Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Pelaku mengaku bahwa dirinya membunuh ayahnya ketika beliau tidur, dengan alasan karena selalu kalah jika berkelahi. Ari Widodo, Kompas; Jumat, 9 Januari 2015 Geertz 1961 menjelaskan bahwa ternyata semua hubungan sosial orang Jawa adalah bersifat hierarkis dan semakin orang Jawa menghormati seseorang semakin tinggi kedudukannya. Pada tahun 1994, Niels Mulder memunculkan faham tentang “Bapakisme” dimana faham tersebut berpendapat bahwa kedudukan atas seperti ayah memiliki fungsi sebagai pelimpah anugerah atau nafkah sedangkan kedudukan bawah seperti istri dan anak adalah pemohon. Hal tersebut bersifat satu arah atau tidak berlaku sebaliknya. Dalam kesehariannya, orang Jawa tentu tidak luput dari kesalahan dan membutuhkan pola interaksi untuk setidaknya memunculkan perilaku meminta maaf pada orang yang disakiti. Seperti yang kita ketahui bahwa kesalahan dapat datang dari mana saja bahkan seperti orang tua yang berbuat salah kepada anaknya. Hal yang menarik disini adalah bagaimana orang tua khususnya ayah yang bersuku Jawa dalam memahami manfaat dari perilaku meminta maaf kepada anaknya dengan adanya jarak di antara keduanya ayah dengan anak dan nilai hormat-menghormati yang sangat kuat ditekankan pada Budaya Jawa sendiri. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa ayah yang bersuku Jawa tidak dituntut untuk memohon atau meminta maaf kepada anak karena bentuk kehormatan yang tinggi diajarkan oleh budaya Jawa sendiri. Oleh sebab itu, karena hormat hanya bersifat satu arah pada budaya Jawa, maka jarang sekali orang tua yang bersuku Jawa meminta maaf kepada anaknya. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada budaya Jawa orang tua adalah figur yang harus selalu dihormati oleh anaknya karena dianggap selalu benar dan tidak pernah salah dalam mendidik. Terkait dengan perilaku meminta maaf, orang Jawa dalam budayanya memiliki sebuah tradisi yang juga menanamkan nilai tersebut. Pada setiap tahunnya, o rang Jawa memiliki tradisi ‘lebaran’ yang dimeriahkan dengan acara kumpul bersama trah keluarga besar. Dalam acara tersebut, umumnya dikalangan keluarga orang Jawa sering sekali mengadakan sungkeman, yakni tradisi ketika orang Jawa menyampaikan bentuk permintaan maaf dan memohon doa restu dengan cara menyembah orang yang lebih tua. Pada umumnya, orang yang lebih muda akan mengatakan “ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sadaya kalepatan kula, nyuwun pangestunipun ” saya mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf atas segala kesalahan saya, dan minta doa restunya sembari bersimpuh lutut pada orang yang lebih tua. Tradisi sungkeman ini pada orang Jawa semakin menguatkan bahwa perilaku meminta maaf pada umumnya selalu dilakukan terlebih dahulu oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua seperti anak kepada orangtua. Pada dasarnya, perilaku meminta maaf merupakan sebuah bentuk ekspresi yang diungkapkan dengan perkataan maupun penulisan menunjukan perasaan bersalah, kesedihan, kenestapaan dan rasa penyesalan terhadap perbuatan sebelumnya yang sifatnya menghina, menyakiti, atau menganiyaya Jean-Marc Coicaud, 2009. Menurut Jean- Marc Couicaud 2009, perilaku meminta maaf dimulai dengan kemauan dari orang tersebut pelaku untuk mengakui kesalahan atau tanggung jawabnya dan meminta pengampunan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perilaku meminta maaf dapat memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak pelaku-korban. Berdasarkan penelitian Jean-Marc Couicaud 2009, perilaku meminta maaf memberikan dampak positif dalam dua aspek yaitu interpersonal dan intrapersonal pada orang yang melakukannya. Pada aspek interpersonal, perilaku meminta maaf memungkinkan seseorang untuk mendapatkan komunikasi terbuka dengan orang lain, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan memunculkan perasaan saling mengerti seperti dalam keluarga. Kemudian dalam aspek intrapersonal, hal ini berkaitan dengan penerimaan diri yang lebih baik pada orang tersebut karena pada umumnya setelah melakukan perilaku meminta maaf orang akan merasakan adanya kelegaan. Penelitian lain juga menyebutkan adanya dampak positif yang dialami oleh pihak orang yang disakiti korban. Hoffman 1975 menemukan bahwa dalam lingkup keluarga, orang tua yang menerapkan teknik VCT Victim-Centered Therapy yakni dengan sering memunculkan perilaku meminta maaf dan mengekspresikan afeksi kepada anaknya dapat membentuk kepribadian anak yang altruis. Selain itu, Fitzgerald et al, 2003 juga melakukan penelitian yang sama tentang orang tua yang menerapkan teknik VCT. Fitzgerald dkk menemukan bahwa orang tua yang sering meminta maaf dan mengekspresikan afeksi kepada anaknya menimbulkan penurunan terhadap perspektif negatif seperti agresi serta menimbulkan peningkatan terhadap perspektif positif seperti perilaku prososial pada anak. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku meminta maaf memberikan dampak positif pada kedua belah pihak baik kepada orang tua dan pada anak. Jika berdasarkan penelitian menunjukan berbagai manfaat dari perilaku meminta maaf, mengapa orang tua Jawa dapat dikatakan jarang untuk memunculkan perilaku meminta maaf kepada anaknya. Berdasarkan argumen diatas, peneliti merasa penting untuk menggali lebih dalam mengenai manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa. Banyaknya studi yang dilakukan dari budaya lain seperti Jepang- Amerika menambah daftar yang panjang akan pentingnya untuk meneliti manfaat dari perilaku meminta maaf yang dimiliki oleh budaya yang berbeda. Perbandingan dilakukan antara Jepang dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sosial harmoni, dan Amerika dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai penghargaan diri Barnlund dan Yoshioka, 1990. Barnlund dan Yoshioka 1990 menemukan adanya perbedaan dalam bentuk perilaku meminta maaf di antara negara Jepang dan Amerika yang dipengaruhi dari perilaku komunikasi dari dua nilai sosial yang berbeda. Hasil yang ditemukan dari studi ini adalah bahwa orang Jepang kebanyakan akan memunculkan perilaku meminta maaf secara langsung dengan kata-kata dibandingkan orang Amerika. Orang di negara Amerika cenderung menggunakan sebuah penjelasan di dalam situasi yang menuntut perilaku meminta maaf muncul. Pendekatan secara sosiologis terhadap perilaku meminta maaf juga dapat mempengaruhi perbedaan terkait manfaat dari perilaku meminta maaf. Wagatsuma dan Rosett 1986 menemukan bahwa perilaku meminta maaf yang tulus memiliki perbedaan makna yang dianut bagi orang Jepang dan Amerika dilihat dari manfaat perilaku meminta maaf itu sendiri. Dalam konteks Jepang, perilaku meminta maaf dapat dilakukan tanpa adanya sebuah pengakuan atas kesalahannya karena perilaku meminta maaf dibutuhkan oleh pembicara sebagai bentuk tunduk terhadap otoritas dan tatanan sosial dalam kaitannya dengan keharmonisan kelompok. Di sisi lain, orang Amerika melakukan perilaku meminta maaf sebagai bentuk pengakuan atas tindakan dan ditafsirkan sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih luas termasuk didalamnya nilai dan norma sosial dari budaya Jawa untuk memahami manfaat dan tujuan dari perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa. Dari berbagai penjelasan diatas, peneliti bermaksud ingin menggali informasi lebih dalam mengenai perilaku meminta maaf bagi orang tua yang bersuku Jawa. Berdasarkan penjelasan diatas didapatkan bahwa dampak dari perilaku meminta maaf dapat berupa hal yang positif baik dalam aspek interpersonal dan intrapersonal. Walaupun berdasarkan penelitian sebelumnya juga mengatakan bahwa perilaku meminta maaf dari orang tua berpengaruh secara positif dalam pertumbuhan karakter pada anak, orang tua yangbersuku Jawa cenderung tidak begitu memperhatikan hal ini. Dari argumen tersebut, timbul beberapa pertanyaan yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena diatas yakni “mengapa perilaku meminta maaf kepada anak jarang atau sulit dilakukan oleh ayah yang bersuku Jawa?” dan “apakah yang mendasari ayah yang bersuku Jawa untuk tidak melakukan perilaku meminta maaf kepada anak dengan mudahnya?”. Maka berangkat dari fenomena tersebut, pertanyaan yang difokuskan pada penelitian ini adalah, “Bagaimana manfaat dibalik perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa apabila telah melakukan kesala han?”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka dirumuskan pertanyaan yang menjadi permasalahan penelitian yaitu : “Bagaimana manfaat dibalik perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa apabila telah melakukan kesalahan? ”

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menjelaskan manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi lingkup psikologi, terutama berupa pemahaman konsep dalam konteks psikologi budaya dan psikologi sosial mengenai manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai manfaat dibalik ayah yang bersuku Jawa melakukan perilaku meminta maaf kepada anak. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kedua pihak baik ayah dan anak, berupa :

a. Bagi Ayah

Ayah yang bersuku Jawa dapat lebih memahami dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pentingnya melakukan atau tidak melakukan perilaku meminta maaf setelah melakukan kesalahan kepada anak didasarkan konteks budaya Jawa.

b. Bagi Anak

Anak yang bersuku Jawa dapat lebih memahami dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai alasan dibalik mengapa orang tua melakukan atau tidak melakukan perilaku meminta maaf apabila telah melakukan kesalahan.