Perubahan Lanskap Media dan Moda Komunikasi Parpol: Beberapa Implikasi

7.2. Perubahan Lanskap Media dan Moda Komunikasi Parpol: Beberapa Implikasi

  Mengkaji perubahan strategi komunikasi partai-partai politik di Indonesia, terutama periode setelah reformasi, barangkali menjadi salah satu topik yang menarik dalam studi komunikasi politik. Mencermati bagaimana peralihan peran dari elemen-elemen internal parpol ke elemen eksternal dan bagaimana lanskap media turut memengaruhi evolusi itu, publik lantas dapat menilai sejauh mana janji reformasi telah berhasil diimplementasikan dalam entitas politik dan media serta sejauh mana keterkaitan antar keduanya berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat dan individu.

  Di satu sisi, menjelang pemilihan umum adalah lazim bagi parpol untuk melakukan aneka macam jenis komunikasi terhadap warga, mulai dari spanduk, selebaran, sampai iklan di media siar. Secara spesifik, parpol semakin gemar beriklan melalui televisi karena televisi adalah media yang paling banyak menjangkau masyarakat. Pada sisi yang lain, secara samar-samar publik sadar dan gusar bahwa ada segelintir aktor politik yang menggunakan televisi sebagai sarana manipulasi. Diskursus mengenai peran media sebagai pembentuk ―hidup bersama‖ (Habermas, 1987, Habermas, 1984) pun makin pudar di tengah banyaknya diskusi hangat mengenai keterkaitan media dan kuasa tersebut.

  Berdiri memperhatikan kedua titik tersebut, negara beserta perangkatnya harus mampu menjamin keberadaan media adalah untuk melayani kepentingan publik, bukan menjadi corong segelintir orangkelompok. Lebih lanjut, negara harus mampu mengembalikan iklim politik agar dijalankan dengan sehat dan penuh etika.

7.2.1. Implikasi terhadap Kebijakan

  Terkait dengan kebijakan media, perkembangan media tidak diragukan lagi akan terus menimbulkan berbagai tantangan baru. Menilik kapitalisasi media dan konsentrasi Terkait dengan kebijakan media, perkembangan media tidak diragukan lagi akan terus menimbulkan berbagai tantangan baru. Menilik kapitalisasi media dan konsentrasi

  Sementara dalam hal kebijakan seputar Pemilu, aneka kampanye terselubung yang terjadi selama ini tidak diragukan lagi menunjukkan lemahnya kerangka regulasi. Aneka praktik buruk dalam pemanfaatan televisi dan okupasi layar kaca untuk politik, seperti yang telah dijabarkan berbagai pihak, menunjukkan perlunya pemerintahan yang cakap dan rasional (knowledgable governance) (Parsons, 1995: 427). Institusi-institusi yang bertanggung jawab, terutama Komisi Penyiaran Indonesia, Bawaslu, dan KPU, harus terus-menerus secara transparan mempublikasikan pelanggaran-pelanggaran yang ada dalam laporan-laporan tahunan mereka. Bagaimanapun, publik berhak mengetahui informasi tersebut. Dalam tataran penegakan hukum, negara serta perangkatnya perlu bekerja dalam kerangka kerja yang jelas dan tegas untuk menjamin Pemilu terselenggara secara sehat. Tatanan rujukan hukum tentang penyelenggaraan Pemilu yang terus berubah setiap pelaksanaannya juga menjadi catatan tersendiri.

  Demikian, penelitian ini mengingatkan agar dalam merespon perubahan moda strategi komunikasi parpol – terutama di media siar – semangat UU Penyiaran perlu selalu dipertimbangkan, persis karena sifat publik yang ada dalam spektrum frekuensi yang dipergunakan. Dalam hal ini, harus ada sebuah organisasi publik yang independen yang memiliki mandat berdasarkan hukum untuk menjamin konten media yang sehat—tanpa membahayakan kebebasan media dan pers. Sementara itu, untuk menghindari sengketa yang tidak berujung, UU Pemilu perlu direvisi dengan memasukkan perspektif serta definisi yang jelas perihal kampanye.

7.2.2. Implikasi terhadap Praktik-praktik dalam Politik

  Beralihnya fungsi strategis perancangan strategi komunikasi parpol ke tenaga profesional akan memperlemah upaya institusionalisasi parpol di Indonesia. Alih-alih memaksimalkan potensi yang dimiliki kader parpol, para pimpinan partai memilih untuk menggunakan jasa konsultan profesional yang notabene adalah non-partisan. Dalam kondisi ini, ada kondisi kementakan di mana ideologi partai menjadi hal yang kurang menjadi perhatian di hadapan para tenaga profesional. Sebabnya adalah dalam pembuatan strategi komunikasi, mereka disinyalir lebih termotivasi untuk mengupayakan agar suatu iklan diterima ―selera pasar‖ sehingga dapat memengaruhi target audiens seluas-luasnya.

  Terkait dengan hal ini pula, kecenderungan parpol untuk mengandalkan media dalam membangun relasi dengan calon pemilih berarti upaya untuk membangun relasi organik antara kader parpol dengan calon konstituen seakan-akan telah di-bypass demi tujuan jangka pendek - pemenangan pemilu. Dalam jangka panjang, situasi ini akan merugikan parpol sendiri dan terus melemahkan daya pikat mesin organisasi politik. Pada kondisi inilah lantas ―lingkaran setan (vicious circle)‖ terjadi. Ketika pada akhirnya, parpol yang terus melemah ini kembali dihadapkan pada dorongan dan tantangan untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu, parpol itu kembali terpaksa untuk mengandalkan televisi (dan para konsultan profesional) sebagai cara instan memikat pemilih.

  Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat potensi besar akan penggunaan televisi secara massif. Pemanfaatan tersebut tidak hanya melalui iklan partai politik saja, namun

  Praktik-praktik penggunaan televisi oleh parpol juga berpotensi menghasilkan politik berbiaya tinggi. Hal ini dilatarbelakangi oleh biaya produksi dan pemasangan iklan televisi yang sangat mahal. Biaya yang harus dikeluarkan untuk penayangan iklan pada periode prime time dapat mencapai 55 juta rupiah per tayang per stasiun televisi. Demikian, jika parpol berniat untuk terus mengandalkan iklan televisi, maka parpol harus mencari sumber pendanaan yang luar biasa besar. Lantaran subsidi negara untuk parpol tergolong minim, politik berbiaya tinggi ini pada akhirnya berpotensi menimbulkan praktik korupsi di masa mendatang.

7.2.3. Implikasi terhadap Hak Warga Negara

  Satu hal yang harus dicermati juga adalah kadar kualitas pendidikan politik masyarakat yang perlu dipertanyakan. Memang ada elemen pendidikan politik yang terkandung dalam suatu iklan politik. Namun, pendidikan politik yang baik tidak bisa diperoleh dalam 30 detik penayangan iklan di televisi karena waktu yang tersedia sangat terbatas untuk menyampaikan pesan pendidikan politik, khususnya untuk menggugah daya berpikir kritis audiensnya.

  Implikasi yang paling nyata adalah eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh si pemilik media untuk mencapai kepentingan politiknya. Media tidak lagi menjadi sumber informasi yang berimbang, jujur dan adil, namun telah beralih fungsi sebagai corong kepentingan politik si pemilik media. Rendahnya identifikasi masyarakat terhadap parpol tertentu turut memengaruhi parpol untuk mengandalkan cara-cara instan melalui kampanye di televisi untuk melancarkan persuasi kepada calon pemilh, karena dianggap cara inilah yang paling cepat, memiliki daya jangkau yang luas, dan relatif lebih mudah dilakukan ketimbang mengorganisasi mesin parpol yang sedemikian besarnya.