Bagi Anak Manfaat Praktis
perasaan yang turut serta terlibat oleh diri seseorang yang mengatakannya. Bach dan Harnish 1979 mengklasifikasikan perilaku meminta maaf
sebagai bentuk “pengakuan” atau acknowledgements. Kategori ini didefinisikan sebagai ungkapan tentang “perasaan tertentu” kepada
pendengarnya. Hickson 1979 mendefinisikan perilaku meminta maaf sebagai sebuah ekspresi yang menunjukkan perasaan penyesalan pelaku
atas kesalahannya kepada orang lain yang dilakukan dalam bentuk ucapan atau tulisan. Pada studi perbandingannya antara Jepang-Amerika,
Barnlund dan Yoshioka 1990 mengkarakteristikan perilaku meminta maaf sebagai bentuk pengakuan atas pertanggung jawaban akan perilaku
yang telah menyakiti orang lain secara fisik, sosial dan psikologis. Menurut Searle 1976, ketika orang memunculkan perilaku
meminta maaf terdapat keadaan dan perasaan psikologis yang turut terlibat didalam diri orang tersebut. Fraser 1981 menyebutkan salah satu keadaan
psikologis berupa kesadaran dan perasaan bertanggung jawab atas perilaku sebelumnya yang turut terlibat ketika orang memunculkan perilaku meminta
maaf. Dalam kasus seperti di Negara non-western yakni Jepang, orang membutuhkan rasa self-humiliation atau rasa malu untuk mengakui
kesalahan dan memunculkan perilaku meminta maaf Nishiyama, 1973. Pada beberapa kasus seperti dalam penelitian oleh Jaworski 1994
di Negara Polandia, perilaku meminta maaf terkadang muncul dengan tidak melibatkan kata kata yang merupakan strategi kesopanan seperti
memenangkan simpati
pendengar, membenarkan
tindakan yang
menyinggung, atau menggunakan sumpah serapah. Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Fraser 1981 yang mengatakan bahwa perilaku
meminta maaf dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata. Berdasarkan banyak penjelasan diatas, peneliti dapat menarik
benang merah mengenai definisi dari perilaku meminta maaf. Dapat disimpulkan bahwa perilaku meminta maaf merupakan sebuah ungkapan
yang dilakukan dengan bentuk tulisan atau diucapkan dengan ekspresi yang turut serta melibatkan keadaan psikologis dan perasaan oleh individu yang
sadar dan merasa bertanggung jawab atas perbuatan sebelumnya yang telah melukai orang lain secara fisik, sosial atau psikologis.
B. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Meminta Maaf
Pada tahun 1987, Brown dan Levinson menyebutkan ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi orang dalam memunculkan perilaku meminta
maaf. Ketiga faktor tersebut adalah : 1.
Jarak sosial. Holmes 1990 dalam hasil dari penelitiannya menyebutkan bahwa perilaku meminta maaf yang memakan waktu
paling lama dan paling rumit adalah hubungan sosial dalam pertemanan. Sedangkan perilaku meminta maaf yang lebih
membutuhkan waktu singkat adalah jarak sosial yang diwujudkan dalam hubungan intim seperti pasangan Fraser, 1981.
2. Kekuatan sosial. Hal ini terwujud dalam keseharian terdapat
hierarki sosial seperti patrineal. Tannen 2001 dan Fraser 1981 menemukan hasil bahwa dalam kehidupan berkeluarga, suami atau
kepala rumah tangga dalam budaya patrineal cenderung menghindari perilaku meminta maaf pada lingkup pembicaraan
sehari-hari. 3.
Faktor jenis kelamin. Berangkat dari data etnografi, Holmes 1989 menemukan bahwa perempuan memunculkan perilaku meminta
maaf lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal yang sama juga ditemukan oleh peneliti bernama Marquez Reiter 2000 yang
meneliti di Negara Inggris dan Uruguay. Terkait dengan cara atau bentuk perilaku meminta maaf, penelitian
dari Barlund dan Yoshioka 1990 menyebutkan bahwa hal tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai sosial dari budaya negara tersebut. Barlund dan
Yoshioka dalam studinya menemukan bahwa kebanyakan pada orang Jepang akan memunculkan perilaku meminta maaf secara langsung dengan
kata-kata dibandingkan orang Amerika. Sedangkan orang di negara Amerika cenderung menggunakan sebuah penjelasan di dalam situasi yang
menuntut perilaku meminta maaf muncul. Hasil dari penelitian ini juga turut serta didukung oleh Marquez Reiter 2000 yang menyebutkan bahwa sulit-
mudahnya orang memunculkan perilaku meminta maaf itu berbeda di tiap negara.
Berangkat dari berbagai penjelasan diatas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada 3 faktor utama yang dapat mempengaruhi orang
dalam memunculkan perilaku meminta maaf yakni; 1 jarak sosial, 2 kekuatan sosial, dan 3 faktor jenis kelamin Brown Levinson, 1987.
Disamping itu pendapat dari Barlund dan Yoshioka 1990, serta Marquez Reiter 2000 semakin menegaskan bahwa bentuk dan sulit mudahnya
meminta maaf pada diri seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya yang berbeda di tiap negara.
C. Fungsi dan Manfaat Perilaku Meminta Maaf
Berangkat dari banyak penelitian yang ada, dikumpulkan beberapa fungsi dan manfaat dari perilaku meminta maaf itu sendiri. Salah satu fungsi
yang disebutkan oleh Leech 1983 adalah perilaku meminta maaf merupakan sebuah upaya yang dapat digunakan untuk memperbaiki relasi
yang dirusak akibat perbuatan sebelumnya. Menurut Brown dan Levinson 1987, perilaku meminta maaf juga dapat digunakan sebagai bentuk dari
kesopanan negatif. Dalam teori FTA Face-Threatening Act dan Speech act
-nya, Brown dan Levinson menyebutkan bahwa kesopanan negatif adalah suatu ujaran untuk menghargai keinginan seseorang untuk bebas
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dari lawan bicara. Brown dan Levinson 1987 juga berpendapat bahwa perilaku meminta maaf juga dapat
digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dan menunjukkan rasa kesetia-kawanan.
Penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Tannen 2001 juga menambah pentingnya sebuah perilaku meminta maaf itu sendiri. Menurut
Tannen 2001, pasangan suami istri yang jarang memunculkan perilaku meminta maaf berkorelasi dengan seringnya konflik percakapan diantara
pasangan tersebut. Penelitian dari Tannen tersebut menyebutkan bahwa kurangnya perilaku meminta maaf dapat menjadi sumber konflik
percakapan diantara suami dan istri. Terkait fungsi dari perilaku meminta maaf sendiri, Aijmer 1996
menemukan adanya 2 fungsi yaitu sebagai bentuk ‘remedial’ dan ‘disarming’. Fungsi yang pertama yaitu ‘remedial’ disebutkan oleh
Goffman 1971 muncul atau terjadi setelah bentuk penyerangan. Sedangkan fungsi satunya yaitu
disarming’ Edmondson, 1981 yang terjadi sebelum menghadapi ancaman. Istilah dari ‘disarming’ memiliki arti
sebagai bentuk perilaku meminta maaf yang digunakan untuk sebuah antisipasi terhadap tindakan menghadapi masalah
“Saya meminta maaf tetapi saya sedang terburu-
buru”.
Berdasarkan banyaknya penjelasan dari berbagai pendapat dari ahli diatas, didapatkan bahwa fungsi dan manfaat dari perilaku meminta maaf
ada bermacam-macam. Fungsi yang disebutkan oleh Brown dan Levinson 1987 adalah bahwa perilaku meminta maaf dapat digunakan untuk
memperbaiki relasi. Menurut Tannen 2001, perilaku meminta maaf juga dapat digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain.
Disamping itu terdapat 2 fungsi khusus dari perilaku meminta maaf seperti yang telah disampaikan oleh Aijmer 1996 yaitu sebagai bentuk ‘remedial’
atau sebuah perbaikan dari suatu masalah dan ‘disarming’ atau sebuah antisipasi terhadap tindakan menghadapi masalah.
D. Orang Jawa
1. Pengertian Orang Jawa
Menurut Suseno 1996 yang disebut orang Jawa adalah orang yang mendiami atau merupakan penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa. Sedangkan Koentjaraningrat 1984 menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang mendiami bagian tengah dan
timur dari seluruh pulau Jawa. Daerah asal orang Jawa merupakan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari kedua pernyataan itu
kemudian dapat disimpulkan bahwa pengertian orang Jawa merupakan penduduk asli dari pulau Jawa khususnya provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Karakteristik Orang Jawa
Menurut Handayani 2004 orang Jawa memiliki dua buah prinsip dalam interaksi sosialnya dalam masyarakat Jawa itu sendiri.
Prinsip pertama yakni adalah prinsip kerukunan menyebutkan bahwa dalam setiap situasi manusia bersikap sedemikian rupa agar tidak
memunculkan sebuah konflik dalam berinteraksi. Prinsip kedua yakni adalah prinsip hormat yang menuntut agar masyarakat Jawa
menunjukkan sikap hormat kepada orang lain dalam berbicara dan membawa diri. Suseno 1996 mengatakan bahwa kedua prinsip
tersebut merupakan kerangka normatif yang menentukan segala bentuk konkret dari interaksi sosial yang juga disadari oleh
masyarakat Jawa itu sendiri. a.
Prinsip Kerukunan
Menurut Suseno 1996 prinsip kerukunan pada masyarakat
Jawa bertujuan
untuk membangun
dan mempertahankan hubungan masyarakat dalam keadaan yang
harmonis. Keadaan rukun adalah dimana ketika semua pihak berada dalam keadaan damai antara satu dengan yang lain,
saling bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.
Selain itu Suseno 1996 juga menyebutkan bahwa prinsip kerukunan memungkinkan masyarakat jawa memiliki kerelaan-
kerelaan tertentu dari bentuk menerima kompromi akibat dalam mencegah konflik. Hal ini juga terkadang mengakibatkan orang
Jawa tidak mendapatkan haknya dengan sepenuhnya. Bagi orang
Jawa mengusahakan
keuntungan pribadi
tanpa memperhatikan persetujuan masyarakat atau berusaha sendiri
tanpa melibatkan kelompok dianggap kurang baik. Disamping itu, membuka perasaan suasana hati atau menampilkan ekspresi-
ekspresi yang menunjukkan kekacauan batin juga dinilai negatif bagi orang Jawa. Selain itu, suatu permintaan atau tawaran bagi
orang Jawa tidak boleh langsung ditolak Magnis-Suseno, 1985 Sedangkan menurut Bratawijaya 1997 rukun dapat
berarti sebagai kondisi ketika merasa dalam keadaan selaras, penuh kedamaian, tanpa adanya pertentangan dan perselisihan.
Aktivitas masyarakat Jawa seperti gotong royong merupakan bentuk konkret interaksi sosial yang dilandasi dari adanya
kerukunan hidup Kerukunan menurut Endraswara 2003 adalah kondisi
dimana keseimbangan sosial tercapai. Hal ini terwujud karena terjalin saling menghormati, sopan santun yang dapat
dipertahankan, dan saling menghargai satu dengan yang lain. Suseno 1996 juga menyatakan bahwa orang Jawa sangat
menghargai kemampuan untuk memperkatakan hal yang tidak
enak secara langsung. Seperti kemampuan untuk ethok-ethok atau dalam bahasa Indonesianya berarti berpura-pura adalah
suatu seni yang dianggap memiliki nilai positif bagi masyarakat Jawa. Contoh dari hal ini adalah ketika seseorang diliput
kesedihan, dia diharapkan tersenyum. Selain itu juga ketika seseorang kunjungan dari orang yang dia benci, seseorang
tersebut diharapkan tetap tersenyum. Disamping itu bagi orang Jawa, menentang kehendak orang lain secara langsung dan
menunjukkan permusuhan sangatlah bertentangan dengan perasaannya.
Sehingga setiap
terdapat perilaku
yang menyimpang dari norma masyarakat Jawa terkait prinsip
kerukunan, orang Jawa akan mengalami tekanan psikis yang kuat.
b. Prinsip Hormat
Saling hormat adalah dasar dari sikap kerukunan. Hal ini ditunjukan oleh masyarakat Jawa dalam berbicara dan
membawa dirinya selalu hormat terhadap orang lain sesuai dengan tingkat dan kedudukannya masing-masing Bratawijaya,
1997. Menurut Suseno 1996 prinsip hormat mengatakan bahwa
setiap orang dalam berbicara dan membawa dirinya harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai derajat dan
kedudukannya. Prinsip ini juga berpendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat diatur secara hierarkis, sehingga
setiap orang haruslah mengenal tempat dan tugasnya dan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat tetap menjadi
satu kesatuan yang selaras. Geertz dalam Suseno 1996 mengatakan bahwa semasa
anak, orang Jawa diajarkan tiga perasaan dalam situasi tertentu yang menuntut anak Jawa untuk menunjukkan sikap hormatnya,
yaitu : 1
Wedi
Wedi atau dalam bahasa Indonesianya berarti takut,
sebagai reaksi terhadap suatu ancaman fisik maupun rasa takut akibat tidakan yang tidak membuat nyaman.
2 Isin
Isin atau berarti malu, juga dapat berarti malu-malu,
merasa bersalah dan sebagainya. Perasaan ini dapat muncul dalam segala situasi sosial kecuali di dalam lingkaran
keluarga inti. Namun sebaliknya, segala hubungan keluar memiliki ancaman akan perasaan malu.
3 Sungkan
Sungkan merupakan malu dalam artian yang positif.
Sungkan digambarkan sebagai rasa hormat yang sopan
kepada seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi atau sesama yang belum dikenal. Disamping itu rasa sungkan
dapat digambarkan sebagai bentuk pengendalian diri terhadap kepribadian untuk menunjukkan rasa hormat
kepada orang lain. Dari kedua prinsip tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
interaksi sosialnya orang Jawa menjunjung tinggi prinsip kerukunan dan hormat. Kedua prinsip tersebut bagi orang Jawa
merupakan sebuah landasan dalam bentuk konkret berinteraksi seperti berbicara dan membawa diri agar tidak sampai
menimbulkan sebuah konflik.
E. Orang Jawa dalam Kehidupan Berkeluarga
Dalam bukunya, Taryati dkk 1995 menyebutkan bahwa keluarga yang ideal menurut masyarakat dekat kraton adalah keluarga yang mampu
menyelesaikan segala persoalan, hidup tenteram, dan menjalankan ibadat agama dengan baik serta menjauhi sikap yang materialistis. Selanjutnya,
masyarakat yang jauh dari kraton seperti kalangan keluarga guru, pegawai negri, dan pedagang mempunyai persepsi bahwa keluarga yang ideal adalah
keluarga yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan dapat mendidik anaknya dengan baik. Sedangkan keluarga buruh mengatakan
bahwa keluarga yang ideal adalah keluarga yang tidak pernah bertengkar dan selalu bermusyawarah.
1. Nilai nilai yang dianut keluarga Jawa
Nilai tentang kerukunan, rasa hormat dan ketaatan merupakan 3 nilai utama yang di ajarkan dalam kehidupan keluarga di lingkungan
kraton. Gambaran kerukunan di wujudkan dalam keluarga ketika anak di didik untuk rukun dengan sesamanya. Begitu pula rasa hormat yang
diajarkan melalui pembinaan pada anak. Nilai kehormatan menurut Taryati dkk 1995 pada keluarga kraton adalah hormat yang berdasar
pada tempat yang jelas dan di prioritaskan dalam hierarki keluarga. Ketaatan anak pada norma keluarga, merupakan bentuk manifestasi
dari rasa hormat dan ketakutan tehadap figur otoritas atau orang tua. 2.
Peran tiap anggota keluarga Jawa Terkait peran pada tiap anggota, orang tua pada keluarga Jawa
sendiri secara garis besar bertugas memberikan nasehat-nasehat kepada anaknya Taryati dkk, 1995. Disisi lain orang tua juga
memiliki tugas untuk mencontohkan tingkah laku dan tata krama kepada anaknya didalam pergaulan, hormat pada orang yang lebih tua
dalam hal bertutur kata dan lainnya.
a.
Peran suami atau ayah pada keluarga Jawa secara garis
besar dituliskan didalam buku Taryati dkk 1995 adalah sebagai pelindung bagi istri dan anak yang diwujudkan
seperti dalam hal mencari nafkah demi kehidupan sehari- hari. Disamping itu, suami juga memiliki peran sebagai
figur yang bertugas membimbing seluruh anggota keluarga agar berkembang sesuai dengan keinginannya, sehingga
terkadang dalam keluarga Jawa mengenal suami dengan sebutan kepala rumah tangga.
b.
Peran seorang istri atau ibu menurut Taryati dkk 1995
ada beberapa hal. Salah satu peran istri didalam keluarga adalah menjadi pusat kedamaian bagi keluarga dan menjadi
teman berbincang untuk suaminya. Pusat kedamaian disini diwujudkan dalam tugas kesehariannya yang berupa
menjaga kerukunan rumah tangga dan kesehatan di tiap anggotanya.
c.
Peran anak dalam keluarga Jawa diharuskan untuk
mengutamakan pendidikan atau belajar pada kesehariannya. Selain itu menurut Taryati dkk 1995, anak juga harus
hormat dan patuh pada orang tua serta mendengar segala nasehat yang ada. Dalam kehidupan keseharian, anak dalam
keluarga Jawa juga di didik untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah.
Pada konsep “serat wulangreh” anak
dalam budaya Jawa diharuskan taat dan patuh tanpa syarat kepada orang tuanya. Konsep ini mengibaratkan bahwa
orang tua adalah wakil Tuhan, sehingga anak harus takut pada larangan dan tunduk pada nasehat orang tua.
Disamping itu semua, Taryati dkk 1995 juga menyebutkan bahwa keluarga Jawa memiliki dinamika yang khas terkait hubungan
antar anggota keluarga dan cara pandang pada tiap anggota. Didalam keluarga Jawa, anak atau anggota keluarga dapat saling memberi dan
menerima berbagai pengetahuan dan saling mengingatkan untuk menghindari perbuatan yang tidak diharapkan. Akan tetapi, dalam
budaya Jawa anak seringkali dianggap masih kecil dan hanya dapat memperoleh bimbingan dan petunjuk dari orang yang lebih tua atau
dewasa Taryati dkk, 1995.
F. Hubungan Orang Tua Jawa dengan Anaknya
Dalam budaya Jawa, seperti yang dikatakan oleh Taryati dkk 1995 proses membina anak yang ideal adalah orang tua harus mempunyai
pengaruh dan harus sayang kepada anaknya. Disamping itu orang tua juga harus mengetahui bakat anak dalam pendidikan formalnya. Pada penelitian
yang telah dilakukan oleh Taryati dkk, komunikasi timbal balik antara orang tua dengan anak sangat diperlukan dalam keluarga pegawai negeri dan guru,
sedangkan pada keluarga buruh lebih mengutamakan ajaran kerohanian dan
keagamaan sejak anak berusia dini. Menurut keluarga buruh dari situlah anak dapat belajar mengenai sikap hormat, kasih sayang dan mampu
menerima nasehat dari orang tua. Hubungan antara orang tua dengan anak pria atau anak wanita berbeda
dalam budaya Jawa Taryati dkk, 1995. Pada budaya Jawa, orang tua memanggil anak pria dengan sebutan le dari kata tole, sedangkan anak
wanita dipanggil dengan sebutan nok dari kata denok. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Taryati 1995, perlakuan ke anak pria
dari orang tua Jawa bervariasi antara lain bersikap keras, ngemong, dan melindungi. Dalam pola interaksinya, ayah dalam budaya Jawa cenderung
memandang permasalahan sebagai hal yang harus dibicarakan secara terbuka antara ayah dan anak pria. Disisi lain, interaksi antara ibu kepada
anak prianya cukup terbatas karena pada umumnya pada budaya Jawa ibu merupakan perpanjangan lengan dari ayah sehingga jika ada permasalahan
ibu akan cenderung meminta pertimbangan suami terlebih dahulu. Taryati dkk 1995 juga berpendapat bahwa orang tua yang tidak jujur atau tidak
dapat membina anak dalam menepati janjinya dianggap sebagai orang tua yang tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau menanggung resiko
karena orang tua tersebut tidak mau mengakuinya. Budaya Jawa memandang bahwa baik atau buruknya tingkah laku
anak merupakan cermin tingkah laku dari orang tuanya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, orang tua Jawa pada umumnya merasa malu jika
anaknya bersikap kasar dan berani pada orang yang lebih tua atau dewasa.
Tumbuhnya rasa malu yang dialami oleh orang tua tersebut menimbulkan tugas yang secara instingtif dilakukan oleh para orang tua untuk
memberikan contoh baik kepada anaknya. Hal tersebut disebabkan karena orang tua Jawa sangat memperdulikan pandangan masyarakat luar kepada
keluarganya termasuk anaknya.Jika anak berani, maka masyarakat Jawa memandang hal tersebut sebagai ketidak tahuan terhadap adat istiadat dan
tidak sopan apabila membangkang orang tua. Sartono 1998 menyebutkan bahwa sikap orang tua dalam mendidik
anak bergantung pada tingkatan umur dari sang anak. Menurut Sartono, terdapat 4 tingkatan, yaitu 1 ketika anak berusia 5 tahun, anak di ibaratkan
sebagai pengabdi raja dan ayah atau ibu adalah rajanya, 2 ketika anak berusia 10 tahun, anak harus di didik keras seperti prajurit, 3 ketika anak
berusia 16 tahun, anak di ibaratkan sebagai seorang sahabat bagi kedua orang tuanya, dan 4 ketika anak sudah berkeluarga dan memiliki anak
sendiri, orang tua Jawa hanya sebatas mendidik dengan perumpamaan.
G. Perilaku Meminta Maaf pada Ayah Jawa kepada Anak
Terkait dengan karakteristik orang Jawa, Handayani 2004 menyebutkan adanya dua prinsip dasar yang ditekankan dalam budaya Jawa
yaitu prinsip kerukunan dan prinsip kehormatan. Bagi orang Jawa, prinsip kerukunan dipahami dengan tujuan agar orang Jawa tidak memunculkan
sebuah konflik, bahkan dalam hal berinteraksi dengan sesamanya. Atas
dasar prinsip kerukunan tersebut, orang Jawa secara sengaja menjauhkan diri dari konflik dengan menjaga diri dalam hal berbicara. Maka seringkali
orang jawa menggunakan perilaku meminta maaf dengan tujuan dalam bentuk antisipasi atau ‘disarming’. Disamping itu bagi orang Jawa,
membuka perasaan suasana hati atau menampilkan ekspresi-ekspresi yang menunjukkan kekacauan batin juga dinilai negatif. Maka dari itu karena
sebuah alasan perilaku meminta maaf merupakan suatu tindakan yang membutuhkan ekspresi dan juga melibatkan perasaan bersalah, malu serta
bertanggung jawab, perilaku meminta maaf dapat dianggap hal yang negatif bagi orang Jawa.
Suseno 1985 juga menyebutkan bahwa berpura-pura adalah suatu seni yang dianggap memiliki nilai positif bagi masyarakat Jawa. Atas sebab
orang Jawa meyakini bahwa perilaku berpura-pura dalam budaya Jawa dinilai positif, maka jarang sekali perilaku meminta maaf dinilai tulus
karena perilaku meminta maaf yang dimunculkan hanyalah sebatas kata- kata namun tidak melibatkan perasaan seperti rasa bersalah, rasa malu dan
rasa akan bertanggung jawab. Terkait dengan prinsip kedua yang disebutkan oleh Handayani
2004 diatas, prinsip yang diluhurkan bagi orang Jawa yang kedua adalah prinsip kehormatan. Hal ini diwujudkan oleh orang Jawa dalam berbicara
dan membawa dirinya harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip ini juga berpendapat bahwa semua
hubungan dalam masyarakat diatur secara hierarkis. Oleh karena prinsip
hormat yang ditekankan pada budaya Jawa, maka sering kali orang Jawa memunculkan perilaku meminta maaf untuk menunjukkan dirinya hormat
dan tunduk kepada orang diatasnya, namun sebaliknya karena prinsip hormat ini juga hanya bersifat hierarkis maka jarang sekali ditemukan orang
tua Jawa memunculkan perilaku meminta maaf kepada orang yang lebih muda.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dibuat alur berpikir sebagai berikut,
Tabel 1 Alur Berpikir
Ayah yang Bersuku Jawa
Perilaku meminta maaf kepada anak
Fungsi atau Manfaat: 1.
Memperbaiki relasi 2.
Menunjukan rasa hormat
3. Memperbaiki
masalah 4.
antisipasi masalah Aspek Meminta maaf :
1. Perkataan minta
maaf 2.
Kesadaran akan perasaan bersalah
3. Perasaan malu atas
perasaan bersalah Faktor yang
mempengaruhi : 1.
Kekuatan Sosial
2. Jarak Sosial
3. Jenis Kelamin