cenderung mementingkan suatu pihak hanya mempunyai hak saja sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban belaka.
Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa yang dikuasai rakyat dalam bentuk pemerintahan, penggunaan kekuasaan tersebut,
orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya. Berdasarkan adat istiadat jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai
tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa baik formal
maupun informal, badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa Prijono dan Prijono, 1983.
2.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diduga faktor sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan serta tingkat pengalaman berorganisasi mempengaruhi sikap, persepsi serta kepercayaan terhadap kelembagaan politik desa.
2. Diduga faktor nilai budaya yang terdiri dari persepsi, sikap, pengetahuan dan
kepercayaan politik berpengaruh terhadap partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa .
2.4 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dalam penelitian,
maka peneliti mengembangkan beberapa definisi operasional, diantaranya sebagai berikut:
Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel serta mengaitkannya.
1. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga
peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Hal tersebut diukur dengan sejauhmana Lansia baik laki- laki maupun perempuan mendapatkan kesempatan
untuk dapat terlibat dalam kegiatan dalam kelembagaan politik desa. Partisipasi politik Lansia terhadap kelembagaan politik desa dapat dibedakan menjadi:
a. Partisipasi aktif atau tingkat partisipasi tinggi yakni jika skor keikutsertaan Lansia
dalam kegiatan rapat desa, musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa, termasuk dalam kategori skor tinggi.
b. Partisipasi pasif atau tingkat partisipasi rendah yakni jika skor keikutsertaan Lansia termasuk dalam kategori sedang dalam kegiatan rapat desa, musyawarah
desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa. c.
Apatis yakni tingkat partisipasi dengan skor keikutsertaan dalam kegiatan rapat desa, musyawarah, serta dewan desa termasuk dalam kategori rendah.
2. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal terakhir yang telah diikuti
oleh responden. Tingkat pendidikan dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:
- Tidak pernah sekolah, tidak lulus dan SD Lulus SD, digolongkan dalam kategori tingkat pendidikan rendah
- Tidak lulus SMP, lulus SMP, Tidak lulus SMA, lulus SMA dan digolongkan dalam kategori tingkat pendidikan sedang
- Sarjana dan diploma digolongkan dalam kategori pendidikan tinggi. 3. Pendapatan adalah total pendapatan per bulan yang diperoleh baik yang berasal dari
bekerja, hasil pensiun maupun yang berasal dari pemberian santunan kepada Lansia. Besar pendapatan ini digolongkan menjadi tinggi, sedang dan rendah dengan
klasifikasi sebagai berikut: - Tingkat pendapatan tinggi, dengan total pendapatan per bulan kurang dari Rp
100.000 - Tingkat pendapatan sedang, dengan total pendapatan per bulan Rp 100.000-Rp
500.000 - Tingkat pendapatan tinggi, dengan total pendapatan per bulan lebih dari Rp
500.000 4. Pengalaman berorganisasi adalah keikutsertaan Lansia dalam suatu organisasi formal
maupun perkumpulan informal dalam masyarakat yang dilihat berdasarkan skor yang diaktegorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi.
6. Caregiving adalah perawatan yang diberikan atau dilakukan bagi individu Lansia baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain anakkerabat.
7. Faktor Nilai Budaya, nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik
atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya dalam penelitian ini dilihat lewat persepsi menyangkut kriteria terhadap pemimpin dan Lansia yang masih aktif
negatif dan positif, pernyataan sikap politik positif dan negatif, dan kepercayaan terhadap perangkat desapercaya dan tidak percaya.
8. Faktor Politik, yakni peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir, meliputi :
a. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang
terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah
kenegaraan dan atau pembangunan. Diukur berdasarkan keikutsertaan dalam Pemilu 2004 yang meliputi keikutsertaan, peran dalam kampanye serta
keikutsertaan dalam penghitungan suara pemilu. b.
Pengetahuan terhadap proses pengambilan keputusan politik, merupakan informasi yang diketahui seseorang yang akan diperoleh melalui proses belajar
atau pengalaman.Diukur berdasarkan keterdedahan terhadap media massa khususnya berita politik.
9. Lansia adalah setiap individu yang berusia 60 tahun ke atas. 10. Usia adalah umur dari individu lanjut usia Lansia yang digolongkan menjadi tiga
bagian yaitu : Lanjut usia elderly 60 -74 tahun,
Lanjut usia tua old 75 – 90 tahun dan Usia sangat tua very old diatas 90 tahun.
11. Kelembagaan politik desa adalah institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus
mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa formal, musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa.
P P
r r
o o
s s
e e
s s
P P
e e
n n
g g
a a
m m
b b
i i
l l
a a
n n
K K
e e
p p
u u
t t
u u
s s
a a
n n
P P
o o
l l
i i
t t
i i
k k
Kelembagaan Politik Desa:
1. Rapat formal
desa,
2
Musyawarah desa,
3
Dewan desa yang terdiri
dari lurah dan para pamong
desa
K K
a a
r r
a a
k k
t t
e e
r r
i i
s s
t t
i i
k k
L L
a a
n n
s s
i i
a a
: :
1 1
. .
U U
s s
i i
a a
2 2
. .
S S
t t
a a
t t
u u
s s
P P
e e
r r
n n
i i
k k
a a
h h
a a
n n
3 3
. .
T T
e e
m m
p p
a a
t t
t t
i i
n n
g g
g g
a a
l l
4 4
. .
C C
a a
r r
e e
g g
i i
v v
i i
n n
g g
F F
a a
k k
t t
o o
r r
s s
o o
s s
i i
a a
l l
e e
k k
o o
n n
o o
m m
i i
: :
5 5
. .
P P
e e
n n
d d
i i
d d
i i
k k
a a
n n
6 6
. .
P P
e e
n n
g g
a a
l l
a a
m m
a a
n n
B B
e e
r r
o o
r r
g g
a a
n n
i i
s s
a a
s s
i i
7 7
. .
B B
e e
s s
a a
r r
p p
e e
n n
d d
a a
p p
a a
t t
a a
n n
S S
u u
c c
c c
e e
s s
s s
f f
u u
l l
A A
g g
i i
n n
g g
K K
e e
m m
a a
n n
d d
i i
r r
i i
a a
n n
P P
e e
l l
a a
y y
a a
n n
a a
n n
P P
e e
m m
e e
n n
u u
h h
a a
n n
d d
i i
r r
i i
B B
e e
r r
m m
a a
r r
t t
a a
b b
a a
t t
S S
p p
r r
i i
t t
u u
a a
l l
P P
a a
r r
t t
i i
s s
i i
p p
a a
s s
i i
F F
a a
k k
t t
o o
r r
p p
o o
l l
i i
t t
i i
k k
: :
1 1
. .
K K
e e
s s
a a
d d
a a
r r
a a
n n
p p
o o
l l
i i
t t
i i
k k
2 2
P P
e e
n n
g g
e e
t t
a a
h h
u u
a a
n n
p p
o o
l l
i i
t t
i i
k k
3 3
J J
e e
n n
i i
s s
K K
e e
l l
a a
m m
i i
n n
F F
a a
k k
t t
o o
r r
n n
i i
l l
a a
i i
b b
u u
d d
a a
y y
a a
: :
1 1
. .
S S
i i
k k
a a
p p
t t
e e
r r
h h
a a
d d
a a
p p
p p
o o
l l
i i
t t
i i
k k
2 2
P P
e e
r r
s s
e e
p p
s s
i i
t t
e e
r r
h h
a a
d d
a a
p p
p p
e e
m m
i i
m m
p p
i i
n n
3 3
K K
e e
p p
e e
r r
c c
a a
y y
a a
a a
n n
t t
e e
r r
h h
a a
d d
a a
p p
k k
i i
n n
e e
r r
j j
a a
l l
e e
m m
b b
a a
g g
a a
p p
o o
l l
i i
t t
i i
k k
d d
e e
s s
a a
K K
e e
t t
e e
r r
a a
n n
g g
a a
n n
: :
M M
e e
m m
p p
e e
n n
g g
a a
r r
u u
h h
i i
: :
V V
a a
r r
i i
a a
b b
e e
l l
k k
o o
n n
t t
r r
o o
l l
: :
K K
e e
t t
e e
r r
l l
i i
b b
a a
t t
a a
n n
d d
a a
l l
a a
m m
: :
M M
e e
m m
p p
e e
n n
g g
a a
r r
u u
h h
i i
h h
u u
b b
u u
n n
g g
a a
n n
: :
Gambar 2. Kerangka pemikiran ”Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa”.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN