Manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah bersuku Jawa.

(1)

vi

Manfaat Perilaku Meminta Maaf kepada Anak

Bagi Ayah yang bersuku Jawa

Vincentius Yoshua Wisnumurti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi manfaat perilaku meminta maaf pada anak di mata ayah yang bersuku Jawa. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana manfaat dibalik perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa apabila telah melakukan kesalahan. Dalam penelitian eksploratif ini, peneliti menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Penelitian ini melibatkan tiga orang responden yakni tiga orang Ayah bersuku Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam atau tidak terstruktur. Proses validasi yang dilalui dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan member checking, dimana data dari hasil wawancara yang diperoleh dapat dipakai jika responden merasa hasil tersebut menggambarkan pengalaman dari responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa bagi ayah bersuku Jawa, terdapat banyak manfaat perilaku meminta maaf kepada anak. Pada dasarnya, ayah yang bersuku Jawa menyadari banyak manfaat dari perilaku meminta maaf kepada anak, namun nilai dan ajaran budaya Jawa menekan mereka sehingga cenderung sulit untuk melakukan perilaku meminta maaf.

Kata kunci : Perilaku Meminta Maaf, Ayah kepada anak, Ayah bersuku Jawa, Budaya Jawa


(2)

vii

The Benefits of Apologizing towards Children from

the Fathers perspective in Javanese Culture

Vincentius Yoshua Wisnumurti

ABSTRACT

This research is aimed to explore the benefits of apologizing towards Children from fathers perspective in Javanese Culture. The main question from this research is how fathers from javanese culture interpret the behavior of apologizing towards children if they had made a mistake. In this exploration research, qualitative method is applied as an approach. Three Javanese ethnic fathers who lived in Yogyakarta were involved as a respondents during this research. The data was collected by using deep and semi-structured interview. Credibility in this research was built by applying member checking methods, which applied when the data can portray the respondents experience correctly. The result shows that apologizing towards children from the fathers perspective in Javanese Culture it has many benefits. Some of Javanese ethnic fathers feel that apologizing towards children is nothing more than words. However, some of the rest feel that doing apologizing towards children is not quite simply with words. In essence, Javanese ethnic fathers aware of the many benefits from apologizing

towards children’s behavior, but the values and teachings of Javanese culture that are less likely to suppress them to perform the behavior of apologizing.

Keyword : Apologizing, Father towards children, Javanese ethnic fathers, Javanese culture


(3)

Manfaat Perilaku Meminta Maaf kepada Anak

Bagi Ayah Bersuku Jawa

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Vincentius Yoshua WM

NIM : 109114020

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“From error to error, one discovers the entire truth.” (Sigmund Freud)

“Even if you're on the right track, you'll get run over if you just sit there.” (Will Rogers)

“Open your mind to new experiences, particularly to the study of other people. Nothing that happens to a writer, however happy, however tragic Is ever wasted.”

(P.D. James)

“Whats the point in being clever if you can’t prove it.” (Sherlock Holmes)

Life is too short to focus on the things you hate. Focus on the things you love to do instead”

(Pewdiepie)

Untuk seorang Kakak, yang sama-sama sedang berjuang menyelesaikan studi di perguruan tinggi. even most of the time we’ve made enemy of us . Yet, someone still loves you


(7)

v

Saya yang bertanda tangan dibawah ini sesungguhnya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, terkecuali yang telah disebutkan dalam kutipan maupun dalam daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 Agustus 2015

Penulis,


(8)

vi

Manfaat Perilaku Meminta Maaf kepada Anak

Bagi Ayah yang bersuku Jawa

Vincentius Yoshua Wisnumurti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi manfaat perilaku meminta maaf pada anak di mata ayah yang bersuku Jawa. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana manfaat dibalik perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa apabila telah melakukan kesalahan. Dalam penelitian eksploratif ini, peneliti menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Penelitian ini melibatkan tiga orang responden yakni tiga orang Ayah bersuku Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam atau tidak terstruktur. Proses validasi yang dilalui dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan member checking, dimana data dari hasil wawancara yang diperoleh dapat dipakai jika responden merasa hasil tersebut menggambarkan pengalaman dari responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa bagi ayah bersuku Jawa, terdapat banyak manfaat perilaku meminta maaf kepada anak. Pada dasarnya, ayah yang bersuku Jawa menyadari banyak manfaat dari perilaku meminta maaf kepada anak, namun nilai dan ajaran budaya Jawa menekan mereka sehingga cenderung sulit untuk melakukan perilaku meminta maaf.

Kata kunci : Perilaku Meminta Maaf, Ayah kepada anak, Ayah bersuku Jawa, Budaya Jawa


(9)

vii

The Benefits of Apologizing towards Children from

the Fathers perspective in Javanese Culture

Vincentius Yoshua Wisnumurti

ABSTRACT

This research is aimed to explore the benefits of apologizing towards Children from fathers perspective in Javanese Culture. The main question from this research is how fathers from javanese culture interpret the behavior of apologizing towards children if they had made a mistake. In this exploration research, qualitative method is applied as an approach. Three Javanese ethnic fathers who lived in Yogyakarta were involved as a respondents during this research. The data was collected by using deep and semi-structured interview. Credibility in this research was built by applying member checking methods, which applied when the data can portray the respondents experience correctly. The result shows that apologizing towards children from the fathers perspective in Javanese Culture it has many benefits. Some of Javanese ethnic fathers feel that apologizing towards children is nothing more than words. However, some of the rest feel that doing apologizing towards children is not quite simply with words. In essence, Javanese ethnic fathers aware of the many benefits from apologizing

towards children’s behavior, but the values and teachings of Javanese culture that are less likely to suppress them to perform the behavior of apologizing.

Keyword : Apologizing, Father towards children, Javanese ethnic fathers, Javanese culture


(10)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan dibawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

NAMA : VINCENTIUS YOSHUA WISNUMURTI

NIM : 109114020

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

Manfaat Perilaku Meminta Maaf kepada Anak Bagi Ayah Bersuku Jawa

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 25 Agustus 2015 Yang menyatakan,


(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Walaupun halangan selalu ada, dan waktu yang dibutuhkan lebih lama dari yang penulis perkirakan, namun dengan kuasa-Nya penulis bersyukur dapat menuntaskan skripsi yang telah disusun sejak pertengahan tahun 2014 lalu. Banyak berbagai cara untuk memandang esensi dari sebuah tugas akhir dari suatu proses perkuliahan ini. Apabila dipandang dari akademis secara formal, tugas akhir berupa tulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana psikologi (S.Psi) dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Namun, dari sudut pandang penulis, secara personal tulisan ini merupakan sebuah langkah awal menuju tujuan yang lebih besar dan mulia.

Tulisan ini dapat terlaksana tentunya dengan adanya ilmu dan pengetahuan yang diterima selama tidak hanya proses perkuliahan baik itu dari dosen namun juga dari masyarakat luas sejak penulis membuka mata dan telinga di dunia ini. Maka dari itu, diharapkan tulisan ini dapat kembali memberi kontribusi berupa inspirasi, referensi atau apapun yang membantu pada khalayak luas. Semoga pengetahuan yang tertulis pada penelitian ini memberi sumbangsih kepada siapa saya yang membutuhkannya.

Dalam proses penyusunan, tulisan ini tidaklah lepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu terhadap mereka


(12)

x

yang berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap terselesaikannya tulisan ini, dalam kesempatan ini dengan senang hati penulis ucapkan terimakasih yang sebesarnya kepada :

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas dedikasinya dalam menjalankan roda fakultas. Tanpa disadari beliau telah memberikan motivasi sekaligus penyemangat selama penulis aktif dalam BEMF.

2. Bapak Carolus Wijoyo Adinugroho, M.Psi. selaku pembimbing skripsi. Terima kasih atas pengetahuan dan sudut pandang berbeda yang sangat penulis butuhkan ketika proses penulisan skripsi ini. Selamanya beliau akan menjadi salah satu panutan penulis dalam menghadapi dunia kerja terkhusus di bidang psikologi dan konseling nantinya.

3. Bapak Siswa Widyatmoko S.Psi. juga yang pernah menjadi dosen pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas perhatian dan pengetahuan secara meluas yang diberikan pada penulis ketika dalam proses pengerjaan skripsi. Tanpa disadari beliau telah membuka pikiran penulis untuk selalu mengejar kesempurnaan dan melawan batasan.

4. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, S.Psi., M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang kerap kali penulis panggil Mbak Etta. Terima kasih atas pendampingan yang diberikan sejak awal perkuliahan hingga akhir. Rasa kepedulian dan saran-saran dari beliau yang tidak dapat tergantikan telah membantu penulis melewati masa-masa sulit selama masa perkuliahan.


(13)

xi

5. Semua staf Fakultas Psikologi; Pak Gie, Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung dan Bu Nanik. Terimakasih atas dedikasi dan keramahan yang diberikan tanpa balasan dari penulis. Semuanya secara tidak langsung menginspirasi penulis untuk menjadi orang yang lebih baik.

6. Orang tua penulis, yang selalu memfasilitasi tidak hanya materi namun juga spiritual. Terimakasih karena tidak hentinya memberikan kepercayaan kepada penulis sejak awal hingga penulis dewasa saat ini. Bantuan dari Ayah dan Ibu, lebih besar dari segalanya yang pernah penulis terima selama hidup sehingga ucapan terimakasihpun tidak cukup untuk membayarnya. Semoga dengan terselesaikannya tugas akhir ini semakin mendewasakan penulis yang akhirnya dapat membanggakan kedua orangtua. Perjuangan penulis yang tiada akhir adalah bentuk rasa cintaku kepada kalian berdua.

7. Ketiga responden dalam penelitian ini, Y, S, dan B. Terima kasih atas kesediaan untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan kebijaksanaan yang merupakan hal terpenting dalam penelitian ini.

8. Para sahabat sejak lama, yang identitas grupnya membuat penulis enggan untuk menulisnya (Maya, Changcut, Reni, Enggar, Pras, Wisnu, Hendi). Terimakasih atas dukungan, hiburan serta semangatnya yang membuat penulis bahagia menjalani hidup. Setiap momen yang ada bersama kalian semakin membuat penulis menyadari pentingnya kebersamaan dan tidak ada yang lebih berharga dari companion for life. Karena ada saatnya kita


(14)

xii

kehilangan sesuatu namun kita juga menyadari kita tidak akan kehilangan sesuatu, dan itu adalah kalian.

9. Para sahabat di kampus, yang kerap kali memberikan pengalaman berharga dan selalu menjadikan hal tersebut semangat di hari baru ketika kuliah. Terima kasih tidak lupa kuucapkan kepada kalian sahabat tercinta Iwan, Erga, Dion, Gustav, Yus, Bayu, Brandan atas canda tawa, kebersamaan yang selalu ada ketika sulit maupun bahagia. Interaksi dengan kalian semua merupakan sebuah momen yang sangat mendewasakan dan penulis harap itu tidak akan berakhir. Selamanya pengalaman itu akan terjaga dalam ingatan penulis.

10.Teman-teman di kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Beberapa diantaranya memberikan pengalaman indah, namun terima kasih juga kuucapkan kepada mereka yang memberikan kesulitan. Pengalaman indah dan sulit, penulis percaya semakin mendewasakan penulis agar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, better person, better leader, and better lover.

11.Teman-teman relawan FSG TUNAS BANGSA yang selalu anti mati gaya ketika bertemu. Tidak memandang jarak dan usia, tidak lupa kuucapkan untuk kalian semua yang membantu penulis menjadi psikolog yang lebih baik. Bersama teman-teman pasien di RS. Sardjito, penulis mempelajari harta karun yang berharga yaitu rasa empati dan rasa ingin memberi. Tiap hari yang menjadi kebersamaan kita telah menjadikan penulis semaikin mencintai sesama tanpa melihat kekurangan diantara semua mahkluk


(15)

xiii

hidup. Semoga semuanya menjadi talenta yang berguna untuk tujuan penulis nantinya.

Demikian kata pengantar yang dapat disampaikan. Penulis selalu membuka mata, telinga dan pikiran terhadap segala kritik dan saran yang ada terkait dengan tulisan ini. Sekali lagi penulis ucapkan terimakasih.

Yogyakarta, ___________ 2015 Penulis


(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... .... 1

B. Rumusan Masalah ... .... 8

C. Tujuan Penelitian ... .... 9

D. Manfaat Penelitian ... ... 9

1. Manfaat teoritis ... 9


(17)

xiv

BAB II. LANDASAN TEORI ... 10

A. Definisi Perilaku Meminta Maaf ... 10

B. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Meminta Maaf ... 12

C. Fungsi dan Manfaat Perilaku Meminta Maaf ... 14

D. Orang Jawa ... 16

1. Pengertian Orang Jawa ... 16

2. Karakteristik Orang Jawa ... 17

E. Orang Jawa dalam Kehidupan Berkeluarga ... 21

1. Nilai nilai yang dianut keluarga Jawa ... 22

2. Peran tiap anggota keluarga Jawa ... 22

F. Hubungan Orang Tua Jawa dengan Anaknya ... 25

G. Perilaku Meminta Maaf pada Ayah bersuku Jawa Kepada anak ... 26

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Jenis Penelitian ... 29

B. Fokus Penelitian ... 30

C. Subyek Penelitian ... 30

D. Metode Penelitian ... 30

1. Metode ... ... 30

2. Alat Pengumpulan Data ... 31


(18)

xv

F. Analisis Data ... 36

G. Kredibilitas Penelitian ... 39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 38

A. Proses Penelitian ... 40

1. Pelaksanaan Wawancara ... 40

B. Profil Responden ... 42

1. Responden I ... 42

2. Responden II ... 44

3. Responden III ... 45

C. Analisis Data ... 46

1. Responden I (Y) ... 47

2. Responden II (S) ... 67

3. Responden III (B) ... 83

D. Kesimpulan Aspek Meminta Maaf ... 100

E. Kesimpulan Faktor Perilaku Meminta Maaf ... 106

F. Kesimpulan Fungsi dan Manfaat dari Perilaku Meminta Maaf kepada Anak ... 111

G. Kesimpulan Umum ... 113

H. Pembahasan ... 117

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 125


(19)

xvi

B. Keterbatasan Penelitian ... 126

C. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 129


(20)

xvi

TABEL 1 Alur Berfikir ... 28

TABEL 2 Daftar Pertanyaan Wawancara ... 34

TABEL 3 Tabel Coding ... 37

TABEL 4 Tabel Aspek Meminta Maaf ... 97

TABEL 5 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Meminta Maaf kepada Anak ... ... 103

TABEL 6 Tabel Fungsi atau Manfaat dari Perilaku Meminta Maaf kepada Anak ... ... 108


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap budaya yang ada pada muka bumi ini memiliki keunikan

tersendiri, salah satunya adalah budaya dari orang Jawa. Keunikan dari budaya tersebut dapat dilihat dari tradisi dan nilai-nilai yang dilestarikan secara turun temurun. Budaya Jawa terkenal dengan nilai tentang kerukunan dan rasa hormat oleh satu orang dengan yang lain (Bratawijaya, 1997).

Nilai dari budaya Jawa untuk saling menghormati adalah dasar dari

sikap kerukunan. Hal tersebut ditunjukkan oleh orang adat Jawa yang dalam kesehariannya selalu berbicara dan membawa dirinya selalu hormat terhadap orang lain sesuai dengan tingkat dan kedudukannya masing-masing (Bratawijaya, 1997). Orang Jawa memiliki suatu sistem bahasa

yang digunakan untuk menunjukan rasa hormat yang disebut tata krama

yang berarti “aturan dalam berbahasa” (Sukarno, 2010).

Bentuk dari tata krama sendiri ditunjukkan dengan penggunaan

bahasa yaitu bahasa ngoko dan bahasa krama dalam pola interaksinya

(Uhlenbeck, 1970). Sukarno (2010) menyebutkan bahwa penggunaan


(22)

rendah hati dan tampil hormat pada orang yang lebih tua atau orang yang memiliki jabatan lebih tinggi, contohnya seperti anak kepada orang tua.

Sebaliknya, bahasa ngoko digunakan oleh orang Jawa kepada orang yang

lebih muda atau memiliki jabatan yang lebih rendah, contohnya seperti ayah kepada anak.

Berdasarkan pola interaksinya, dapat terlihat adanya jarak antara

orang yang memiliki jabatan tinggi kepada yang rendah atau orang yang lebih tua kepada yang muda pada orang Jawa. Hal tersebut menurut Ki Ageng Soeryamentaram menuai dampak negatif bagi orang tersebut karena mereka secara tidak langsung dipaksa untuk mengakui kedudukan orang lain dan menunjukan sikap hormat. Paul Grice (1981) menggunakan istilah “implicature”, untuk sebuah kasus ketika seseorang mengatakan hal

yang tidak sesuai dengan maksud dan pemikiran oleh orang tersebut. Hal tersebut menurut Paul Grice (1981) dapat menuai perguncangan batin bagi orang yang berbicara. Di lain sisi, bagi orang Jawa, tidak menggunakan bahasa krama kepada orang yang lebih tua atau memiliki jabatan yang lebih tinggi bisa menyakiti hati mereka karena merasa tidak dihargai dan tidak dihormati. Menurut Suseno (1983), situasi yang menuntut untuk memberi rasa hormat terkadang memberikan tekanan emosional. Hal tersebut terwujud dalam kasus yang pernah terjadi di kabupaten Demak. Bermula dari dendam lama, seorang anak membunuh ayah kandungnya. Heri Widiyanto, 24 tahun tega membunuh ayah kandungnya, Tarmudi (44) karena sejak kelas 4 SD hingga dewasa sering dimarahi dan ditampar.


(23)

Pelaku mengaku bahwa dirinya membunuh ayahnya ketika beliau tidur, dengan alasan karena selalu kalah jika berkelahi. (Ari Widodo, Kompas; Jumat, 9 Januari 2015)

Geertz (1961) menjelaskan bahwa ternyata semua hubungan sosial

orang Jawa adalah bersifat hierarkis dan semakin orang Jawa menghormati seseorang semakin tinggi kedudukannya. Pada tahun 1994, Niels Mulder memunculkan faham tentang “Bapakisme” dimana faham tersebut berpendapat bahwa kedudukan atas seperti ayah memiliki fungsi sebagai pelimpah anugerah atau nafkah sedangkan kedudukan bawah seperti istri dan anak adalah pemohon. Hal tersebut bersifat satu arah atau tidak berlaku sebaliknya.

Dalam kesehariannya, orang Jawa tentu tidak luput dari kesalahan

dan membutuhkan pola interaksi untuk setidaknya memunculkan perilaku meminta maaf pada orang yang disakiti. Seperti yang kita ketahui bahwa kesalahan dapat datang dari mana saja bahkan seperti orang tua yang berbuat salah kepada anaknya. Hal yang menarik disini adalah bagaimana orang tua khususnya ayah yang bersuku Jawa dalam memahami manfaat dari perilaku meminta maaf kepada anaknya dengan adanya jarak di antara keduanya (ayah dengan anak) dan nilai hormat-menghormati yang sangat kuat ditekankan pada Budaya Jawa sendiri.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa ayah yang


(24)

anak karena bentuk kehormatan yang tinggi diajarkan oleh budaya Jawa sendiri. Oleh sebab itu, karena hormat hanya bersifat satu arah pada budaya Jawa, maka jarang sekali orang tua yang bersuku Jawa meminta maaf kepada anaknya. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada budaya Jawa orang tua adalah figur yang harus selalu dihormati oleh anaknya karena dianggap selalu benar dan tidak pernah salah dalam mendidik.

Terkait dengan perilaku meminta maaf, orang Jawa dalam

budayanya memiliki sebuah tradisi yang juga menanamkan nilai tersebut.

Pada setiap tahunnya, orang Jawa memiliki tradisi ‘lebaran’ yang

dimeriahkan dengan acara kumpul bersama trah (keluarga besar). Dalam

acara tersebut, umumnya dikalangan keluarga orang Jawa sering sekali

mengadakan sungkeman, yakni tradisi ketika orang Jawa menyampaikan

bentuk permintaan maaf dan memohon doa restu dengan cara menyembah orang yang lebih tua. Pada umumnya, orang yang lebih muda akan mengatakan “ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sadaya kalepatan kula, nyuwun pangestunipun” (saya mengucapkan selamat hari

raya, mohon maaf atas segala kesalahan saya, dan minta doa restunya)

sembari bersimpuh lutut pada orang yang lebih tua. Tradisi sungkeman ini

pada orang Jawa semakin menguatkan bahwa perilaku meminta maaf pada umumnya selalu dilakukan terlebih dahulu oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua seperti anak kepada orangtua.

Pada dasarnya, perilaku meminta maaf merupakan sebuah bentuk


(25)

menunjukan perasaan bersalah, kesedihan, kenestapaan dan rasa penyesalan terhadap perbuatan sebelumnya yang sifatnya menghina, menyakiti, atau menganiyaya (Marc Coicaud, 2009). Menurut Jean-Marc Couicaud (2009), perilaku meminta maaf dimulai dengan kemauan dari orang tersebut (pelaku) untuk mengakui kesalahan atau tanggung jawabnya dan meminta pengampunan.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perilaku meminta maaf

dapat memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak (pelaku-korban). Berdasarkan penelitian Jean-Marc Couicaud (2009), perilaku meminta maaf memberikan dampak positif dalam dua aspek yaitu interpersonal dan intrapersonal pada orang yang melakukannya. Pada aspek interpersonal, perilaku meminta maaf memungkinkan seseorang untuk mendapatkan komunikasi terbuka dengan orang lain, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan memunculkan perasaan saling mengerti seperti dalam keluarga. Kemudian dalam aspek intrapersonal, hal ini berkaitan dengan penerimaan diri yang lebih baik pada orang tersebut karena pada umumnya setelah melakukan perilaku meminta maaf orang akan merasakan adanya kelegaan.

Penelitian lain juga menyebutkan adanya dampak positif yang

dialami oleh pihak orang yang disakiti (korban). Hoffman (1975) menemukan bahwa dalam lingkup keluarga, orang tua yang menerapkan

teknik VCT (Victim-Centered Therapy) yakni dengan sering memunculkan


(26)

membentuk kepribadian anak yang altruis. Selain itu, Fitzgerald (et al,

2003) juga melakukan penelitian yang sama tentang orang tua yang

menerapkan teknik VCT. Fitzgerald dkk menemukan bahwa orang tua yang sering meminta maaf dan mengekspresikan afeksi kepada anaknya menimbulkan penurunan terhadap perspektif negatif seperti agresi serta menimbulkan peningkatan terhadap perspektif positif seperti perilaku prososial pada anak.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku

meminta maaf memberikan dampak positif pada kedua belah pihak baik kepada orang tua dan pada anak. Jika berdasarkan penelitian menunjukan berbagai manfaat dari perilaku meminta maaf, mengapa orang tua Jawa dapat dikatakan jarang untuk memunculkan perilaku meminta maaf kepada anaknya. Berdasarkan argumen diatas, peneliti merasa penting untuk menggali lebih dalam mengenai manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.

Banyaknya studi yang dilakukan dari budaya lain seperti

Jepang-Amerika menambah daftar yang panjang akan pentingnya untuk meneliti manfaat dari perilaku meminta maaf yang dimiliki oleh budaya yang berbeda. Perbandingan dilakukan antara Jepang dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sosial harmoni, dan Amerika dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai penghargaan diri (Barnlund dan Yoshioka, 1990). Barnlund dan Yoshioka (1990) menemukan adanya perbedaan dalam bentuk perilaku meminta maaf di antara negara Jepang dan Amerika


(27)

yang dipengaruhi dari perilaku komunikasi dari dua nilai sosial yang berbeda. Hasil yang ditemukan dari studi ini adalah bahwa orang Jepang kebanyakan akan memunculkan perilaku meminta maaf secara langsung (dengan kata-kata) dibandingkan orang Amerika. Orang di negara Amerika cenderung menggunakan sebuah penjelasan di dalam situasi yang menuntut perilaku meminta maaf muncul.

Pendekatan secara sosiologis terhadap perilaku meminta maaf juga

dapat mempengaruhi perbedaan terkait manfaat dari perilaku meminta maaf. Wagatsuma dan Rosett (1986) menemukan bahwa perilaku meminta maaf yang tulus memiliki perbedaan makna yang dianut bagi orang Jepang dan Amerika dilihat dari manfaat perilaku meminta maaf itu sendiri. Dalam konteks Jepang, perilaku meminta maaf dapat dilakukan tanpa adanya sebuah pengakuan atas kesalahannya karena perilaku meminta maaf dibutuhkan oleh pembicara sebagai bentuk tunduk terhadap otoritas dan tatanan sosial dalam kaitannya dengan keharmonisan kelompok. Di sisi lain, orang Amerika melakukan perilaku meminta maaf sebagai bentuk pengakuan atas tindakan dan ditafsirkan sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan.

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan

perspektif yang lebih luas termasuk didalamnya nilai dan norma sosial dari budaya Jawa untuk memahami manfaat dan tujuan dari perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.


(28)

Dari berbagai penjelasan diatas, peneliti bermaksud ingin menggali informasi lebih dalam mengenai perilaku meminta maaf bagi orang tua yang bersuku Jawa. Berdasarkan penjelasan diatas didapatkan bahwa dampak dari perilaku meminta maaf dapat berupa hal yang positif baik dalam aspek interpersonal dan intrapersonal. Walaupun berdasarkan penelitian sebelumnya juga mengatakan bahwa perilaku meminta maaf dari orang tua berpengaruh secara positif dalam pertumbuhan karakter pada anak, orang tua yangbersuku Jawa cenderung tidak begitu memperhatikan hal ini. Dari argumen tersebut, timbul beberapa pertanyaan yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena diatas yakni “mengapa perilaku meminta maaf kepada anak jarang atau sulit dilakukan oleh ayah

yang bersuku Jawa?” dan “apakah yang mendasari ayah yang bersuku

Jawa untuk tidak melakukan perilaku meminta maaf kepada anak dengan mudahnya?”. Maka berangkat dari fenomena tersebut, pertanyaan yang difokuskan pada penelitian ini adalah, “Bagaimana manfaat dibalik perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa apabila

telah melakukan kesalahan?”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka dirumuskan

pertanyaan yang menjadi permasalahan penelitian yaitu : “Bagaimana manfaat dibalik perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang


(29)

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan

menjelaskan manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

informasi bagi lingkup psikologi, terutama berupa pemahaman konsep dalam konteks psikologi budaya dan psikologi sosial mengenai manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran mengenai manfaat dibalik ayah yang bersuku Jawa melakukan perilaku meminta maaf kepada anak. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kedua pihak baik ayah dan anak, berupa :

a. Bagi Ayah

Ayah yang bersuku Jawa dapat lebih memahami


(30)

pentingnya melakukan atau tidak melakukan perilaku meminta maaf setelah melakukan kesalahan kepada anak didasarkan konteks budaya Jawa.

b. Bagi Anak

Anak yang bersuku Jawa dapat lebih memahami dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai alasan dibalik mengapa orang tua melakukan atau tidak melakukan perilaku meminta maaf apabila telah melakukan kesalahan.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Perilaku Meminta Maaf

Perilaku meminta maaf dapat didefinisikan menurut teori dari Fraser (1981) yang mengatakan bahwa perilaku meminta maaf dapat dilakukan apabila memenuhi dua kondisi. Kondisi tersebut adalah yang pertama pelaku menyadari perasaan tanggung jawab akan kesalahannya dan kedua, pelaku mengaku atas penyesalannya akan kesalahannya kepada korban. Apabila dijabarkan lebih detail, maka menurut Fraser didapatkan bahwa individu yang melakukan perilaku meminta maaf, harus memiliki :

1. Tindakan yang telah dilakukan sebelum melakukan perilaku

meminta maaf

2. Telah menyerang atau menyakiti pendengar

3. Pembicara sedikitnya menanggung rasa tanggung jawab

terhadap tindakan yang bersifat menyerang

4. Pembicara memiliki rasa menyesal atas tindakan

sebelumnya.

Menurut Searle (1969), perilaku meminta maaf merupakan bagian dari bentuk “ungkapan” dalam teori speech act. Teori tersebut mengatakan bahwa dalam perilaku meminta maaf terdapat keadaan psikologis dan


(32)

perasaan yang turut serta terlibat oleh diri seseorang yang mengatakannya. Bach dan Harnish (1979) mengklasifikasikan perilaku meminta maaf sebagai bentuk “pengakuan” atau acknowledgements. Kategori ini didefinisikan sebagai ungkapan tentang “perasaan tertentu” kepada pendengarnya. Hickson (1979) mendefinisikan perilaku meminta maaf sebagai sebuah ekspresi yang menunjukkan perasaan penyesalan pelaku atas kesalahannya kepada orang lain yang dilakukan dalam bentuk ucapan atau tulisan. Pada studi perbandingannya antara Jepang-Amerika, Barnlund dan Yoshioka (1990) mengkarakteristikan perilaku meminta maaf sebagai bentuk pengakuan atas pertanggung jawaban akan perilaku yang telah menyakiti orang lain secara fisik, sosial dan psikologis.

Menurut Searle (1976), ketika orang memunculkan perilaku meminta maaf terdapat keadaan dan perasaan psikologis yang turut terlibat didalam diri orang tersebut. Fraser (1981) menyebutkan salah satu keadaan psikologis berupa kesadaran dan perasaan bertanggung jawab atas perilaku sebelumnya yang turut terlibat ketika orang memunculkan perilaku meminta maaf. Dalam kasus seperti di Negara non-western yakni Jepang, orang

membutuhkan rasa self-humiliation atau rasa malu untuk mengakui

kesalahan dan memunculkan perilaku meminta maaf (Nishiyama, 1973).

Pada beberapa kasus seperti dalam penelitian oleh Jaworski (1994) di Negara Polandia, perilaku meminta maaf terkadang muncul dengan tidak melibatkan kata kata yang merupakan strategi kesopanan seperti


(33)

menyinggung, atau menggunakan sumpah serapah. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Fraser (1981) yang mengatakan bahwa perilaku meminta maaf dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata.

Berdasarkan banyak penjelasan diatas, peneliti dapat menarik benang merah mengenai definisi dari perilaku meminta maaf. Dapat disimpulkan bahwa perilaku meminta maaf merupakan sebuah ungkapan yang dilakukan dengan bentuk tulisan atau diucapkan dengan ekspresi yang turut serta melibatkan keadaan psikologis dan perasaan oleh individu yang sadar dan merasa bertanggung jawab atas perbuatan sebelumnya yang telah melukai orang lain secara fisik, sosial atau psikologis.

B. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Meminta Maaf

Pada tahun 1987, Brown dan Levinson menyebutkan ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi orang dalam memunculkan perilaku meminta maaf. Ketiga faktor tersebut adalah :

1. Jarak sosial. Holmes (1990) dalam hasil dari penelitiannya menyebutkan bahwa perilaku meminta maaf yang memakan waktu paling lama dan paling rumit adalah hubungan sosial dalam pertemanan. Sedangkan perilaku meminta maaf yang lebih membutuhkan waktu singkat adalah jarak sosial yang diwujudkan dalam hubungan intim seperti pasangan (Fraser, 1981).


(34)

2. Kekuatan sosial. Hal ini terwujud dalam keseharian terdapat hierarki sosial seperti patrineal. Tannen (2001) dan Fraser (1981) menemukan hasil bahwa dalam kehidupan berkeluarga, suami atau kepala rumah tangga dalam budaya patrineal cenderung menghindari perilaku meminta maaf pada lingkup pembicaraan sehari-hari.

3. Faktor jenis kelamin. Berangkat dari data etnografi, Holmes (1989) menemukan bahwa perempuan memunculkan perilaku meminta maaf lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal yang sama juga ditemukan oleh peneliti bernama Marquez Reiter (2000) yang meneliti di Negara Inggris dan Uruguay.

Terkait dengan cara atau bentuk perilaku meminta maaf, penelitian dari Barlund dan Yoshioka (1990) menyebutkan bahwa hal tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai sosial dari budaya negara tersebut. Barlund dan Yoshioka dalam studinya menemukan bahwa kebanyakan pada orang Jepang akan memunculkan perilaku meminta maaf secara langsung (dengan kata-kata) dibandingkan orang Amerika. Sedangkan orang di negara Amerika cenderung menggunakan sebuah penjelasan di dalam situasi yang menuntut perilaku meminta maaf muncul. Hasil dari penelitian ini juga turut serta didukung oleh Marquez Reiter (2000) yang menyebutkan bahwa sulit-mudahnya orang memunculkan perilaku meminta maaf itu berbeda di tiap negara.


(35)

Berangkat dari berbagai penjelasan diatas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada 3 faktor utama yang dapat mempengaruhi orang dalam memunculkan perilaku meminta maaf yakni; (1) jarak sosial, (2) kekuatan sosial, dan (3) faktor jenis kelamin (Brown & Levinson, 1987). Disamping itu pendapat dari Barlund dan Yoshioka (1990), serta Marquez Reiter (2000) semakin menegaskan bahwa bentuk dan sulit mudahnya meminta maaf pada diri seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya yang berbeda di tiap negara.

C. Fungsi dan Manfaat Perilaku Meminta Maaf

Berangkat dari banyak penelitian yang ada, dikumpulkan beberapa fungsi dan manfaat dari perilaku meminta maaf itu sendiri. Salah satu fungsi yang disebutkan oleh Leech (1983) adalah perilaku meminta maaf merupakan sebuah upaya yang dapat digunakan untuk memperbaiki relasi yang dirusak akibat perbuatan sebelumnya. Menurut Brown dan Levinson (1987), perilaku meminta maaf juga dapat digunakan sebagai bentuk dari kesopanan negatif. Dalam teori FTA (Face-Threatening Act) dan Speech

act-nya, Brown dan Levinson menyebutkan bahwa kesopanan negatif

adalah suatu ujaran untuk menghargai keinginan seseorang untuk bebas melakukan atau tidak melakukan sesuatu dari lawan bicara. Brown dan Levinson (1987) juga berpendapat bahwa perilaku meminta maaf juga dapat


(36)

digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dan menunjukkan rasa kesetia-kawanan.

Penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Tannen (2001) juga menambah pentingnya sebuah perilaku meminta maaf itu sendiri. Menurut Tannen (2001), pasangan suami istri yang jarang memunculkan perilaku meminta maaf berkorelasi dengan seringnya konflik percakapan diantara pasangan tersebut. Penelitian dari Tannen tersebut menyebutkan bahwa kurangnya perilaku meminta maaf dapat menjadi sumber konflik percakapan diantara suami dan istri.

Terkait fungsi dari perilaku meminta maaf sendiri, Aijmer (1996) menemukan adanya 2 fungsi yaitu sebagai bentuk ‘remedial’ dan

disarming’. Fungsi yang pertama yaitu ‘remedial’ disebutkan oleh

Goffman (1971) muncul atau terjadi setelah bentuk penyerangan. Sedangkan fungsi satunya yaitu disarming’ (Edmondson, 1981) yang terjadi sebelum menghadapi ancaman. Istilah dari ‘disarming’ memiliki arti

sebagai bentuk perilaku meminta maaf yang digunakan untuk sebuah antisipasi terhadap tindakan menghadapi masalah (“Saya meminta maaf tetapi saya sedang terburu-buru”).

Berdasarkan banyaknya penjelasan dari berbagai pendapat dari ahli diatas, didapatkan bahwa fungsi dan manfaat dari perilaku meminta maaf ada bermacam-macam. Fungsi yang disebutkan oleh Brown dan Levinson (1987) adalah bahwa perilaku meminta maaf dapat digunakan untuk


(37)

memperbaiki relasi. Menurut Tannen (2001), perilaku meminta maaf juga dapat digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain. Disamping itu terdapat 2 fungsi khusus dari perilaku meminta maaf seperti yang telah disampaikan oleh Aijmer (1996) yaitu sebagai bentuk ‘remedial

atau sebuah perbaikan dari suatu masalah dan ‘disarming’ atau sebuah

antisipasi terhadap tindakan menghadapi masalah.

D. Orang Jawa

1. Pengertian Orang Jawa

Menurut Suseno (1996) yang disebut orang Jawa adalah orang yang mendiami atau merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa. Sedangkan Koentjaraningrat (1984) menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh pulau Jawa. Daerah asal orang Jawa merupakan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari kedua pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan bahwa pengertian orang Jawa merupakan penduduk asli dari pulau Jawa khususnya provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta.


(38)

2. Karakteristik Orang Jawa

Menurut Handayani (2004) orang Jawa memiliki dua buah prinsip dalam interaksi sosialnya dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Prinsip pertama yakni adalah prinsip kerukunan menyebutkan bahwa dalam setiap situasi manusia bersikap sedemikian rupa agar tidak memunculkan sebuah konflik dalam berinteraksi. Prinsip kedua yakni adalah prinsip hormat yang menuntut agar masyarakat Jawa menunjukkan sikap hormat kepada orang lain dalam berbicara dan membawa diri. Suseno (1996) mengatakan bahwa kedua prinsip tersebut merupakan kerangka normatif yang menentukan segala bentuk konkret dari interaksi sosial yang juga disadari oleh masyarakat Jawa itu sendiri.

a. Prinsip Kerukunan

Menurut Suseno (1996) prinsip kerukunan pada

masyarakat Jawa bertujuan untuk membangun dan

mempertahankan hubungan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan rukun adalah dimana ketika semua pihak berada dalam keadaan damai antara satu dengan yang lain, saling bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.

Selain itu Suseno (1996) juga menyebutkan bahwa prinsip kerukunan memungkinkan masyarakat jawa memiliki


(39)

kerelaan-kerelaan tertentu dari bentuk menerima kompromi akibat dalam mencegah konflik. Hal ini juga terkadang mengakibatkan orang Jawa tidak mendapatkan haknya dengan sepenuhnya. Bagi

orang Jawa mengusahakan keuntungan pribadi tanpa

memperhatikan persetujuan masyarakat atau berusaha sendiri tanpa melibatkan kelompok dianggap kurang baik. Disamping itu, membuka perasaan suasana hati atau menampilkan ekspresi-ekspresi yang menunjukkan kekacauan batin juga dinilai negatif bagi orang Jawa. Selain itu, suatu permintaan atau tawaran bagi orang Jawa tidak boleh langsung ditolak (Magnis-Suseno, 1985)

Sedangkan menurut Bratawijaya (1997) rukun dapat berarti sebagai kondisi ketika merasa dalam keadaan selaras, penuh kedamaian, tanpa adanya pertentangan dan perselisihan. Aktivitas masyarakat Jawa seperti gotong royong merupakan bentuk konkret interaksi sosial yang dilandasi dari adanya kerukunan hidup

Kerukunan menurut Endraswara (2003) adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Hal ini terwujud karena terjalin saling menghormati, sopan santun yang dapat dipertahankan, dan saling menghargai satu dengan yang lain.

Suseno (1996) juga menyatakan bahwa orang Jawa sangat menghargai kemampuan untuk memperkatakan hal yang tidak


(40)

enak secara langsung. Seperti kemampuan untuk ethok-ethok

atau dalam bahasa Indonesianya berarti berpura-pura adalah suatu seni yang dianggap memiliki nilai positif bagi masyarakat Jawa. Contoh dari hal ini adalah ketika seseorang diliput kesedihan, dia diharapkan tersenyum. Selain itu juga ketika seseorang kunjungan dari orang yang dia benci, seseorang tersebut diharapkan tetap tersenyum. Disamping itu bagi orang Jawa, menentang kehendak orang lain secara langsung dan menunjukkan permusuhan sangatlah bertentangan dengan

perasaannya. Sehingga setiap terdapat perilaku yang

menyimpang dari norma masyarakat Jawa terkait prinsip kerukunan, orang Jawa akan mengalami tekanan psikis yang kuat.

b. Prinsip Hormat

Saling hormat adalah dasar dari sikap kerukunan. Hal ini ditunjukan oleh masyarakat Jawa dalam berbicara dan membawa dirinya selalu hormat terhadap orang lain sesuai dengan tingkat dan kedudukannya masing-masing (Bratawijaya, 1997).

Menurut Suseno (1996) prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam berbicara dan membawa dirinya harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai derajat dan


(41)

kedudukannya. Prinsip ini juga berpendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat diatur secara hierarkis, sehingga setiap orang haruslah mengenal tempat dan tugasnya dan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat tetap menjadi satu kesatuan yang selaras.

Geertz (dalam Suseno 1996) mengatakan bahwa semasa anak, orang Jawa diajarkan tiga perasaan dalam situasi tertentu yang menuntut anak Jawa untuk menunjukkan sikap hormatnya, yaitu :

1) Wedi

Wedi atau dalam bahasa Indonesianya berarti takut, sebagai reaksi terhadap suatu ancaman fisik maupun rasa takut akibat tidakan yang tidak membuat nyaman.

2) Isin

Isin atau berarti malu, juga dapat berarti malu-malu, merasa bersalah dan sebagainya. Perasaan ini dapat muncul dalam segala situasi sosial kecuali di dalam lingkaran keluarga inti. Namun sebaliknya, segala hubungan keluar memiliki ancaman akan perasaan malu.


(42)

3) Sungkan

Sungkan merupakan malu dalam artian yang positif.

Sungkan digambarkan sebagai rasa hormat yang sopan kepada seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi atau sesama yang belum dikenal. Disamping itu rasa sungkan

dapat digambarkan sebagai bentuk pengendalian diri terhadap kepribadian untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain.

Dari kedua prinsip tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam interaksi sosialnya orang Jawa menjunjung tinggi prinsip kerukunan dan hormat. Kedua prinsip tersebut bagi orang Jawa merupakan sebuah landasan dalam bentuk konkret berinteraksi seperti berbicara dan membawa diri agar tidak sampai menimbulkan sebuah konflik.

E. Orang Jawa dalam Kehidupan Berkeluarga

Dalam bukunya, Taryati dkk (1995) menyebutkan bahwa keluarga yang ideal menurut masyarakat dekat kraton adalah keluarga yang mampu menyelesaikan segala persoalan, hidup tenteram, dan menjalankan ibadat agama dengan baik serta menjauhi sikap yang materialistis. Selanjutnya, masyarakat yang jauh dari kraton seperti kalangan keluarga guru, pegawai negri, dan pedagang mempunyai persepsi bahwa keluarga yang ideal adalah


(43)

keluarga yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan dapat mendidik anaknya dengan baik. Sedangkan keluarga buruh mengatakan bahwa keluarga yang ideal adalah keluarga yang tidak pernah bertengkar dan selalu bermusyawarah.

1. Nilai nilai yang dianut keluarga Jawa

Nilai tentang kerukunan, rasa hormat dan ketaatan merupakan 3 nilai utama yang di ajarkan dalam kehidupan keluarga di lingkungan kraton. Gambaran kerukunan di wujudkan dalam keluarga ketika anak di didik untuk rukun dengan sesamanya. Begitu pula rasa hormat yang diajarkan melalui pembinaan pada anak. Nilai kehormatan menurut Taryati dkk (1995) pada keluarga kraton adalah hormat yang berdasar pada tempat yang jelas dan di prioritaskan dalam hierarki keluarga. Ketaatan anak pada norma keluarga, merupakan bentuk manifestasi dari rasa hormat dan ketakutan tehadap figur otoritas atau orang tua.

2. Peran tiap anggota keluarga Jawa

Terkait peran pada tiap anggota, orang tua pada keluarga Jawa sendiri secara garis besar bertugas memberikan nasehat-nasehat kepada anaknya (Taryati dkk, 1995). Disisi lain orang tua juga memiliki tugas untuk mencontohkan tingkah laku dan tata krama kepada anaknya didalam pergaulan, hormat pada orang yang lebih tua dalam hal bertutur kata dan lainnya.


(44)

a. Peran suami atau ayah pada keluarga Jawa secara garis besar dituliskan didalam buku Taryati dkk (1995) adalah sebagai pelindung bagi istri dan anak yang diwujudkan seperti dalam hal mencari nafkah demi kehidupan sehari-hari. Disamping itu, suami juga memiliki peran sebagai figur yang bertugas membimbing seluruh anggota keluarga agar berkembang sesuai dengan keinginannya, sehingga terkadang dalam keluarga Jawa mengenal suami dengan sebutan kepala rumah tangga.

b. Peran seorang istri atau ibu menurut Taryati dkk (1995) ada beberapa hal. Salah satu peran istri didalam keluarga adalah menjadi pusat kedamaian bagi keluarga dan menjadi teman berbincang untuk suaminya. Pusat kedamaian disini diwujudkan dalam tugas kesehariannya yang berupa menjaga kerukunan rumah tangga dan kesehatan di tiap anggotanya.

c. Peran anak dalam keluarga Jawa diharuskan untuk mengutamakan pendidikan atau belajar pada kesehariannya. Selain itu menurut Taryati dkk (1995), anak juga harus hormat dan patuh pada orang tua serta mendengar segala nasehat yang ada. Dalam kehidupan keseharian, anak dalam keluarga Jawa juga di didik untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Pada konsep “serat wulangreh” anak


(45)

dalam budaya Jawa diharuskan taat dan patuh tanpa syarat kepada orang tuanya. Konsep ini mengibaratkan bahwa orang tua adalah wakil Tuhan, sehingga anak harus takut pada larangan dan tunduk pada nasehat orang tua.

Disamping itu semua, Taryati dkk (1995) juga menyebutkan bahwa keluarga Jawa memiliki dinamika yang khas terkait hubungan antar anggota keluarga dan cara pandang pada tiap anggota. Didalam keluarga Jawa, anak atau anggota keluarga dapat saling memberi dan menerima berbagai pengetahuan dan saling mengingatkan untuk menghindari perbuatan yang tidak diharapkan. Akan tetapi, dalam budaya Jawa anak seringkali dianggap masih kecil dan hanya dapat memperoleh bimbingan dan petunjuk dari orang yang lebih tua atau dewasa (Taryati dkk, 1995).

F. Hubungan Orang Tua Jawa dengan Anaknya

Dalam budaya Jawa, seperti yang dikatakan oleh Taryati dkk (1995) proses membina anak yang ideal adalah orang tua harus mempunyai pengaruh dan harus sayang kepada anaknya. Disamping itu orang tua juga harus mengetahui bakat anak dalam pendidikan formalnya. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Taryati dkk, komunikasi timbal balik antara orang tua dengan anak sangat diperlukan dalam keluarga pegawai negeri dan guru, sedangkan pada keluarga buruh lebih mengutamakan ajaran kerohanian dan


(46)

keagamaan sejak anak berusia dini. Menurut keluarga buruh dari situlah anak dapat belajar mengenai sikap hormat, kasih sayang dan mampu menerima nasehat dari orang tua.

Hubungan antara orang tua dengan anak pria atau anak wanita berbeda dalam budaya Jawa (Taryati dkk, 1995). Pada budaya Jawa, orang tua memanggil anak pria dengan sebutan le (dari kata tole), sedangkan anak wanita dipanggil dengan sebutan nok (dari kata denok). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Taryati (1995), perlakuan ke anak pria dari orang tua Jawa bervariasi antara lain bersikap keras, ngemong, dan melindungi. Dalam pola interaksinya, ayah dalam budaya Jawa cenderung memandang permasalahan sebagai hal yang harus dibicarakan secara terbuka antara ayah dan anak pria. Disisi lain, interaksi antara ibu kepada anak prianya cukup terbatas karena pada umumnya pada budaya Jawa ibu merupakan perpanjangan lengan dari ayah sehingga jika ada permasalahan ibu akan cenderung meminta pertimbangan suami terlebih dahulu. Taryati dkk (1995) juga berpendapat bahwa orang tua yang tidak jujur atau tidak dapat membina anak dalam menepati janjinya dianggap sebagai orang tua yang tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau menanggung resiko karena orang tua tersebut tidak mau mengakuinya.

Budaya Jawa memandang bahwa baik atau buruknya tingkah laku anak merupakan cermin tingkah laku dari orang tuanya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, orang tua Jawa pada umumnya merasa malu jika anaknya bersikap kasar dan berani pada orang yang lebih tua atau dewasa.


(47)

Tumbuhnya rasa malu yang dialami oleh orang tua tersebut menimbulkan tugas yang secara instingtif dilakukan oleh para orang tua untuk memberikan contoh baik kepada anaknya. Hal tersebut disebabkan karena orang tua Jawa sangat memperdulikan pandangan masyarakat luar kepada keluarganya termasuk anaknya.Jika anak berani, maka masyarakat Jawa memandang hal tersebut sebagai ketidak tahuan terhadap adat istiadat dan tidak sopan apabila membangkang orang tua.

Sartono (1998) menyebutkan bahwa sikap orang tua dalam mendidik anak bergantung pada tingkatan umur dari sang anak. Menurut Sartono, terdapat 4 tingkatan, yaitu (1) ketika anak berusia 5 tahun, anak di ibaratkan sebagai pengabdi raja dan ayah atau ibu adalah rajanya, (2) ketika anak berusia 10 tahun, anak harus di didik keras seperti prajurit, (3) ketika anak berusia 16 tahun, anak di ibaratkan sebagai seorang sahabat bagi kedua orang tuanya, dan (4) ketika anak sudah berkeluarga dan memiliki anak sendiri, orang tua Jawa hanya sebatas mendidik dengan perumpamaan.

G. Perilaku Meminta Maaf pada Ayah Jawa kepada Anak

Terkait dengan karakteristik orang Jawa, Handayani (2004)

menyebutkan adanya dua prinsip dasar yang ditekankan dalam budaya Jawa yaitu prinsip kerukunan dan prinsip kehormatan. Bagi orang Jawa, prinsip kerukunan dipahami dengan tujuan agar orang Jawa tidak memunculkan sebuah konflik, bahkan dalam hal berinteraksi dengan sesamanya. Atas


(48)

dasar prinsip kerukunan tersebut, orang Jawa secara sengaja menjauhkan diri dari konflik dengan menjaga diri dalam hal berbicara. Maka seringkali orang jawa menggunakan perilaku meminta maaf dengan tujuan dalam bentuk antisipasi atau ‘disarming’. Disamping itu bagi orang Jawa,

membuka perasaan suasana hati atau menampilkan ekspresi-ekspresi yang menunjukkan kekacauan batin juga dinilai negatif. Maka dari itu karena sebuah alasan perilaku meminta maaf merupakan suatu tindakan yang membutuhkan ekspresi dan juga melibatkan perasaan bersalah, malu serta bertanggung jawab, perilaku meminta maaf dapat dianggap hal yang negatif bagi orang Jawa.

Suseno (1985) juga menyebutkan bahwa berpura-pura adalah suatu

seni yang dianggap memiliki nilai positif bagi masyarakat Jawa. Atas sebab orang Jawa meyakini bahwa perilaku berpura-pura dalam budaya Jawa dinilai positif, maka jarang sekali perilaku meminta maaf dinilai tulus karena perilaku meminta maaf yang dimunculkan hanyalah sebatas kata-kata namun tidak melibatkan perasaan seperti rasa bersalah, rasa malu dan rasa akan bertanggung jawab.

Terkait dengan prinsip kedua yang disebutkan oleh Handayani

(2004) diatas, prinsip yang diluhurkan bagi orang Jawa yang kedua adalah prinsip kehormatan. Hal ini diwujudkan oleh orang Jawa dalam berbicara dan membawa dirinya harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip ini juga berpendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat diatur secara hierarkis. Oleh karena prinsip


(49)

hormat yang ditekankan pada budaya Jawa, maka sering kali orang Jawa memunculkan perilaku meminta maaf untuk menunjukkan dirinya hormat dan tunduk kepada orang diatasnya, namun sebaliknya karena prinsip hormat ini juga hanya bersifat hierarkis maka jarang sekali ditemukan orang tua Jawa memunculkan perilaku meminta maaf kepada orang yang lebih muda.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dibuat alur berpikir sebagai berikut,

Tabel 1

Alur Berpikir

Ayah yang Bersuku Jawa

Perilaku meminta maaf kepada anak

Fungsi atau Manfaat:

1. Memperbaiki relasi

2. Menunjukan rasa

hormat

3. Memperbaiki

masalah

4. antisipasi masalah Aspek Meminta maaf :

1. Perkataan minta maaf

2. Kesadaran akan

perasaan bersalah

3. Perasaan malu atas

perasaan bersalah

Faktor yang mempengaruhi :

1. Kekuatan

Sosial 2. Jarak Sosial 3. Jenis Kelamin


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dilihat dari tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratori. Penelitian eksploratori adalah penelitian yang bertujuan untuk menggali dan lebih mengeksplorasi lagi mengenai topik atau masalah yang diteliti karena topik tersebut merupakan topik yang belum banyak diteliti atau masih baru (Neuman, 2003). Penelitian eksploratori ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan serta mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara.

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara merupakan teknik yang sering kali digunakan untuk menggali persepsi, pendapat atau opini, keyakinan dan sikap para partisipan terkait topik yang diteliti (Poerwandari, 1998), dalam hal ini manfaat dari perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa. Secara umum metode wawancara memungkinkan responden yang dimana adalah ayah suku Jawa untuk dapat mengemukakan segala pendapatnya tentang perilaku meminta maaf kepada anak.


(51)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi tentang manfaat dari perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah orang-orang yang menjadi sumber utama

penelitian, mereka akan memiliki data penelitian dan dikenai kesimpulan penelitian (Azwar, 1997). Subyek yang diambil dari penelitian ini adalah para ayah yang bersuku Jawa yang memiliki darah asli suku Jawa dan tinggal menetap di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan ciri – ciri tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut erat dengan sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Oleh karena itu, subyek yang dipilih memiliki karakteristik seperti yang ditetapkan peneliti.

D. Metode Pengambilan Data

1. Metode

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode Wawancara. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara


(52)

dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2011).

Menurut Kerlinger (dalam Hassan, 2000), pemilihan metode penelitian kualitatif dengan metode wawancara memiliki 3 kelebihan. Kelebihan yang pertama, metode ini mampu mendeteksi kadar pengertian responden terhadap pertanyaan yang diajukan. Sehingga jika responden kurang bisa memahami pertanyaan yang diajukan, hal tersebut dapat diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan beberapa penjelasan. Kelebihan yang kedua Kerlinger menyebutkan bahwa metode wawancara cenderung fleksibel dalam hal waktu pelaksanaan yang dapat disesuaikan dengan masing-masing responden. Kelebihan yang terakhir adalah bahwa metode wawancara merupakan metode yang umum dan menjadi satu-satunya metode yang dapat dilakukan disaat metode lain tidak bisa dilakukan.

Dalam mempersiapkan pengambilan data yaitu wawancara, peneliti melakukan beberapa langkah terlebih dahulu. Pertama-tama, peneliti mencari berbagai referensi dari skripsi dan jurnal terdahulu yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan gambaran umum. Dari gambaran umum yang telah diperoleh, peneliti langsung mencoba langsung terjun ke salah satu responden yang sejak awal sudah bersedia untuk terlibat dalam penelitian.


(53)

Wawancara percobaan akhirnya dilakukan pada tanggal 13 Juni 2014 dengan responden pertama. Sesudah wawancara, peneliti langsung membuat verbatim dan menganalisis data untuk segera didiskusikan. Sesudah mendiskusikan hasil wawancara percobaan tersebut, akhirnya diputuskan menggunakan wawancara tersebut sebagai raport awal dari responden satu. Hal ini disepakati bersama karena data yang didapat belum representatif dan masih perlu digali lebih dalam, selain itu karena sifat dari wawancara tersebut adalah tertutup maka tidak akan mengganggu proses wawancara selanjutnya.

2. Alat Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan metode wawancara sebagai alat

pengumpulan data pada penelitian ini. Menurut Poerwandari (1998), dalam pengumpulan data penelitian membutuhkan instrumen penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 instrumen, yaitu :

a. Wawancara mendalam

Wawancara mendalam merupakan wawancara personal yang bersifat langsung dan tidak terstruktur. Sesuai saran

Endraswara (2006), peneliti menggunakan teknik


(54)

informal, dan masing-masing pihak seakan tidak memiliki beban psikologis sehingga kedalaman data yang diperoleh bersifat menyeluruh. Didalamnya responden digali untuk dapat mengungkapkan tentang perasaan, kepercayaan, sikap dan pendapat tentang manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah yang bersuku Jawa. Pedoman wawancara yang digunakan tidak hanya berdasar pada tujuan penelitian, namun juga berdasar pada teori yang terkait dengan manfaat perilaku meminta maaf kepada anak bagi orang tua Jawa.

b. Alat perekam

Alat perekam dibutuhkan sebagai alat bantu ketika wawancara berlangsung, agar peneliti dapat berkonsentrasi penuh pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban responden. Alat perekam sangat berguna karena dengan alat perekam tidak ada hasil yang terlewatkan atau hilang. Dalam penggunaan, alat perekam baru akan digunakan apabila mendapatkan ijin dari responden untuk mempergunakan alat perekam pada saat proses wawancara berlangsung.


(55)

Tabel. 2 Daftar Pertanyaan Wawancara

JenisPertanyaan Pertanyaan

Opening Pernahkah anda melakukan suatu hal ke anak anda yang akhirnya anda sesali?

Transition Bagaimana cara anda untuk

menghilangkan penyesalan anda

kepada anak Anda?

Key Menurut anda, apa tujuan anda

ketika anda meminta maaf kepada anak anda?

Key Apa yang anda rasakan ketika anda

meminta maaf kepada anak anda? Menurut anda, apa faktor yang menyebabkan terkadang ayah sulit untuk berkata minta maaf kepada anaknya?

Ending Peneliti membacakan rangkuman dari hasil wawancara.

Daftar pertanyaan dalam tabel diatas digunakan hanya sebagai panduan wawancara karena dalam pengambilan data dilapangan,


(56)

pertanyaan yang peneliti ajukan bersifat mengalir dan tidak terlalu mengacu pada pertanyaan-pertanyaan diatas.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pola zig-zag (Creswell, 1998). Prosedur dengan pola ini tidak lain adalah dengan mengumpulkan data dari lapangan, menganalisisnya, kemudian kembali mengumpulkan data dari lapangan lagi jika data yang didapatkan ternyata belum mencukupi. Hal tersebut dilakukan secara berulang hingga data yang didapatkan mencukupi.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan proses pengumpulan data dengan beberapa langkah berikut :

1. Peneliti menentukan dan mencari responden penelitian

yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Responden dalam penelitian ini adalah para Ayah suku Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Peneliti melakukan pendekatan secara personal untuk

membina raport dan menciptakan suasana yang nyaman

untuk dilakukannya wawancara dengan responden


(57)

3. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara yang direkam dengan alat perekam.

4. Data kemudian, dikelola dan menguji apakah data yang didapatkan sudah mencukupi. Apabila belum mencukupi, peneliti menentukan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden saat wawancara kedua untuk menggali informasi lebih dalam.

5. Peneliti kemudian kembali ke lapangan untuk melakukan wawancara kedua dengan responden. Hal ini dilakukan berulang hingga data yang dibutuhkan dirasa sudah cukup.

F. Analisis Data

Strategi yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data dalam penelitian ini adalah dengan Content Analysis. Menurut Payne & Payne (dalam Sarosa, 2012) Content Analysis dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk mencari makna materi tertulis atau visual dengan cara mengalokasi isi sistematis ke dalam kategori terinci yang telah ditentukan sebelumnya dan kemudian setelah itu menghitung dan menginterpretasikan hasilnya.

Dengan Content analysis yang digunakan dalam penelitian ini nantinya dapat memungkinkan peneliti mengkuantifikasikan isi teks


(58)

kualitatif dan interpretative secara sistematis (McNabb dalam Sarosa, 2012). Menurut Samiaji Sarosa (2012), Content analysis merupakan alat yang tepat untuk menganalisis teks yang mengandung makna tersurat. Teknik ini juga dapat melihat frekuensi dari penggunaan kata atau data dengan mencari beberapa kali kategori atau kode tersebut tertulis dalam suatu teks dan digunakan sebagai indikasi tingkat kemunculan kode.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data penelitian kualitatif ini adalah dengan coding. Coding merupakan kegiatan membuat kode. Kode yang dimaksud dapat berupa kata atau frase yang digunakan peneliti untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan meringkas kalimat, paragraf, maupun sekumpulan teks (Richard dalam Sarosa, 2012). Tujuan dari penggunaan Coding dalam penelitian ini dijelaskan dalam Sarosa (2012) adalah:

1. Merefleksikan makna dan kategori segmen data yang

diwakili oleh suatu kode

2. Mempertanyakan hubungan suatu kategori dengan data dan

kategori lain serta membangun teori

3. Menyempurnakan kategori dengan mengintegrasikan

temuan yang diperoleh dari berbagai dimensi data

4. Mengkombinasikan berbagai kategori untuk menemukan


(59)

Dalam penelitian ini, coding dibuat menjadi sedemikian rupa :

Tabel. 3 Tabel Coding

Aspek Kode Arti/makna

1. Aspek meminta maaf

1.1) Perkataan minta maaf 1.1 + Mengatakan minta maaf

1.1 - Tidak mengatakan minta maaf

1.2) Kesadaran akan perasaan

bersalah

1.2 + Sadar akan perasaan bersalah

1.2- Tidak sadar akan perasaan

bersalah

1.3) Perasaan malu atas

perasaan bersalah

1.3 + Merasa malu atas perasaan

bersalah

1.3 – Merasa tidak malu atas

perasaan bersalah 2 Faktor yang berpengaruh

2.1) Jarak Sosial 2.1 + Jarak sosial berpengaruh

2.1 – Jarak sosial tidak berpengaruh

2.2) Kekuatan Sosial 2.2 + Kekuatan sosial berpengaruh

2.2 - Kekuatan sosial tidak

berpengaruh

2.3) Jenis Kelamin 2.3 + Jenis kelamin berpengaruh

2.3 - Jenis kelamin berpengaruh 3 Fungsi atau manfaat meminta maaf

3.1) Memperbaiki relasi 3.1 Ada manfaat memperbaiki

relasi

3.2) Menunjukan rasa hormat 3.2 Ada manfaat menunjukan rasa

hormat

3.3) Perbaikan masalah 3.3 Ada manfaat perbaikan

masalah

3.4) Antisipasi masalah 3.4 Ada manfaat antisipasi

masalah


(60)

Kredibilitas Penelitian

Pada metode penelitian kualitatif, terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kredibilitas suatu penelitian. Maka dari itu peneliti menggunakan cara sebagai berikut (Sugiyono, 2011) :

1. Member checking. Member checking adalah proses pengecekan data kepada sumber pemberi data oleh peneliti. Tujuan dari cara ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para sumber pemberi data, maka dikatakan data tersebut valid, sehingga semakin kredibel/dipercaya. Sedangkan apabila data yang ditemukan oleh peneliti tidak disepakati oleh sumber pemberi data, maka peneliti harus melakukan diskusi pada pemberi data.

2. Peneliti mengajukan pertanyaan yang telah disesuaikan dengan prosedur wawancara dan indikator tanpa ada bagian yang terlewatkan.


(61)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. PROSES PENELITIAN

1. Pelaksanaan Wawancara

Berikut ini adalah tahap pengambilan data dengan metode wawancara yang dilakukan peneliti. Sebelum melakukan wawancara, peneliti membaca berbagai sumber informasi seperti jurnal, buku dan skripsi terdahulu dengan tujuan untuk memperluas informasi mengenai strategi wawancara dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan wawancara. Sumber-sumber tersebut peneliti temukan di perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan beberapa di perpustakaan kota Yogyakarta. Selain menggali informasi mengenai keefektifan wawancara, peneliti juga mencari gambaran umum dari responden penelitian yaitu ayah yang bersuku Jawa. Setelah mendapatkan berbagai informasi, peneliti kemudian mendiskusikannya dengan dosen pembimbing skripsi. Diskusi yang dilakukan seputar teknik wawancara yang sesuai dan mengenai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi wawancara seperti pencitraan dari responden dan sifat responden yang tertutup. Setelah kedua tahap dilakukan, tahap berikutnya adalah percobaan wawancara. Dari wawancara


(62)

percobaan peneliti menemukan teknik wawancara yang cocok adalah sifat wawancara yang mengalir serta tidak memojokan responden.

Wawancara pertama dengan responden Y dilakukan pada hari selasa tanggal 14 Oktober 2014. Wawancara peneliti lakukan dengan responden bertempat di kediaman responden Y, yang berlokasi di daerah jalan Godean. Peneliti mencatat waktu

wawancara berlangsung dari pukul 13.30 WIB – 14.50 WIB.

Wawancara pertama dengan responden S dilakukan pada hari rabu tanggal 22 Oktober 2014. Wawancara bertempat di kediaman responden S, yang berlokasi di daerah Monjali. Peneliti melakukan wawancara dengan responden S dari pukul 10.15 WIB

– 11.00 WIB.

Wawancara kedua dengan responden Y peneliti lakukan hari selasa pada tanggal 16 Desember 2014. Sama dengan wawancara pertama, wawancara kedua dilakukan di kediaman responden Y, yaitu yang berlokasi di daerah jalan Godean. Kali ini peneliti melakukan wawancara dengan responden Y dari pukul

10.15 WIB – 11.10 WIB.

Wawancara pertama dengan responden B dilakukan pada hari senin tanggal 20 April 2015. Wawancara ini dilaksanakan di kediaman responden B, yang berlokasi di daerah Godean. Pada sesi


(63)

wawancara kali ini peneliti melakukan wawancara dengan

responden B dari pukul 12.00 WIB – 13.15 WIB.

B. PROFIL RESPONDEN

Berikut ini adalah profil dari kedua responden yang terlibat di dalam penelitian ini :

Responden Y Responden S Responden B

Tempat Tinggal Godean Monjali Godean

Usia 58 tahun 56 tahun 59 tahun

Pendidikan akhir

SMA SMA SMK

Profesi Distributor

majalah

Abdi dalem kraton dan pengusaha katering

Pensiunan PNS

1. Responden I

Responden pertama dalam penelitian ini adalah pria berinisial Y, berusia berusia 58 tahun. Pria kelahiran provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kesehariannya berprofesi


(64)

sebagai distributor majalah. Dalam kehidupan berkeluarga, Y memiliki seorang istri dan dua orang anak. Istri Y merupakan ibu rumah tangga. Anak pertama dari Y adalah seorang mahasiswi berinisial M, dan anak kedua adalah seorang pria yang masih duduk di bangku SMA berinisial L. Responden Y bertubuh relatif gemuk dengan kulit berwarna coklat sawo matang. Setiap kali terlibat dalam sesi wawancara, responden Y berpenampilan santai dengan berpakaian kaos polos, celana pendek dan berkaca mata. Dalam menjawab pertanyaan, responden Y cenderung menjawab secara spontan, lugas dan terkadang memberikan banyak informasi walaupun tidak diminta oleh peneliti. Sikap yang ditunjukan oleh responden Y selama wawancara adalah sikap yang santai dan terkadang responden Y menunjukan sikap sensitif dengan menangis pada pertanyaan tertentu.

Dalam kesehariannya, Y sering memiliki kebiasaan pergi ketempat beribadah untuk berdoa, Y juga terlibat sebagai anggota koor Gereja. Dalam kehidupan berkeluarga Y juga mendidik anak dan istrinya untuk menjadi orang yang taat beragama. Hal tersebut juga dapat ditunjukan dari ornamen-ornamen yang Y gunakan untuk menghias rumahnya seperti Salib, lukisan religius dan patung tokoh Agama.


(65)

2. Responden II

Responden kedua dalam penelitian ini berinisial S. Responden S adalah pria kelahiran Yogyakarta tanggal 13 Oktober 1959. Dalam kehidupan berkeluarga, responden S merupakan Ayah dari 3 orang anakdan seorang istri. Anak yang pertama berinisial P, saat ini berusia 35 tahun dan telah memiliki pekerjaan dan tidak lagi tinggal bersama S. Anak kedua berinisial B yang juga tidak lagi tinggal bersama Ayahnya (S) karena telah memiliki pekerjaan diluar Yogyakarta. S saat ini hanya tinggal bertiga yaitu bersama istri dan anak bungsunya yang berinisial A, mahasiswi berusia 22 tahun. Dalam kesehariannya S berprofesi sebagai penjaga kebersihan di Gereja dan memiliki usaha katering bersama istrinya. Sebelum berprofesi sebagai penjaga kebersihan di Gereja, S pernah berprofesi sebagai pegawai negeri hingga masa pensiunnya. Disamping itu, responden S juga terlibat sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta sejak 4 April 2013 hingga sekarang. Abdi dalem Kraton merupakan orang orang yang mengabdikan dirinya untuk menjaga kerajaan Kraton, yakni tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono, yang merupakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Responden S bertubuh relatif gemuk dengan kulit berwarna coklat sawo matang. Dalam sesi wawancara, responden S kerap kali berpenampilan santai dengan berpakaian kaos dan celana


(66)

pendek. Dalam menjawab pertanyaan S cenderung menjawab dengan singkat, padat dan ringkas. Disamping itu, sepanjang sesi wawancara S selalu menunjukan sikap yang santai dan sering tertawa.

3. Responden III

Responden ketiga pada penelitian ini berinisial B. Responden B adalah ayah bersuku Jawa yang lahir pada tanggal 19 Maret 1956 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini responden B telah memasuki masa pensiunnya. Sebelum memasuki masa pensiunnya responden B berprofesi sebagai PNS. Semasa kecilnya, responden B merupakan anak ke 6 dari 8 bersaudara. Orang tua responden B berasal dari Magelang (ayah) dan Solo (Ibu).

Saat ini, responden B telah memiliki keluarga sendiri yang terdiri dari dua orang anak dan seorang istri. Istri dari responden B berprofesi sebagai guru SMA dan masih aktif hingga saat ini. Anak tertua dari responden B berinisial KP yang telah berusia 28 tahun dan sedang menjalani masa kuliah.Sama halnya dengan anak kedua dari responden B, YV yang berusia 23 tahun juga sedang menjalani masa kuliahnya.

Dalam kesehariannya, responden B secara rutin mengantar jemput istri yang masih bekerja sebagai guru SMA.Selain itu,


(67)

responden B juga berperan menggantikan istrinya dalam hal membersihkan rumah ketika istrinya bekerja. Responden B memiliki figur badan yang tegap dan tidak terlalu gemuk.Selama sesi wawancara, responden B menggunakan kaos polo berwarna hijau dan celana pendek berwarna coklat. Dalam menjawab pertanyaan peneliti, responden B merupakan orang yang cukup informatif dan terbuka pada segala pertanyaan yang diajukan.Selain itu, sepanjang sesi wawancara responden B selalu menunjukan sikap yang santai dan murah senyum.

C. ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil analisis terhadap kedua responden yang terlibat dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa tema yang dapat menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian ini. Analisis akan dilakukan secara terpisah antar satu responden dan responden kedua. Hal ini peneliti lakukan agar analisis dapat secara fokus dilakukan setiap responden.

Dalam tahap analisis ini, terdapat beberapa proses yang dilakukan oleh peneliti. Meskipun telah memiliki panduan analisis, peneliti tetap akan memperhatikan dan berfikiran secara terbuka terhadap kemungkinan munculnya tema yang baru, yang merupakan keunikan tersendiri dari tiap responden. Selain itu, peneliti juga akan memperhatikan tema yang


(1)

itu ... yaa memang itu merasa agak sulit dengan anak daripada dengan orang lain. Ya memang ada yang berbeda. Kalau pada orang lain itu dari segi usia se level, dengan orang lain bisa lebih leluasa karena kehidupan sosial itu memang membutuhkan

kerukunan yang harus selalu dibina.” (Responden B, B165-169)

merasa orang tua dulu itu jarang yang merasakan dirinya itu salah. Laa orang tua dulu itu berprinsip, dia mendidik anak itu untuk kebaikan anak,

apapun yang

dilakukan ya itu untuk kebaikan anak, ya makanya orang tua dulu itu tidak pernah salah karena apapun yang dilakukan untuk kebaikan anak.” (Responden B, B89-92)

”Ya itu tadi, kembali yang ... yang .. yang .. anu, kayak seperti sistem pendidikan anak yang dahulu itu seperti itu, jadi orang tua seperti ada sifat otoriter, makanya orang tua dulu itu jarang merasa bersalah terhadap anak.” (Responden B, B107-109)


(2)

tua jaman dahulu itu ada tradisi-tradisi khusus ya, orang jawa misalkan .. orang jawa itu ada istilah ada peribahasa itu ... kebo nyusu gudel itu istilah kalau orang tua minta .. minta .. ee minta berguru dengan anak, itu karena harga diri orang dulu itu masih kuat, jadi orang tua dahulu itu taunya kalo orang tua harus bisa mengatur anaknya. La jangan sampai ada istilah kebo nyusu gudel itu, jadi gimanapun juga orang dahulu itu merasa harus lebih

dari anak.”

(Responden B, B123-127)

Fungsi atau manfaat meminta maaf

Memperbaiki relasi Menunjukan rasa hormat Perbaikan masalah Antisipasi masalah Lainnya

Y “Ya biasanya kan nasihat.

Nasihat yang diberikan pada

“Baik, memang

seharusnya seperti itu, jadi

“Iya, sama saja itu. Jadi kalau itu sudah terbiasa dalam


(3)

perilaku yang kurang baik disampaikan agar tidak melakukan perilaku itu lagi. Jadi ya untuk memperbaiki kesalahannya, karena itu juga mengembalikan kepercayaan diri kalau orang tua sekalipun marah masih sayang.” (responden Y, B219-221)

itu jugakan unsur pendidikan

juga.”(responden Y, B110).

“Otomatis anak akan mengingat bahwa orang tuaku saja minta maaf pada aku kok, kalau aku salah .... itu akan otomatis di simpan di memori mereka untuk bisa diterapkan kalau saya jadi orang tua besok, ini secara tidak langsung menjadi pendidikan untuk

anak-anak, kan

gitu”(responden Y,B151-154).

“Bahwa kita itu dengan anak pun sebagai orang tua jangan egois. Merasa menang sendiri, merasa berkuasa .. tidak seperti itu, walaupun dengan anak, memberikan pendidikan yang baik “Saya minta maaf ya nak, bapak gini, gini, gini” ya itukan sebetulnya kalo keluarga menerapkan hal semacam itu waa indah,

keluarga, tidak ada kata-kata yang membatasi orang tua dengan anak untuk mengucapkan terimakasih dan maaf. Tinggal momennya apa, na kalau itu ... eeeee ... perhatian itu selalu diberikan otomatis anak anak juga memperhatikan orang tua” (responden Y, B162-164). “Meminta maaf pada anak itu kan juga suatu ungkapan dan juga suatu pendidikan buat anak walaupun orangtua pun kalau salah harus minta maaf. Inikan suatu juga eeee ... emmm .. memberikan suatu teladan bagi anak-anak untuk mencontoh yang baik, yang namanya salah harus mengakui kesalahannya, na mengakuinya itu dengan cara minta maaf.”(responden Y, B246-249).


(4)

tidak ada kerusuhan, tidak ada tawuran kayak yang di TV itu”(responden Y, B110-114).

“Ini sebetulnya untuk bisa saling memahami karakter masing-masing, sedikit tapi karena rutinitas, tapi kalau jarang ada komunikasi, tidak pernah bersama-sama

memecahkan suatu permasalahan, akhirnya kalau ada konflik ya berkepanjangan.”(respond en Y, B121-123).

S “ada to yang minta maaf karena secara sebagai formalitas, ada yang memang ini untuk memperbaiki hubungan” (responden S, B146-147).

“Tujuan yang paling utama agar lekas cair” (responden S, B156)

Kok saya, kalau negatifnya kok tidak

“Karena yang paling mudah untuk membuka rasa dendam, untuk membuka isi hati itukan kalau ada ungkapan minta maaf. Ya setelah itu kan dendam itu bisa terkikis, tidak dendam tapi jengkel” (responden S, B101-102).

Nek saya gini, itukan kita ungkapkan biar dia itu merasa saya perhatikan juga” (responden S, B70-71).

“Ya, mungkin penting juga ya mas, karena kalau diam saja, ya kayak basa basi seperti kayak salaman, itu kayak yang basa basi, atau formalitas. Ndak saya lakukan kan soalnya kesehariannya hidup

bersama, satu

keluarga.”(responden S, B78-80).


(5)

jelas ya ... kasarannya memikirkan atau kalau tidak tu cair kembali kok negatif gitu kan ya tidak mungkin haha (responden S, B83-84)

Meminta maaf sendiri tidak berarti mengurangi rasa hormat, na to .. kalo yang muda hormat kepada yang lebih tua, tapi hormatkan tidak harus mengupas kata maaf. Kalo dari yang tua ke yang muda itu kan sayang gitu lo nek ... sayang kan berarti juga eem .. apa .. hormat itu kan bisa dinyatakan macem macem.”(responden S, B71-74).

B “jadi kalau ada

permasalahan tidak .. tidak berlarut larut dan cepat selesai.” (responden B, B150-151)

“cara seperti itu orang tua juga secara tidak langsung dapat mendidik anak, agar kebiasaan meminta maaf itu bisa dilakukan untuk nantinya kalo dia dewasa dan dia berkeluarga dan dengan anak-anaknya supaya bisa membina keluarga dengan penuh keharmonisan dalam keluarganya.” (Responden B, B175-177)

supaya anak tau apa kesalahannya dan orang tua juga merasa ada interaksi dan komunikasi yang bagus antara anak dengan orang tua.” (Responden B, B77-78)

“soalnya kedekatan antara orang tua dengan anak itu emang harus dibina.” (responden B, B149-150) “Kalau pada orang lain itu dari segi usia selevel, dengan orang lain bisa lebih leluasa karena kehidupan sosial itu

memang membutuhkan


(6)

dibina. Sedangkan kalo anak itukan setiapkali bisa bertemu, orang tua merasa ya itu tadi pembawaan dari orang tua yang dulu, itukan kadang kadang ada perasaan seperti itu.” (Responden, B168-170) “jika meminta maaf kepada anak itukan untuk mendekatkan diri, untuk saling mengakrabkan dalam satu keluarga, itu yang paling pokok.” (Responden B, B173-174)