Politik dan Media: Berkomitmen pada Kepentingan Publik
6.6. Politik dan Media: Berkomitmen pada Kepentingan Publik
Kepentingan modal yang mendorong perkembangan industri media di Indonesia telah membawa konsekuensi yang tidak terhindarkan dalam wujud kecenderungan terhadap oligopoli (Nugroho et al., 2012a). Dalam konteks politik, dari dua belas konglomerat media yang tercatat di Indonesia, beberapa pemilik nyata-nyata telah menggunakan frekuensi publik sebagai corong politik mereka. Televisi, dalam hal ini, dianggap milik pribadi pemilik sehingga dapat digunakan seenaknya. Demikian, makna publik direduksi menjadi sebatas konsumen belaka. Pemanfaatan spektrum frekuensi semacam ini tentu tidak sesuai dengan konstitusi yang menegaskan bahwa frekuensi haruslah dipakai demi kepentingan publik alih-alih demi kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Tatkala kecenderungan oligopoli turut memengaruhi akses informasi warga, kondisi serupa juga menjadi hambatan bagi partai-partai politik untuk menerima ketersediaan akses setara dalam memberikan informasi kepada warga. Kebutuhan akses setara untuk memberikan informasi ini penting dalam menjamin tegaknya asas demokrasi. Dalam tataran kebijakan, ketiadaan definisi yang jelas mengenai kampanye turut menambah persoalan yang ada. Keberadaan ruang abu-abu ini memperkeruh akses yang setara, baik dari sudut pandang warga maupun para aktor politik.
Dari sudut pandang parpol, pilihan untuk menggunakan televisi sebagai corong utama komunikasi masif juga bukan tanpa persoalan. Dorongan penggunaan televisi ini sendiri tidak lepas dari kian lemahnya mesin parpol dalam menjangkau warga. Dalam konteks kampanye, peran parpol dalam menentukan strategi kampanye serta upaya eksekusinya sedikit banyak telah terambil alih oleh para konsultan politik. Perubahan ini, yang kini jamak menggunakan televisi sebagai kanal utama memiliki implikasi serius bagi warga.
Cara parpolkandidat dalam melakukan kampanye politik, yang cenderung berfokus pada branding tanpa memberikan pendidikan politik yang lebih luas pada warga tentu menimbulkan kegelisahan tertentu. Dalam kacamata ini, warga sebagai calon pemilih lebih dilihat sebagai ‗massa‘ dan angka alih-alih sebagai warga negara yang mempunyai hak pilih demokratis.
Perjalanan menuju ideal demokrasi masih panjang. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kaitan dengan kebijakan media dan penyelenggaraan Pemilu sebagai unsur-unsur kunci demokrasi, ada sejumlah hal yang patut diperhatikan, antara lain (i) bahwa penyediaan akses yang setara bagi para agensi perlu dijamin sehingga dapat berkontribusi pada terjadinya partisipasi berkualitas dalam menciptakan iklim ideal demokrasi; (ii) bahwa strategi komunikasi parpol tidak memberikan pemberdayaan pada warga melainkan masih terbatas pada pembangunan citra; (iii) bahwa dalam menjaga karakter publik media serta menjamin penyelenggaraan Pemilu yang LUBER, negara – melalui perangkat hukum dan regulasinya – belum menyediakan kerangka kerja yang jelas dan tegas sehingga kampanye tidak terlaksana secara sehat.
Menilik pada pemahaman yang paling umum, politik adalah ranah untuk mengatur ruang publik. Di dalamnya, diandaikan sebuah komitmen pada kepentingan publik. Komitmen pada kepentingan publik ini tentu senafas dengan raison d’etre media. Penggunaan media dalam politik, sejauh merefleksikan komitmen luhur tersebut, tentu akan berkontribusi besar pada penentuan hak dan partisipasi warga, kualitas demokrasi, serta legitimasi maupun legalitas kekuasaan dari pemerintah. Akan tetapi, ketika yang terjadi adalah pengingkaran terhadap komitmen itu, gagasan luhur tentang hidup bersama pun lantas perhalan-lahan memudar.
7.
Menjamin Hak Konstituen: Kesimpulan
Nah ini memang sebenarnya butuh apa ya namanya ya, [selain dari pihak-pihak yang
lain] butuh dari pengelola TV juga kalau memang niatnya kita ingin mensukseskan
pesta demokrasi ini lebih baik ya manfaatkan lah frekuensi itu untuk kepentingan
publik, bukan hanya untuk kepentingan golongannya itu saja (Agatha Lily, KPI, wawancara, 13022014)