Perang Simbolik antar Kekuatan Ekonomi Politik di Layar Kaca

6.1. Perang Simbolik antar Kekuatan Ekonomi Politik di Layar Kaca

  Tidak dapat disangkal, kejatuhan pemerintah Soeharto pada Mei 1998 telah menjadi titik balik penting dalam upaya demokratisasi di Indonesia. Banyak sektor mengalami perubahan, tidak terkecuali dalam ranah media. Sejak Reformasi 1998, bisnis media di Indonesia berkembang sangat pesat seiring dengan mudahnya pemberian ijin mendirikan perusahaan media. Jumlah media cetak meningkat hampir tiga kali lipat sementara

  69 Lihat http:www.gatra.comnusantara-1nasional-145517-kpi-didesak-tindak-stasiun-tv-pengabdi- parpol.html, diakses pada 6 Maret 2014

  70 Lihat http:www.tempo.coreadnews20140228269558171Moratorium-Kampanye-Mulai-Diterapkan, diakses pada 6 Maret 2014

  tidak terhindarkan dari kepentingan modal yang mendorong perkembangan industri media (Nugroho et al., 2012a). Tabel berikut menggambarkan lansekap industri media kontemporer di Indonesia dikendalikan oleh dua belas kelompok besar yang bertahan dengan melakukan ekspansi dan konglomerasi.

  Tabel 6-1 Kelompok Media Besar di Indonesia: 2011

  Bisnis lain Cetak a Daring Pemilik

  1 Global Mediacomm (MNC)

  20 22 7 1 Produksi Konten, Distribusi

  Hary

  Konten, Managemen Artis

  Tanoesoedibjo

  Produksi Kertas,

  2 Jawa Pos Group

  20 na

  1 Percetakan, Pembangkit

  Dahlan Iskan,

  Listrik

  Azrul Ananda

  3 Kelompok Kompas Gramedia

  Properti, Jaringan Toko

  10 12 88 2 Buku, Manufaktur, Event

  Jacob Oetama

  Organiser, Universitas

  4 Mahaka Media

  Event Organiser,

  Abdul Gani, Erick

  Group

  2 19 5 na

  Konsultan Humas

  Thohir

  5 Elang Mahkota

  3 na

  1 Telekomunikasi dan solusi

  Jasa Keuangan, Gaya

  6 CT Corp

  2 na

  1 Hidup dan Hiburan, Sumber Daya Alam,

  Chairul Tanjung

  Properti Sumber Daya Alam,

  7 Visi Media Asia

  2 na

  1 Penyedia Jaringan,

  Bakrie Brothers

  Properti

  8 Media Group

  1 na

  3 na

  Properti (Hotel)

  Surya Paloh

  9 MRA Media

  na

  11 16 na

  Retail, Properti, Makanan

  Adiguna Soetowo

  Minuman, Otomotif

  Soetikno Soedarjo

  10 Femina Group

  na

  2 14 na

  Agensi Model, Penerbitan

  Pia Alisjahbana

  11 Tempo Inti Media

  1 na

  3 1 Pembuatan Dokumenter

  Yayasan Tempo

  Beritasatu Media

  Properti, Jasa Kesehatan,

  12 Holding

  2 na

  10 1 TV kabel, Penyelenggara

  Lippo Group

  Internet, Universitas

  a Merupakan bisnis yang dikelola oleh pemilikkelompok pemilik yang sama. Sumber: Nugroho et al. (2012a:39)

  Dalam konstelasi tersebut, tercatat sebagian dari pemilik dua belas grup media telah menggunakan media mereka untuk membangun opini politik. Setidaknya tiga dari dua belas kelompok media tersebut dimiliki oleh aktor politik, yaitu Aburizal Bakrie pemilik Visi Media Asia, Surya Paloh pemilik Media Group, serta Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group.

  71 Peningkatan penyiaran televise ini tidak termasuk 20 stasiun TV lokal. Lihat LAKSMI, S. HARYANTO, I. (2007) Indonesia: Alternative Media Enjoying a Fresh Breeze. IN SENEVIRATNE, K. (Ed.) Media Pluralism in Asia:

  The Role and Impact of Alternative Media. Asian Media and Information Centre.

  Ketiga sosok ini bahkan memegang peran kunci dalam partai-partai politik terkait. 72 Pengaruh dari struktur kepemilikan ini mengkhawatirkan, terutama ketika mereka

  menggunakan kekuasaannya di media untuk kepentingan politik pribadi, terutama di televisi.

  Temuan dari proses pengamatan terhadap 10 stasiun televisi swasta bahkan menunjukkan politisasi media oleh pemilik dan parpol telah melampaui batasan tradisional. Kini, tidak hanya program berita dan iklan yang memuat figur-figur politisi cum pemilik, melainkan mulai masuk ke dalam kategori program tontonan yang lain. Perlombaan ini telah membuat warga dapat menemukan sosok-sosok politik di dalam sebuah sinetron, kuis, acara musik, iklan niaga, maupun dalam program-program hiburan lain. Kehadiran para sosok secara intens dalam ruang-ruang privat itu tidak lain dimaksudkan agar warga lebih kuat dalam mempersepsi figur politik tertentu (Scheufele, 2000). Kemampuan besar para pemilik untuk mengokupasi pilihan-pilihan tayangan warga tanpa sadar – dan barangkali tanpa pilihan untuk menolak – ini tentu mencerminkan kekuasaan para pemilik dalam ranah simbolik (Thompson, 1995:16-17).

  Riset ini juga menemukan bahwa partai-partai politik yang memiliki kedekatan dengan televisi tertentu pun ditemukan lebih mampu menayangkan iklannya secara konstan sepanjang hari, baik pada periode prime time dan normal (lihat sub-bab 5.2). Selain itu, mereka juga mampu memasang iklan dengan durasi yang lebih panjang. Dengan hal ini, tidaklah berlebihan jika disebut bahwa mereka telah frekuensi seakan-akan merupakan milik pribadi, demi kepentingan sendiri. Bagaimana para pemilik sekaligus politisi ini membangun opini publik melalui media yang mereka miliki barangkali dapat dijelaskan dengan ―Teori Jarum SuntikHypodermic Needle Theory‖ (Croteau and Hoynes, 1997) 73 .

  Sentralisasi kepemilikan dan penguasaan media untuk kepentingan pribadi tentu memiliki dampak serius dalam upaya mendorong demokratisasi. Media yang semakin sentralistik akan berakibat pada penyempitan jangkauan informasi dan berpotensi menghasilkan manipulasi kekuasaan politik sehingga warga tidak lagi mampu terlibat aktif dalam aneka proses deliberasi publik (Habermas, 2006, Habermas, 1989). Dalam jangka panjang, sentralisasi ini tidak hanya menyajikan refleksi yang seragam tentang dinamika warga (Nugroho et al., 2013), namun juga akan mematikan demokrasi (Bagdikian, 2004).

  Kecenderungan akan bias pemberitaan yang diperkuat dengan konstruksipenyertaan sejumlah penilaian atas realitasfakta berita yang disajikan inilah yang menjadikan media turun derajatnya menjadi sekadar alat kuasa. Di sinilah, kita lantas dapat memahami gagasan Croteau dan Hoynes (1997) yang menyebut konglomerat media – apalagi yang berafiliasi dengan parpol – sungguh memiliki potensi menghalangi proses politik dalam demokrasi yang bebas karena menggunakan media mereka untuk keuntungan politis sendiri. Situasi ini, dalam gagasan Herman dan Chomsky (1988) telah mengubah sektor

  72 Bakrie adalah ketua Golongan Karya (Golkar), Paloh adalah pemimpin Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Hary Tanoesoedibjo baru-baru ini pindah dari Partai Nasional Demokrat ke Hati Nurani Rakyat (Hanura),

  pimpinan Jenderal Wiranto. Tiga sosok ini menguasai hampir semua format media yang ada di Indonesia: media penyiaran, cetak, dan online.

  73 Teori ini mengatakan bahwa media ―menyuntikkan‖ isi ke dalam penonton pasif, yang kemudian menjadi terpengaruh.Teori ini berasumsi bahwa publik sebagai audiens tidak memiliki daya untuk melarikan diri dari

  pengaruh media. Model ini memandang bahwa publik menjadi rentan terhadap pesan karena keterbatasan akses ke sarana-sarana komunikasi dan konten (Croteau dan Hoynes, 1997). Kendati teori ini tidak secara luas diterima oleh akademisi, barangkali teori berlaku di dalam konteks Indonesia.

  Dalam kaitan dengan asas Pemilu, kepemilikan yang berujung pada dominasi iklan dan pemberitaan di layar kaca pada akhirnya juga menimbulkan pertanyaan mengenai penerapan asas JURDIL dalam kampanye. Parpol pemilik yang mengeksploitasi televisi, kendati menang Pemilu, akan memunculkan pertanyaan perihal legitimasi partai karena dianggap mencederai etika politik dalam sebuah kompetisi demokratis.

  Sebagaimana kemajuan industri media akan sangat terkait erat dengan sistem ekonomi politik (Mansell, 2004), perubahan apapun dalam ekonomi dan politik di negeri ini akan sangat memengaruhi industri medianya. Oleh sebab itu, sangat dipahami bahwa ‗perkawinan‘ antara politik dan bisnis dalam media telah mengubah warga negara menjadi melulu sebagai pemilih dalam kaitan dengan dinamika politik dan sebagai konsumen terkait dengan kepentingan bisnis.

  Kendati tampaknya seakan klise untuk beranggapan bahwa media memiliki kuasa (Curran and Couldry, 2003), namun secara umum media memiliki potensi untuk memengaruhi pemikiran audiens dalam batas-batas tertentu (McCombs and Shaw, 1972, Dijk, 1995). Demikian, media menjadi alat penting bagi mereka yang berhasrat besar pada kuasa atau media dapat berperan sebagai power generator yang mentransformasi sebuah pesan sederhana menjadi sesuatu yang jauh lebih kuat atau bahkan berbeda.

  Kuasa media ini secara lebih spesifik dapat ditunjukkan melalui penggunaannya dalam periode kampanye menjelang Pemilu. Dalam fase menyambut pesta demokrasi itu, penggunaan kanal-kanal media untuk kepentingan politik terlihat semakin telanjang bahkan sebelum masa kampanye dimulai. Gencarnya intensitas diseminasi pesan di dalam media ini yang diyakini turut memengaruhi persepsi khalayak (Atkin and Rice, 2012:10-11). Sebagai sarana terbaik dan paling efektif – karena jangkauan yang luas dan dalam kasus Indonesia, tingkat penetrasinya paling tinggi – televisi dieksploitasi untuk menyebarkan pesan langsung maupun ungkapan simbolis. Media, dalam hal ini televisi, tidak dielakkan merupakan arena perang simbolik. Setiap pihak yang memiliki kepentingan berlomba- lomba menonjolkan basis tafsir atau klaim masing-masing untuk membentuk opini publik.

  Parpol yang berafiliasi dengan stasiun TV tertentu pun memiliki keuntungan lebih. Di dalam banyak kasus, sikap politik media yang ditunggangi oleh kepentingan parpol tersebut terekspresikan baik di dalam muatan pemberitaan maupun program yang diusung – dan tidak jarang bahkan dilakukan dengan melanggar etika jurnalistik. Liputan tentang aktivitas politik dari pemilik media lantas menjadi hal yang penting. Beberapa media bahkan memiliki tim khusus untuk menyiarkan aktivitas politik tersebut (Nugroho et al., 2013).

  Kondisi sebagaimana digambarkan di atas, tentu membutuhkan kerangka kebijakan- kebijakan yang sehat sebagai locus terjadinya keterlibatan komunal yang sehat (Habermas, 2001). Tidak hanya kerangka kebijakan dalam sektor media, namun juga terkait dengan kerangka regulasi di ranah Pemilu. Dalam ranah media, menimbang bahwa ideal bonum commune dapat difasilitasi melalui media, maka kebijakan-kebijakan terkait media dibutuhkan untuk mencapai kebaikan bersama. Pemeliharaan media melalui kebijakan publik ini juga menjadi penting karena adanya bahaya akan penggunaan media demi kepentingan pribadi danatau golongan tertentu.