Melibatkan Pihak Ketiga dalam Proses Penyusunan Strategi Komunikasi Parpol di Televisi
5) Melibatkan Pihak Ketiga dalam Proses Penyusunan Strategi Komunikasi Parpol di Televisi
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu masalah yang dihadapi parpol adalah institusionalisasi parpol yang buruk yang berimbas pada, salah satunya, keterbatasan kader internal parpol untuk menyusun strategi komunikasi di televisi. Di sinilah pihak ketiga seperti konsultan politik, agensi media, atau rumah produksi, mengambil peran besar. Konsultan politik akan merumuskan narasi dan pesan yang ingin disampaikan kepada publik dan menyusun kerangka besar sebuah strategi komunikasi. Sebelum hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka konsultan politik akan terlebih dahulu membuat pemetaan terhadap variabel-variabel yang akan memengaruhi narasi, strategi dan program komunikasi yang akan dijalankan. Pemetaan tersebut dapat dilakukan melalui riset, baik secara kuantitatif (survei) atau secara kualitatif (wawancara atau focus group discussion (FGD)). Pemetaan berbasis riset ilmiah inilah yang membedakan cara kerja konsultan politik dengan tim sukses (timses) biasa.
Kita [konsultan] menjual ide, menjual otak, melakukan riset, melakukan perumusan strategi, dan kemudian melakukan pendampingan dari eksekusi-eksekusi yang dilakukan oleh pihak-pihak ketiga, that’s it tugas konsultan. (Yunarto Wijaya, Charta Politika, wawancara, 01112013)
Di banyak kasus, konsultan seakan mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh parpol, termasuk dalam perancangan strategi komunikasi. Jika pada masa lalu organ parpol seperti Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Humas, atau Divisi Agitasi dan Propaganda (biasanya terdapat dalam struktur partai dengan ideologi komunisme seperti PKI) memiliki peran yang sangat vital dalam merumuskan isu yang akan diusung atau pesan persuasi yang akan dilemparkan kepada pemilih, saat ini fungsi tersebut telah mulai berpindah kepada konsultan atau agensi, yang hanya berkoordinasi dengan segelintir petinggi partai (umumnya pada tingkat ketua umum). Bahkan dalam beberapa kasus, konsultan hanya berkoordinasi dengan pemodal yang akan membiayai iklan atau kampanye tersebut. 54
Saya selalu mencoba menihilkan peran partai [dalam pembuatan strategi komunikasi]. Jadi kita [konsultan] langsung dengan, katakan lah, misalnya buatkan iklan untuk partai gitu ya. Kita minta stakeholder... shareholder-nya deh bahkan, shareholder tuh dalam arti, lo yang punya uang, lo kalau tidak ketua umum, atau lo sekjen, atau lo ketua Bapilu kalau dalam konteks struktur, atau lo yang cukongin ya sudah kita tidak bisa menolak kalau yang cukongin gitu, that’s it. Kita biasanya batasin disitu.” (undisclosed, wawancara)
Konsultan juga tidak hanya berperan dalam pemetaan atau perumusan ide, tetapi juga melakukan produksi dan pemasangan iklan (dan alat sosialisasi lainnya), mengorganisasi tim pemenangan, melakukan pelatihan saksi, hingga melakukan fungsi advokasi bagi kliennya. Sejatinya, hal-hal tersebut dilakukan oleh parpol, namun kapabilitas, mesin organisasi dan institusionalisasi parpol di Indonesia memang sangat rapuh sehingga fungsi-fungsi tersebut saat ini di-subkontrak-kan (outsource) kepada konsultan yang memang ahli dan profesional di bidangnya. 55
54 Peneliti lain juga pernah mengungkapkan hal senada di mana beberapa fungsi partai, khususnya komunikasi, telah diambil alih oleh konsultan politik atau agensi iklan yang kemudian berujung pada
professionalisation atau commercialisation of political campaign (lihat Ufen (2010) dan Qodari (2010).
55 Lihat Ufen (2010) dan Qodari (2010)
Boks 3. Mengapa Konsultan Politik Tidak Sebatas Memberikan Nasihat Politik?
Ada alasan menarik mengapa banyak konsultan politik mengambil alih fungsi-fungsi lain yang biasanya dilakukan oleh kader internal parpol, khususnya dalam produksi dan pemasangan iklan serta alat sosialisasi lainnya. Alasannya karena karakteristik konsumen jasa konsultan politik kebanyakan belum bisa menghargai mahalnya harga sebuah ide, dan hal ini memaksa konsultan politik mengambil “lahan garapan” lain yang memang mendatangkan rezeki yang lebih banyak, misalnya terlibat dalam media placement atau produksi dan pemasangan baliho, papan reklame, spanduk dan bahkan mobilisasi massa.
Kondisi demikian berkontribusi pada terciptanya ‗Amerikanisasi‘ kampanye politik, di mana peran vital partai politik dalam proses perumusan dan diseminasi pesan politik untuk memengaruhi pemilih mulai berpindah ke tangan konsultan yang umumnya non-partisan dan non-kader (Doolan, 2009, Negrine and Papathanassopoulos, 1996a, Ufen, 2010).
Namun demikian, tidak semua partai mengalami kondisi seperti yang telah disebutkan di atas. Sebagai contoh, Gerindra melakukan sentralisasi perumusan strategi dan eksekusi pembuatan iklan melalui struktur organisasi di dalam kepartaiannya. Gerindra memiliki satu departemen khusus yang menangani media, baik media berbayar ataupun tidak berbayar, yang dipimpin langsung oleh Fadli Zon (Wakil Ketua Umum Gerindra). Departemen inilah yang kemudian merumuskan strategi komunikasi Gerindra dan untuk eksekusinya dilakukan oleh kader Gerindra sendiri. Departemen ini juga yang menggarap strategi komunikasi Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Gerindra) sebagai calon presiden, pusat media (media centre) Gerindra dan tim komunikasi media sosial yang dipimpin oleh Dirgayuza Setiawan yang juga adalah kader Gerindra. Gerindra bahkan memiliki desk hukum yang akan melakukan pengecekan akhir materi yang akan disampaikan partai dalam iklan yang akan dipasang ditelevisi. Pengecekan akhir ini diperlukan agar isi materi yang akan disampaikan oleh Gerindra tidak menyalahi aturan yang berlaku. Demikian pula dengan PDIP di mana setiap pernyataan politiknya, termasuk yang melalui iklan, merupakan hasil perenungan internal dan diputuskan oleh DPP setelah mendapat persetujuan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Fungsi berikutnya yang juga dilimpahkan kepada pihak ketiga adalah produksi dan pemasangan iklan politik. Dalam proses ini yang banyak mengambil peranan adalah rumah produksi dan agensi periklanan. Adapula konsultan politik seperti Fox Indonesia yang menyediakan jasa one stop service di mana selain memberikan saran untuk strategi politik, mereka juga menggarap produksi dan pemasangan iklan parpol di televisi. Namun untuk beberapa konsultan politik seperti Cyrus Network dan Charta Politika, peran mereka dalam proses ini hanya sebatas pada supervisi dan memberi masukan agar iklan yang diproduksi sesuai dengan citra dan pesan yang ingin disampaikan.
...Atau yang kedua ketika pembuatan iklan hanya melakukan proses mensub [kontrak] PH, production house saja, atau menyewa EO saja, yang akhirnya itu diserahkan begitu saja dalam konteks kerjasama mensubkan yang terjadi adalah ada missed antara strategi yang dibuat dengan pola pikir politik, dengan pola pikir yang berbeda yang dimiliki pihak ketiga tadi. Yang terjadi akhirnya kita sering bilang, iklan-iklan ini cenderung keluar begitu saja tanpa ada arahan strategi yang kuat. Tidak sesuai dengan hasil survey yang dibuat misalnya. Tidak sesuai dengan arahan rekomendasi survey yang dibuat misalnya... itu lah yang menyebabkan akhirnya iklan-iklan seperti menjamur tapi akhirnya seperti terlihat effectual paper saja. (Yunarto Wijaya, Charta Politika, wawancara, 01112013)
… [K]alau itu [iklan di televisi] bukan produk utama, bukan produk konsultan politik. Itu harusnya produk production house iklan, agency lah, agency iklan. Kalau konsep dan ide … [K]alau itu [iklan di televisi] bukan produk utama, bukan produk konsultan politik. Itu harusnya produk production house iklan, agency lah, agency iklan. Kalau konsep dan ide
Dalam proses kreatif pembuatan iklan televisi parpol atau tokoh politik, rumah produksi atau agensi pembuat iklan akan memanfaatkan masukan yang sudah mereka dapatkan baik dari konsultan politik ataupun dari riset mandiri dimasing-masing perusahaan. Seringkali terjadi perdebatan dalam proses pembuatan storyboard sebuah iklan di mana konsultan politik berupaya untuk menekankan aspek politik dari sebuah iklan, namun disisi lain, rumah produksi atau pembuat iklan mengutamakan aspek estetika yang menjadi ―selera pasar‖. Dalam proses ini, seringkali logika kreatif pembuat iklan yang pada akhirnya menjadi keputusan akhir dalam pembuatan iklan.
Memang harus kita akui kadang kala ketika dalam proses brainstorming, seorang periset, sebuah lembaga konsultan politik, ketika merumuskan iklan yang harus dibuat pada akhirnya harus sering mengalah dengan logika-logika yang dimiliki oleh para pembuat iklan. Karena mereka biasanya lebih bisa menjelaskan secara estetika apa yang disukai pasar, secara logic apa yang dimaui oleh pasar, sehingga pada akhirnya kita juga seringkali tidak bisa memaksakan logika-logika yang ada di atas kertas yang didasarkan riset tadi. Karena begitu bicara iklan memang kita bicara mengenai estetika, ada sisi emosional secara estetika yang itu kita harus akui kadang kala tidak kita dapatkan dari riset-riset kita yang tulisan “kering” gitu. (Yunarto Wijaya, Charta Politika, wawancara, 01112013)
Memang terlalu berlebihan apabila menyimpulkan bahwa semua iklan parpol tunduk pada logika pasar. Iklan-iklan yang dibuat oleh beberapa parpol seperti PDI-P menunjukkan bahwa parpol tersebut berupaya untuk memasukan unsur ideologi dan platform partainya. 56
[Membicarakan iklan PDI- P “Indonesia Hebat”] ...Ada dong (hubungannya), misalnya
Indonesia hebat, itu kan implementasi dari Trisakti 57 , ya toh? berdaulat di bidang politik,
berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan, itu kan Indonesia hebat itu kalau kita berdaulat secara politik. (Dedi, PDIP, wawancara, 5122013)
Akan tetapi, tetap sulit untuk membedakan iklan PDIP tersebut dengan iklan partai lain yang juga mengusung tema nasionalisme dan pluralisme seperti yang bisa diamati dalam iklan Prabowo dan Gerindra versi ―Untuk Indonesia Bangkit 2014‖. 58 Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila kebanyakan iklan politik memang dibuat semata-mata untuk menarik minat penontonnya untuk ―membeli‖ pesan yang ditawarkan dalam iklan tersebut, bukan memberikan pendidikan politik atau menghadirkan diskursus didalam masyarakat 59 .
56 Lihat http:www.youtube.comwatch?v=x12dJsPQ9GA (diakses 20 Februari 2014) 57 Trisakti secara implisit termaktub dalam visi dan misi PDI-P. Lihat
http:www.pdiperjuangan.or.idindex.php?option=com_contentview=articleid=135Itemid=91 (diakses
20 Februari 2014) 58 Lihat http:www.youtube.comwatch?v=WfaTjp8Qj_slist=PL2D0FAC2033D9CEBA (versi panjang, diakses
20 Februari 2014) 59 Sebagai contoh bandingkan dengan iklan-iklan kampanye politik di Amerika Serikat, lihat http:www.npr.orgblogsitsallpolitics201312012473468585-most-memorable-political-ads-of-2013 (diakses 20 Februari 2014)
Dapat disimpulkan bahwa untuk kasus iklan parpol di televisi Indonesia, pesan yang disampaikan dalam iklan bukan ditentukan semata-mata oleh parpol berdasarkan ideologi, visi, misi atau platform partai akan tetapi lebih menyesuaikan dengan ―selera pasar‖.