meminta maaf kepada anak dibanding dengan teman yang seusia. Sebagian ayah merasa bahwa hal tersebut
dipengaruhi oleh rasa keleluasaan. Disamping itu sebagian ayah merasa bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh persepsi
yang mengatakan bahwa anak adalah figur yang lemah. Sehingga terkadang melakukan perilaku meminta maaf
kepada anak dipicu oleh rasa kasihan. Hasil didapatkan bahwa terdapat berbagai manfaat dari
perilaku meminta maaf kepada anak menurut ayah yang bersuku Jawa. Manfaat tersebut diantaranya
Sebagai bentuk antisipasi masalah. Bentuk antisipasi masalah yang disampaikan oleh ayah bersuku Jawa adalah
sebagai unsur pendidikan, menjadikan diri teladan dan untuk memahami karakter serta mengikis rasa dendam.
Sebagai bentuk perhatian kepada anak. Sebagai alat untuk memberi tahu letak kesalahan dari anak.
Sebagai alat untuk membina interaksi dan komunikasi, mendekatkan dan saling mengakrabkan dalam keluarga
khususnya hubungan ayah dengan anak. Sebagai alat untuk memperbaiki masalah. Sebagian ayah
merasa bahwa dengan melakukan perilaku meminta maaf, masalah yang ada saat itu antara ayah dengan anak dapat
terselesaikan dengan cepat.
Sebagai alat untuk memperbaiki hubungan atau relasi. Beberapa ayah mempercayai bahwa dengan melakukan
perilaku meminta maaf kepada anak dapat menyembuhkan relasi yang rusak sebelumnya antara ayah dengan anak.
H. PEMBAHASAN
Dalam melakukan perilaku meminta maaf kepada anak, beberapa ayah yang bersuku Jawa merasa perlu untuk tidak hanya sekedar
mengatakan kata “maaf” namun juga menyertakan penjelasan dan diikuti dengan perubahan perilaku. Hal ini sejalan dengan teori Bach dan Harnish
197 yang mengatakan bahwa perilaku meminta maaf merupakan sebuah bentuk “pengakuan” atau acknowledgements. Menurut teori ini, terkadang
orang melakukan perilaku meminta maaf dengan menyertakan pengakuan atas kesalahan sebelumnya. Oleh karena itu beberapa ayah yang bersuku
Jawa merasa mengatakan “maaf” tidak cukup dan harus disertakan sebuah penjelasan yang merupakan sebuah bentuk pengakuan.
Beberapa ayah yang bersuku Jawa merasa bahwa perilaku meminta maaf kepada anak tidaklah lebih dari kata-kata. Pernyataan tersebut sesuai
dengan teori dari Suseno 1985 yang menyebutkan bahwa seringkali perilaku meminta maaf dimunculkan hanyalah sebatas kata-kata, dan tidak
melibatkan perasaaan bersalah, rasa malu serta rasa tanggung jawab. Hal tersebut menurut Suseno menyebabkan jarang sekali perilaku meminta
maaf dinilai tulus. Barlund dan Yoshioka 1990 menyebutkan bahwa hal tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai sosial dari budaya negara tersebut.
Barlund dan Yoshioka dalam studinya menemukan bahwa kebanyakan pada orang Jepang akan memunculkan perilaku meminta maaf secara
langsung dengan kata-kata dibandingkan orang Amerika. Sedangkan orang di negara Amerika cenderung menggunakan sebuah penjelasan di
dalam situasi yang menuntut perilaku meminta maaf muncul. Maka, hal tersebut menunjukan bahwa budaya Jawa memiliki beberapa kemiripan
dengan budaya Jawa yang cenderung memunculkan perilaku meminta maaf dengan kata-kata. Akan tetapi tidak hanya itu, ada beberapa ayah dari
suku Jawa yang merasa bahwa melakukan perilaku meminta maaf perlu disertai dengan sebuah penjelasan. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa
ada beberapa ayah dari suku Jawa yang menerima dampak dari westernisasi, dimana budaya barat seperti Amerika turut mempengaruhi
orang dalam berperilaku. Dalam hal ini perilaku meminta maaf kepada anak yang bagi ayah bersuku Jawa perlu untuk menyertakan penjelasan.
Berdasarkan hasil diatas didapatkan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadikan alasan beberapa ayah bersuku Jawa tidak melakukan
perilaku meminta maaf. Sebagian besar ayah bersuku Jawa mengatakan tidak melakukan perilaku meminta maaf kepada anak karena merasa
perilaku lain seperti menggendong dan memeluk anak lebih efektif daripada melakukan perilaku meminta maaf kepada anak. Alasan ini
muncul seperti dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Jaworsky 1994 di negara Polandia. Penelitian tersebut menemukan bahwa perilaku
meminta maaf terkadang muncul dengan tidak melibatkan kata kata, namun muncul berupa strategi kesopanan seperti memenangkan simpati
pendengar. Sama halnya dengan pendapat Fraser 1981 yang mengatakan bahwa perilaku meminta maaf dapat dilakukan secara eksplisit. oleh
karena itu dalam budaya Jawa seperti yang dikatakan oleh sebagian besar
ayah bersuku Jawa, strategi kesopanan terwujud ke dalam perilaku seperti pelukan dan menggendong anak. Alasan berikutnya yang menjadi
penyebab mengapa beberapa ayah bersuku Jawa tidak melakukan perilaku meminta maaf adalah karena ketika ayah bersuku Jawa melakukan
kesalahan kepada anak, mereka merasa anaknya lah yang menjadi penyebabnya. Sehingga beberapa ayah bersuku Jawa cenderung merasa
anak lebih memiliki andil kesalahan dari mereka. Terkait hal tersebut maka alasan yang muncul berikutnya adalah bahwa beberapa ayah yang
bersuku Jawa merasa memberi peringatan dan memarahi anak untuk tidak melakukan perbuatannya lagi lebih penting untuk dilakukan daripada
melakukan perilaku meminta maaf kepada anak. Pernyataan tersebut muncul karena beberapa ayah yang bersuku Jawa merasa letak kesalahan
mereka berada di anaknya, sehingga hal tersebut memicu respon yang sering muncul ketika ayah bersuku Jawa ketika bersalah adalah memarahi
dan memberi peringatan. Beberapa alasan diatas menunjukan bahwa hal tersebut berkaitan dengan faktor kesadaran akan perasaan bersalah dan
faktor kekuatan sosial. Dari hasil wawancara, peneliti menemukan bahwa kebanyakan
ayah yang bersuku Jawa sulit untuk menyadari letak kesalahannya dan sebagian kecil diantara mereka tidak merasa malu ketika memiliki
kesalahan kepada anak. Hal tersebut menurut Fraser 1981 dapat menghambat seseorang untuk melakukan perilaku meminta maaf karena
seseorang membutuhkan kesadaran akan kesalahannya untuk dapat