategorikannya kedalam beberapa pola, yaitu: pertama, politik sebagai pengajaran kepentingan umum. Kedua, politik sebagai pengoperasian negara. Ketiga, politik sebagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
(40)
22
Berdasarkan beberapa konsepsi tersebut diatas, sebagai suatu kegiatan, politik itu beraneka ragam dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari suatu individu ke individu yang lain. Sehingga, politik tidak hanya menunjuk pada suatu kebijakan tertentu melainkan pada aspek yang berkaitan dengan perumusan dan penerapan kebijakan-kebijakan yang mengikat bagi suatu masyarakat.
Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa yang dikuasai (rakyat) dalam bentuk pemerintahan, pengunaan kekuasaan tersebut, orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya. Lembaga politik kemasyarakatan merupakan lembaga yang bersangkut paut dengan pengelompokkan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem kemasyarakatan (Sastroatmodjo, 1995). Coward dalam Cernea (1988) menyebutkan terdapat tiga elemen yang membentuk suatu kelembagaan dan organisasi sosial, diantaranya:
1. Aturan-aturan kunci, seperti sanksi-sanksi dan sarana-sarana lain dalam upaya pengendalian sosial
2. Peranan-peranan yang penting; Suatu sistem sosial terdiri dari anggota-anggota dengan status-status dan peranan-peranan yang kemudian membentuk suatu struktur sosial. Terdapat tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai peranan dan status yang menonjol, mereka inilah disebut pemimpin. Kepemimpinan menjadi menjadi salah satu penyusun dari elemen ini
3. kelompok-kelompok sosial yang penting
Berdasarkan adat istiadat Jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (baik formal
(41)
maupun informal), badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa (Prijono dan Prijono, 1983).
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik
Suatu sistem sosial tersusun atas dua unsur yakni kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok dalam sistem sosial. Sistem sosial oleh Soekanto (1990) diartikan sebagai suatu pola-pola perilaku yang mengatur hubungan antara individu, masyarakat, dan individu dengan masyarakatnya, dimana kedudukan dan peran memiliki arti yang penting. Kedudukan merupakan tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu, tetapi jika dipisahkan dari individu yang memilikinya maka status-status tersebut merupakan kumpulan hak dan kewajiban. Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki beberapa kedudukan sekaligus dan selalu terdapat suatu kedudukan yang menonjol/utama yang kemudian mendasari penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial. Apabila seseorang menjalankan suatu hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dapat dikatakan ia telah menjalankan suatu peranan.
Suatu peranan berasal dari pola-pola yang ada dalam sistem sosial, dan diatur oleh norma-norma yang berlaku dan terbentuk dari pola tersebut. Sehingga peran menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Soekanto (1990) menyimpulkan peranan mencakup tiga hal, yakni:
1. norma-norma yang dikaitkan dengan status sosial sehingga merupakan rangkaian aturan yang mengarahkan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. 2. konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat
(42)
24
Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran maupun lingkungan yang memberi peran kepadanya. Pareek dalam Rohmad (1998) mengemukakan peran merupakan sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh seseorang sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial yang bersangkutan dan harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial yang bersangkutan dan harapan-harapannya sendiri dari jabatan (posisi) yang ia duduki dalam sistem sosial itu. Berdasarkan pengertian tersebut, peran dapat dibedakan menjadi tiga yakni (Berlo dan Berry dalam Rohmad, 1998):
1. Presicription role atau peran tertentukan, yaitu harapan-harapan yang dinyatakan secara formal dan eksplisit tentang perilaku yang harus dilakukan menurut posisi tertentu.
2. Expectation role atau peran harapan, yaitu gambaran atau kesan (images) yang ada dalam diri orang tentang perilaku yang dilakukan oleh orang dalam peran tertentu,
3. Performances role atau sering disebut description role atau peran aktual, yaitu suatu laporan perilaku yang secara nyata dilakukan oleh orang dalam peran tertentu.
Jika dikaitkan dengan suatu kegiatan pembangunan masyarakat, maka peran harus dikaji berdasarkan pada prinsip, misi dan tugas atau pekerjaan peran tersebut. Rohmad (1998) menjelaskan peran-peran dalam suatu pembangunan masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga peran, yakni: (1) peran interpersonal; (2) peran informasional; (3) peran memutuskan. Ketiga peran tersebut saling mempengaruhi, sehingga menjadi satu-kesatuan.
(43)
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peran merupakan perilaku yang diharapkan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Perilaku politik ini merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum yang menyangkut persoalan politik, maka perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Sastroadmodjo, 1995). Interaksi sosial dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik ini adalah esensi dari perilaku politik tersebut.
Perilaku ini berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut. perilaku ini merupakan hasil pengaruh dari beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budayanya. Terkait dengan perilaku ini, maka sikap politik merupakan suatu kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik sebagai suatu bentuk penghayatan terhadap objek tersebut (Sastroadmodjo, 1995). Munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul atau sekurang-kurangnya kecenderungan untuk berperilaku. Salah satu bentuk perilaku individu yang dapat diamati (overt behavior) dalam kehidupan berpolitik adalah partisipasi politik.
Partis ipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai
(44)
26
dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan7.
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni relasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Sedangkan didalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain- lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being8.
Makna terdalam partisipasi adalah suara (voice), akses dan kontrol masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari, dengan uraian sebagai berikut9:
Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah.
Kedua, Akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan me nentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan
7
Definisi Partisipasi Politik dalam Ensiklopedia Digital,
http//:www.wikipedia.org/partisipasi_politik/wiki.htm, diakses tanggal 19 Mei 2006
8 Suara, Akses dan Kontrol Masyarakat.
LESUNG Edisi 3 Tahap II, April 2003. http://www.fppm.org/Lesung/Edisi%203%20tahun%202003/perspektif.htm.
(45)
tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangk ut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan dan lain- lain.
Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.
Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka.
Pola kontrol (penguasaan) yang ada dalam masyarakat juga dapat dikaji dari analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga maupun masyarakat. Analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga dilakukan untuk melihat : (a) siapa bertanggung jawab, untuk apa; (b) siapa memperoleh manfaat, apa; (c) siapa bisa dijadikan mitra untuk kegiatan program pembangunan yang menyangkut perubahan sikap dan perilaku (Sugiarti & Handayani, 2002).
(46)
28
Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan bentuknya. Sebagai suatu bentuk kegiatan maka partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan pasif. Orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluran politik, sementara partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran politik saja (Sastroatmodjo, 1995). Partisipasi aktif mencakup kegiatan mengajukan usul, menyalurkan aspirasi politik, mengajukan kritik dan saran, membayar pajak, ikut serta dalam pemilihan umum. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin.
Terdapat sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang dari apa yang telah dicita-citakan. Hal ini diaktualisasikan oleh mereka dalam suatu sikap apatis. Kategori orang yang apatis ini diterjemahkan oleh Milbarth dan Goel (Sastroadmodjo, 1995) sebagai suatu sikap dimana seseorang yang menarik diri dari proses politik. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan seseorang bersikap apatis, pertama, mereka beranggapan bahwa denga n mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai politik tertentu. Alasan kedua, karena individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan sia-sia belaka serta ia tidak mungkin mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik. Argumen ketiga adalah atas pemikiran bahwa politik hanyalah memberi kepuasan sedikit dan tidak langsung, sedang hasil yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain, partisipasi politik baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Rush dan Althoff, 2003)
Fachrozy (2002) menggunakan beberapa indikator untuk mengukur tingkat partisipasi politik masyarakat nelayan, diantaranya:
(47)
1. Keikutsertaan dalam kampanye pemilihan umum
2. Keikutsertaan dalam kegiatan pemungutan suara untuk memilih perwakilan rakyat
3. Keikutsertaan secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah
4. Ikut serta dan keanggotaan dalam organisasi atau kelompok berkepentingan 5. Frekuensi mengikuti diskusi informal mengenai masalah yang terjadi di desa 6. Frekuensi berkomunikasi dengan pihak berwenang dalam menyelesaikan
permasalahan
Rush dan Althoff (2003) berusaha menempatkan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam suatu hirearki partisipasi politik, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini. Dijelaskan juga bahwa partisipasi pada satu tingkatan hierarki tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi.
Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya
Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik
Voting (pemberian suara) Apathi total
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal
Kebudayaan Sunda, ya itu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata
(48)
30
kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dan sebagainya. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta’awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis10.
Etos menurut Koentjaraningrat (1994) dalam memaknai hakekat hidup terdapat perbedaan antara masyarakat di desa dengan di kota. Masyarakat desa mempunyai kecenderungan memaknai hidup sebagai nasib yang harus diterima. Hal dapat dilihat dari ungkapan yang sering dikemukakan, seperti “setiap orang harus ingkang nrimah“ yang artinya harus dapat menerima keadaan dalam hidupnya. Ungkapan lain yang juga sering dikemukakan adalah “pasrah lan sumarah“ yang maknanya adalah menyerah dan menerima keadaan. Hal ini berbeda dengan masyarakat kota, meskipun memaknai hidup sebagai sebuah nasib yang harus diterima, akan tetapi diwajibkan untuk berusaha
10 Kahmad, Dadang. Agama Islam Dalam Perkembangan Budaya Sunda.
(49)
memperbaiki kehidupan. Konsep berusaha untuk memperbaiki kehidupan inilah yang dikenal dengan “ikhtiar“.
Mengenai hakekat karya atau etos kerja, bagi masyarakat desa yang awam (kurang terpelajar) hakekat karya atau etos kerja tidak terlalu berarti. Mereka memaknai pekerjaan sebagai sesuatu yang memang harus dilakukan jika ingin bertahan hidup. Hal ini sedikit berbeda dengan masyarakat desa yang terpelajar, bagi mereka hakekat tentang karya dan etos kerja dikaitkan dengan konsep pahala dalam agam Islam. Artinya, setiap pekerjaan yang dilakukan akan mendapatkan balasan atau hasil. Konteks tersebut juga dimiliki oleh masyarakat Jawa di kota. Hanya saja pemaknaan terhadap pahala bagi masyarakat kota dikontekskan sebagai sesuatu pencapaian yang bersifat konkrit. Bagi masyarakat priyayi, yang menjadi representasi masyarakat kota, pencapaian konkrit yang dimaksudkan adalah kedudukan dan kekuasaan, akan lambang-lambang lahiriah dari kekayaan, serta hubungan dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi (Koentjaraningrat, 1994).
Soetarto (1998) mengaitkan etos komunal dengan bentuk partisipasi aktif dalam politik desa yang antara lain mengajukan kritik-kritik sosial. Lebihlanjut diuraikan bahwa etos komunal merupakan sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu sifat etos yang dianut suatu kelompok sehingga etos tidak terlepas dari lingkungan dan kelompok. Ritus agama dan kepercayaan pada gilirannya akan menguatkan pemberian sangsi yang lebih tinggi, sehigga orang takut untuk berperilaku menyimpang.
Dihubungkan dengan masyarakat desa di daerah Jawa Barat yang erat kaitannya dengan kehidupan komunitas tani. Scott (1983) menyatakan bahwa kebanyakan komunitas khususnya yang bersifat pra-kapitalis, kekhawatiran kekurangan pangan
(50)
32
telah menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan etika subsistensi. Etika ini menimbulkan prinsip safety first atau dahulukan selamat yang kemudian melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Satu asumsi yang kritis dari prinsip safety first itu adalah bahwa pekerjaan rutin subsitensi memberikan hasil yang memuaskan. Berdasarkan konteks ekonomi etika subsistensi yang tak ingin mengambil resiko ini mempunyai implikasi- implikasi sosial dan politik yang sama pentingnya seperti sikap masyarakat di pedesaan Sunda yang biasa, yakni hati- hati dan skeptis.
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Kemampuan dan tingkat partisipasi seseorang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berhubungan dengan latar belakang karakteristik individu yang bersangkutan. Madrie (1986) menyatakan bahwa tingkat pendidikan, umur, kekosmopolitan, dan kesesuaian dengan kebutuhan merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan.
Partisipasi merupakan bentuk dari perilaku, kegiatan berpartisipasi akan dipengaruhi oleh unsur- unsur kepribadian tertentu, misalnya sikap, minat, keterampilan, ambisi, dan juga dipengaruhi oleh suasana lingkungan. Selain itu, partisipasi juga merupakan suatu bentuk khusus didalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung jawab dalam komunitasnya. Tjondronegoro dalam Madrie (1986) mengungkapkan bahwa partisipasi akan dipengaruhi oleh needs, motivasi, struktur sosial, startifikasi sosial didalam masyarakat, dan orang akan berpartisipasi menyangkut adanya kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan serta akan meningkatkan statusnya. Purwatiningsih (2003) mengungkapkan sejumlah faktor yang mempengaruhi partisipasi politik Lansia dalam kelembagaan masyarakat diantaranya:
(1)
? Anak ? Bekerja/Usaha ? Lainnya (sebutkan),____________
10. Berapa besar pendapatan yang Bapak/Ibu peroleh setiap bulannya?
? Kurang dari Rp 100.000 ? Rp 100.000 sampai Rp 500.000 ? Lebih dari Rp 500.000
V. Tempat tinggal dan Caregiving
11. Dimanakah Bapak/Ibu saat ini bertempat tinggal?
? Rumah Sendiri ? Menumpang di rumah anak ? Menumpang di rumah sanak saudara
12. Siapa yang merawat Bapak/Ibu?
? Mandiri/tinggal sendiri ? Sanak saudara (adik, keponakan, sepupu, dsb.)
? Anak ? Cucu/Cicit
? Orang lain, sebutkan hubungannya______________________
VI. Status Pernikahan
13. Saat ini, bagaimanakah status pernikahan Bapak/Ibu?
? Menikah ? Tidak menik ah (selibat permanen) ? Janda/Duda
B. Partisipasi dalam Kelembagaan Politik Desa
14. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat atau pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa (Kelurahan)?
? Pernah ? Tidak Pernah, (langsung ke pertanyaan no. 18)
15. Berapa kali Bapak/Ibu mengikuti rapat atau pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa (Kelurahan)?
? 1-2 kali ? Lebih dari 2 kali
16. Rapat atau pertemuan tersebut diadakan dalam rangka kegiatan apa? Sebutkan! ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ 17. Peranan apa sajakah yang Bapak/Ibu tampilkan dalam mengikuti rapat atau
pertemuan
tersebut?__________________________________________________________ _________________________________________________________________ 18. Apakah Bapak/Ibu pernah atau saat ini menjadi lurah, pamong ataupun kader desa? ? Ya/Pernah, sebutkan menjadi apa?
______________________________
? Tidak/Tidak pernah (langsung ke pertanyaan no.19)
19. Jika ya/pernah, bagaimanakah Bapak/Ibu dapat menjadi lurah, pamong atau kader desa?
? Ditunjuk oleh pemerintah desa/pemerintah atas desa ? Dipilih oleh warga masyarakat
(2)
20. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat atau musyawarah yang diadakan oleh masyarakat (diadakan secara informal)?
? Pernah ? Tidak pernah (langsung ke pertanyaan no.24) 21. Berapa kali Bapak/Ibu mengikutinya?
? 1-2 kali ? lebih dari 2
22. Musyawarah tersebut diadakan dalam rangka kegiatan apa? Sebutkan!
__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ 23. Siapa yang memprakarsai kegiatan tersebut?_______________________________ 24. 1. Apakah Bapak/Ibu mengikuti Pemilu tahun 2004? ( ) Ya ( ) Tidak
2. Partai apa yang Bapak/Ibu pilih pada Pemilu 2004?_______________________ 25. Apa peran Bapak/Ibu dalam partai tersebut?
? Simpatisan ? Kader Parpol ? Pengurus
26. Bagaimana dengan pelaksanaan kampanye, apa peran Bapak/Ibu? ? Hanya ikut pawai
? Juru kampanye ? Tidak mengikuti
27. Apakah Bapak/Ibu ikut saat penghitungan suara? ? Ya ? Tidak
28. Apakah Bapak/Ibu masih mengikuti perkembangan berita politik di media massa? ? Ya, (sebutkan medianya________________________)
? Tidak, (Alasan,_______________________________________________________) 29. Apa yang terlintas pertama kali dibenak bapak/ibu ketika mendengar kata ’politik’?
30. Apakah Bapak/Ibu masih berminat untuk berpartisipasi dalam politik di desa? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________
31. Menurut Bapak/Ibu orang yang seperti apakah yang masih pantas terjun dalam dunia politik?
______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 32. Bagaimana gambaran masa tua yang ideal/sukses menurut pendapat Bapak/Ibu? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 33. Apa pandangan Bapak/Ibu mengenai kelembagaan politik yang terdapat di Desa ini? a. Rapat-rapat desa
? Bisa diakses, tapi tidak punya kontrol ? Bisa diakses, dan punya kontrol
? Sulit untuk diakses, dan tidak punya kontrol b. Kinerja Kepala Desa dan Pamong Desa
(3)
? Sukses/Baik
? Belum Sukses/Buruk ? Tidak tahu
34. Apakah sarana dan prasarana politik yang terdapat di Desa ini sudah cukup menunjang partisipasi bagi semua warga desa? Sebutkan alasannya!
a. Jarak
? Dekat dan bisa diakses dengan berjalan kaki
? Jauh, tapi masih bisa diakses drngan alat transportasi (contoh: ojek) ? Jauh, tidak bisa diakses
35. Posisi apakah yang layak diberikan bagi para lansia yang aktif dalam kelembagaan politik di desa ini? Alasannya?
______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________
(4)
Lampiran 3. Panduan pertanyaan
1. Kapan terpilih menjadi kepala desa? Alasan mengapa ingin menjadi kepala desa?(coba gali soal adanya kecenderungan hubungan kekerabatan dalam hal ini) 2. bagaimana proses untuk dapat terpilih menjadi kepala desa? Persyaratannya apa
saja, ceritakan tentang proses pencalonan? Adakah kampanye, jika iya bagaimana prosesnya?
3. mana yang lebih diselenggarakan lebih dahulu, pemilihan BPD atau pemilihan kepala desa?
4. Apa saja tugas, wewenang serta tanggung jawab seorang kepala desa Situ Udik baik secara formal maupun informal?
5. Dalam menjalankan pemerintahan kepala desa dibantu oleh perangkat desa, apa saja peranan yang dijalankan oleh perangkat desa ini? Bagaimana proses pemilihan para pamong atau perangkat desa?
6. Rapat-rapat formal apa saja yang diselenggarakan di Desa Situ Udik? Bentuk kegiatannya seperti apa? Siapa saja yang dapat mengikuti rapat formal desa? Rapat yang seperti apa yang bisa diikuti oleh seluruh warga?
7. Bagaimana proses pengambilan keputusan politik dilakukan? 8. Bagaimana pola hubungan antara BPD dengan kepala desa?
9. Siapa ketua BPD sekarang? Apa syarat (formal dan informal—individu yang seperti apa menurut masyarakat Desa Situ Udik) jadi BPD? Bagaimana penilaian anda tentang lembaga ini?
10.Seberapa sering diskusi-diskusi informal diselenggarakan? Siapa saja yang kerap berdiskusi secara informal? Dimana diskusi ini seringkali dilakukan? Topik apa saja yang menjadi bahan pembicaraan dalam diskusi-diskusi tersebut?
11.Bagaimanakah posisi, peran serta status lansia dalam kelembagaan politik desa? Dalam hal atau permasalahan apa lansia biasanya dilibatkan? Lansia seperti apa yang sering dilibatkan kaitannya dengan politik desa?
12.Sulitkah menggalang partisipasi masyarakat Desa Situ Udik khususnya dari aspek politiknya?
(5)
14.Apa suka dan duka seorang kepala desa?
15.Upaya apa sajakah yang dilakukan untuk menampung aspirasi dari masyarakat? 16.Menurut anda apakah sarana serta prasarana yang ada sudah mampu menunjang
partisipasi masyarakat dalam kelembagaan politik desa? Panduan pertanyaan untuk Pamong Desa
1. Sejak kapan jadi pamong desa? Mengapa menjadi pamong desa?
2. Bagaimana prasyarat (formal dan informal) untuk dapat menjadi seorang pamong desa?
3. Apa saja tugas, tanggung jawab serta wewenang pamong desa? 4. Jika ada rapat-rapat formal apa peranan yang ditampilkan?
5. Bagaimana bentuk pelayanan yang diberikan bagi lansia? Dibedakankah dari orang yang lebih muda?
6. Menurut anda apakah sarana dan prasarana yang ada sudah mampu menunjang partisipasi masyarakat?
7. Apa yang menjadi suka dan duka seorang pamong desa?
8. Sulitkah menggalang partisipasi masyarakat dalam politik desa?
9. Siapa aja yang biasanya memiliki akses dan kontrol dalam kelembagaan politik desa?
10.Apa pandangan anda tentang lansia yang masih aktif dalam kelembagaan politik desa?
(6)
Lampiran 4. Pandangan lansia tentang aksesibilitas dalam rapat-rapat formal desa, Desa Situ Udik tahun 2006
Pandangan Jumlah Persentase
1: sulit untuk diakses serta tidak punya kontrol 21 52,5
2: bisa diakses tapi tetap tidak bisa punya kontrol 13 32,5
3: mudah untuk diakses serta mempunyai kontrol 6 15,0
Total 40 100,0
Lampiran 5. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kriteria terhadap
pemimpin, Desa Situ Udik tahun 2006
Kriteria berdasarkan usia Jumlah Persentase
Pemimpin adalah yang berusia tua 16 40,0
Pemimpin seharusnya adalah yang muda 16 40,0
Sama saja baik tua atau muda 8 20,0
Total 40 100,0
Lampiran 6. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi terhadap posisi
atau jabatan yang pantas bagi lansia yang masih aktif, Desa Situ Udik tahun 2006
Posisi atau jabatan yang pantas Jumlah Persentase
Pengikut 9 22,5
Pengurus, kader, tokoh masyarakat, serta pamong desa 1 2,5
Penasihat atau pembimbing 15 37,5
Pemimpin, dewan desa 15 37,5