Gugus Kebijakan Pemilu
2.3.2. Gugus Kebijakan Pemilu
Untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang selaras dengan prinsip dan asas demokrasi, diperlukan serangkaian peraturan perundang-undangan. Dalam konteks Indonesia,
20 Kendati UU Penyiaran No. 322002 telah memuat sejumlah batasan (Pasal 18) dan melarang kepemilikan silang, namun Peraturan Pemerintah No. 502005 gagal mendukung kebijakan tersebut. Lihat NUGROHO, Y.,
SIREGAR, M. F. LAKSMI, S. (2012b) Mapping Media Policy in Indonesia. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia.
peraturan itu diperlukan untuk menjamin pemilu berlangsung dalam koridor nilai LUBER: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, serta menjunjung kejujuran dan keadilan. Mekanisme penyelenggaraan pemilu di Indonesia pada era Orde Baru dapat dikatakan tidak bebas dari asas LUBER karena terjadi sejumlah intervensi yang mengerdilkan semangat demokrasi. Namun, pasca-Reformasi terjadi sejumlah regulasi pemilu mengalami perbaikan, termasuk di dalamnya terkait dengan kampanye. 21
Sejak dilaksanakan pertama kali pada 1955, tatanan rujukan hukum terkait penyelenggaraan Pemilu telahbanyak mengalami perubahan. Sebelum era Reformasi, perubahan banyak terjadi pada level Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan atas undang-undang. Namun sejak dimulainya era Reformasi, undang-undang tentang Pemilu senantiasa mengalami pergantian pada setiap periode pelaksanaannya. Dengan sistem yang belum baku dan berpotensi terus berubah, salah satu cara untuk memahami aturan main proses Pemilu Indonesia adalah dengan mencermati gugus peraturan terbaru. Adapun gugus peraturan yang dapat dijadikan pegangan untuk Pemilu biasanya diatur dalam sebuah paket peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR – yang dikenal dengan
Paket UU bidang Politik. 22
Secara umum kebijakan terkait Pemilu dan penyelenggaraannya, sebagaimana kebijakan yang lain, diatur secara hierarkis di dalam 3 level: konstitusi atau undang-undang dasar, undang-undang, dan peraturan pelaksanaan. Pada tingkat pertama, konstitusi menetapkan lembaga negara yang para pejabatnya dipilih melalui proses Pemilu, menetapkan asas dan prinsip penyelenggaraan Pemilu serta memberi mandat kepada lembaga penyelenggara untuk melaksanakan Pemilu. Pada tingkat kedua, UU menetapkan tujuan Pemilu, penggunaan sistem pemilihan, tata cara pelaksanaan, serta memberi jaminan agar peraturan yang ada dijalankan. Pada tingkat ketiga, peraturan teknis memberikan prosedur serta rambu-rambu teknis penyelenggaraan Pemilu.
Dalam tataran pertama, UUD 1945 Pasal 22(E) yang berbunyi memberi penegasan mengenai penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat ditunjukkan dari bunyi pasal tersebut,
Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Pada level undang-undang, Paket UU bidang Politik menjadi pegangan untuk penyelenggaraan. Sementara pada level peraturan pelaksanaan, peraturan-peraturan KPU bersama badanlembaga terkait menjadi rujukan untuk penyelenggaran Pemilu dan hal-hal terkait lainnya. Tabel 2-2 di bawah ini menunjukkan Paket UU bidang Politik bersama sejumlah peraturan pelaksana Pemilu yang pada tulisan ini dibuat masih menjadi rujukan – kendati tidak dimaksudkan untuk memberikan daftar lengkap.
21 Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri pada 2004, beberapa UU Pemilu telah mengalami judicial review sehingga kemudian mempengaruhi proses maupun penyelenggaraan pemilu pada periode setelahnya.
22 Mengingat penyelenggaraan Pemilu yang memang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terikat dengan lembaga atau kegiatan kenegaraan lain. Demikian, keberadaan UU Pemilu pun terkait dengan UU lain: UU
partai politik, UU lembaga yang pejabatnya dipilih melalui Pemilu, UU lembaga negara yang ikut terlibat dalam menentukan hasil Pemilu, dan UU pemerintahan daerah khusus yang mengatur pemilihan kepala daerahnya secara khusus pula.
Tabel 2-2 Kebijakan seputar Pemilu di Indonesia
1 UU Pemerintahan Daerah No. 122008 Pemerintahan Daerah, Pemilukada (sebagai perubahan atas UU Pemerintahan Daerah No. 322004)
2 UU Partai Politik No. 22011 (sebagai Partai Politik, Pendidikan politik perubahan atas UU Partai Politik No.22008)
3 UU Penyelenggara Pemilu No. 152011
Tugas KPU, Bawaslu, dan Panitia Penyelenggara tingkat daerah
4 UU Pemilu Legislatif No. 82012
Tentang tahapan Pemilu anggota DPR- DPD-DPRD, Kampanye
5 UU Pemilu Presiden dan Wapres No. 482008
6 UU No. 272009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
7 PKPU No.152013 (sebagai perubahan atas Pedoman pelaksanaan kampanye PKPU No. 12013)
Pemilu anggota DPR-DPD-DPRD
8 PKPU No. 212013 (sebagai perubahan Mengenai tahapan, program, dan keenam atas PKPU No. 72012)
jadwal
penyelenggaraan Pemilu
Legislatif
Sumber: Penulis, dari berbagai sumber
Dalam kaitan dengan tumbuhnya minat menggunakan TV sebagai kanal utama penayangan iklan kampanye politik – termasuk kemungkinan kandidat atau partai politik mengeksploitasi media untuk mencapai tujuan (Thompson, 1995, Croteau and Hoynes, 1997) – sejumlah perundangan yang dibuat di atas berfungsi tidak hanya sebagai penjamin kegiatan Pemilu terlaksana dengan baik. Secara tidak langsung, sejumlah perundangan tersebut juga diharapkan mampu memastikan sifat kepublikan media serta mempertahankan media sebagai pilar keempat demokrasi. Adapun, secara spesifik ketentuan yang mengatur penggunaan media siar ini dirumuskan di dalam UU No. 8 tahun 2012 dan peraturan-peraturan turunannya.
Kebijakan-kebijakan seputar Pemilu, secara normatif telah berada di koridor yang benar dalam upaya memastikan metode pokok demokrasi ini dijalankan secara teliti. Akan tetapi, kebijakan yang ada gagal dalam menyediakan definisi yang jelas dan operasional mengenai iklan kampanye politik sehingga berpotensi menurunkan kualitas Pemilu. Tatanan rujukan hukum terkait penyelenggaraan Pemilu juga belum baku, senantiasa berubah pada setiap periode pelaksanaan Pemilu. Belum stabilnya sistem ini tentu tidak sehat, mengundang pihak-pihak yang memang mencari keuntungan untuk terus memainkannya.
Pada akhirnya, problem dalam mengontrol ranah ini tidak semata terbatas pada kurangnya kebijakan, tetapi juga lemahnya koordinasi antar lembaga regulator serta rapuhnya supremasi hukum – sehingga memudahkan para pelanggar untuk terus berkelit.