Antara Kepentingan Publik dan Pemilik: Sebuah Refleksi di Layar Kaca

5.3. Antara Kepentingan Publik dan Pemilik: Sebuah Refleksi di Layar Kaca

  Dari analisis terkait iklan politik partai di bab sebelum ini, kami menemukan bahwa televisi yang pemiliknya terafiliasi dengan partai politik tertentu cenderung memasang iklan parpol di kelompok medianya dengan jumlah yang masif. Ini terlihat dari sebaran iklan Partai Hanura yang hanya terdapat di MNC Group (RCTI, Global TV,dan MNC TV), sebagaimana diketahui Hary Tanoesoedibjo pemilik ketiga stasiun televisi ini adalah juga Cawapres Partai Hanura. Iklan Partai Nasdem hanya tersebar di Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh yang juga Ketua Umum Partai Nasdem, dan iklan Partai Golkar di TV One dan ANTV yang dimiliki Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar.

  Untuk partai politik yang tidak memiliki afiliasi dengan pemilik televisi, kami menemukan iklan PAN, Gerindra, PDI Perjuangan, PKPI, dan Demokrat tersebar di 10 stasiun televisi yang diamati dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan partai yang memiliki afiliasi dengan pemilik stasiun televisi. Dalam konteks pemberitaan, kami menemukan pemilik televisi yang terafiliasi dengan partai tertentu seringkali menjadi subjek pemberitaan, baik itu sebagai narasumber dengan kutipan-kutipan pidato dengan durasi yang cukup panjang ataupun muncul dalam peliputan acara kegiatan internal partainya.

  Temuan ini menguatkan kebenaran persepsi umum dikalangan publik bahwa pemilik televisi yang juga adalah politisi telah menggunakan televisinya sebagai alat kampanye politik untuk meraih simpati publik. Sebab, apapun motifnya, pemberitaan partai politik, narasumber dan tayangan iklan politik di televisi haruslah dilihat dari sisi penggunaan frekuensi bahwa stasiun televisi merupakan media massa yang memiliki basis material gelombang elektromagnetik. Frekuensi sebagai sumber daya alam yang jumlahnya terbatas selayaknya digunakan untuk kepentingan warga, dan patut taat pada ketentuan yang berlaku, salah satunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 (UU Penyiaran) Pasal 36 ayat (4), yang mengatakan ―Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu‖. Begitu juga menurut Kode Etik Jurnalistik Pasal (1), ―Pers haruslah independen, menghasilkan berita akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.‖ Penjelasan berimbang yang dimaksud adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepadamasing-masing pihak secara proporsional.

  Dengan temuan yang telah dipaparkan di atas, media sebagai pilar keempat demokrasi yang diharapkan mampu menjadi platform watchdog terhadap kekuasaan seperti yang dikonsepkan Bill Kovach (2001) terancam gagal menjalankan fungsinya dengan baik, dan justru ter-reduksi maknanya menjadi sebatas penjaga kepentingan politik pemiliknya.

  Bertemunya kapital ekonomi dan kapital politik dalam bisnis media berdampak langsung pada kualitas ruang publik dan demokrasi. Hal pertama yang menjadi dampaknya adalah opini publik. Media massa rentan menjadi instrumen politik yang jauh dari publik namun dekat pada kepentingan politik pemiliknya. Media massa rentan diperalat untuk memperkuat citra politik pemiliknya atau merusak citra politik lawan politiknya. Dalam situasi misalnya Pemilu, hal ini sangat berbahaya bagi demokrasi (Kristiawan, 2013:149)

  Lebih lanjut, Kristiawan (2013) mengungkapkan gagalnya fungsi media sebagai watchdog disebabkan karena terjadinya konsentrasi kepemilikan media pada segelintir orangkelompok saja. Sementara kepemilikan media di Indonesia dimiliki hanya oleh 12 kelompok media, prinsip diversity of ownership dan diversity of content terancam tercederai (Nugroho et al., 2012a). Implikasinya, publik sebagai pemilik frekuensi disajikan tayangan

  Dalam konsep media sebagai ruang publik 67 , gagasan bahwa mengembalikan politik ke dalam komunikasi serta membuka kanal-kanal komunikasi antara pemerintah dan yang

  diperintah dapat mendekatkan arti normatif demokrasi (―pemerintahan oleh yang diperintah‖) tampaknya masih jauh dari ideal 68 , terutama ketika ‗dibenturkan‘ dengan

  temuan-temuan seperti yang dituliskan di atas. Dalam gagasan itu, idealnya aspirasi dan kehendak warga disalurkan melalui ruang-ruang publik (dalam hal ini televisi), kemudian aspirasi dan kehendak itu naik menuju ke sistem politik (yakni lembaga-lembaga parlementer) melalui prosedur-prosedur demokratis di mana aspirasi tersebut diputuskan dan diberlakukan secara legal. Kenyataannya, kita patut mempertanyakan aspirasi warga mana yang dimaksud? Apakah ketika Surya Paloh berpidato memberikan pandangan- pandangan retorisnya terhadap kebijakan pemerintah saat inidan diberitakan stasiun televisi miliknya, dapat dikatakan itulah aspirasi publik? begitu juga Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesudibjo seperti yang lazim kami temui dalam penelitian ini. Tentunya patut diperdebatkan, alih-alih aspirasi publik, justru yang terjadi adalah tersembunyinya aspirasi pemilik yang memiliki kuasa terhadap televisi dibalik istilah aspirasi publik. Maka patutlah kita bertanya, media sebagai ruang publik yang dapat diharapkan semua warga negara untuk menyalurkan aspirasi, justru telah dikuasai oleh individu-indvidu tertentu.

  Kualitas jurnalistik pun patut kita pertanyakan terutama kepada jurnalis ketika melihat temuan-temuan penelitian ini. Lazimnya pemberitaan mengenai partai politik yang terafiliasi dengan partai tertentu dan tampilnya pemilik media sebagai subjek pemberitaan, membuat kita bertanya apakah loyalitas jurnalis telah bergeser dari loyalitas yang seharusnya kepada warga negara (merujuk Kovach, 2001) menjadi loyalitas kepada pemilik media. jika yang terjadi adalah yang kedua, harapan warga akan media sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi tengah berada dalam ancaman.

  Selain itu, temuan dalam penelitian ini menguatkan gejala yang telah mengindikasikan bahwa media semakin berperan besar dalam lomba merengkuh kuasa. Ini terlihat dalam menguatnya peran televisi dalam perpolitikan dan masifnya iklan partai politik di stasiun televisi, baik yang terafiliasi dengan parpol maupun yang tidak terafiliasi dengan parpol. Manuel Castells (2010) menangkap gejala ini sebagai tanda munculnya era baru berpolitik, di mana media adalah ruang yang harus direbut untuk menanamkan pengaruh dan kuasa. Implikasi dari hal ini adalah bahwa netralitas di dalam media adalah melulu ilusi (Bagdikian, 2004).

  Dari catatan di atas dan temuan penelitian yang telah dikemukakan, media yang sejatinya adalah ruang publik rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi kepentingan pribadi dan golongannya. Ketidaksetaraan akses terhadap media tentunya berimplikasi kepada hak warga negara itu sendiri untuk memperoleh informasi. Dalam bab berikutnya, akan dipaparkan secara lebih mendalam implikasi penggunaan media sebagai saluran komunikasi parpol terhadap warga negara.

  67 Lihat bahasan dalam Bab 2 68 Dalam pandangan Aristotelian, politik tidak lain adalah komunikasi. Gagasan pokok ini lantas

  dikembangkan oleh Habermas yang menekankan pentingnya pembukaan kanal-kanal komunikasi agar demokrasi dapat mendekati arti normatifnya. Selengkapnya lihat pembahasan dalam Bab 2.

  Menilai Kesetaraan Akses Informasi Politik

  Pendidikan politik sekarang sudah tidak berimbang gitu di media TV swasta, sudah

  tidak berimbang. Tidak lagi mengedepankan pendidikan politiknya tapi lebih ke kepentingan-kepentingan politik masing-masing. Misalnya iklan, spot iklan tentang

  politik di media TV swasta A. Ini tidak lagi memberikan pembelajaran untuk politik

  kepada semua parpol, tidak mengakomodir kepentingan semua parpol. Toh kata mengakomodir yang kalau bukan empunya, atau yang dekat dengan media itu ya

  porsinya akan sangat kecil, tapi lebih mengedepankan siapa tokoh politik di balik

  media TV swasta itu.

  (Amron Risdianto, Media Komunitas Angkringan, wawancara, 29112013)

  Bermula dari keprihatinan akan pengabaian terhadap hak informasi publik yang adil dan berimbang, pada tanggal 16 Januari 2014 tidak kurang dari 32 kelompok elemen masyarakat melakukan aksi long march ke kantor KPI Pusat. 69 Aksi itu dilakukan untuk meminta KPI bekerja dan menindak stasiun-stasiun TV yang dianggap menghamba pada kepentingan politik pemiliknya. Sebulan berselang, para pimpinan KPU bersama Bawaslu, KPI, dan KIP menandatangani moratorium iklan partai politik di media televisi. 70 Keempat lembaga tersebut sepakat membentuk Gugus Tugas Pengawasan Penyiaran yang akan memantau iklan kampanye sebelum periode kampanye yang sah berlaku.

  Dua peristiwa ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa upaya menjaga media penyiaran adalah hal penting yang diperlukan untuk menjamin demokrasi dijalankan dengan sehat. Di dalam bab ini akan dibahas aneka imbas penayangan pesan-pesan politik yang timpang dan bias bagi warga negara serta bagi upaya demokratisasi.