Membangun Harapan: Warga Negara yang Gigih Memperjuangkan Hak
6.5. Membangun Harapan: Warga Negara yang Gigih Memperjuangkan Hak
Setiap orang memiliki hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (UUD 1945 amandemen IV pasal 28f).
Dewasa ini, informasi dan komunikasi telah berkembang menjadi kebutuhan dan unsur kunci baik bagi warga maupun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui komunikasi, peran serta warga dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi semakin sentral. Hal ini menggaungkan kembali gagasan Arnstein (1969) yang menyebutkan bahwa hanya melalui partisipasi aktif dari pihak yang diatur dalam pemerintahanlah, tonggak
94 Kendati anggapan bahwa televisi adalah satu-satunya media yang efektif dan efisien untuk berkampanye di Indonesia, seolah-olah tidak ada media lain masih dapat diperdebatkan lebih jauh.
117
demokrasi dapat ditegakkan. Gagasan yang dipuja oleh hampir semua orang ini hanya dapat terjadi jika media hadir secara penuh dalam menjalankan fungsi sosialnya, yakni memberikan informasi kepada warga sehingga mereka well informed.
Seiring perkembangan TIK yang telah melahirkan masyarakat informasi yang semakin menuntut haknya terhadap pengetahuan dan informasi, peran penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk opini publik menjadi semakin strategis. Dalam upaya merawat alam demokrasi, penyiaran telah berkembang sebagai salah satu sarana berkomunikasi bagi elemen-elemen dalam sebuah negara. Lahirnya UU Penyiaran No.322002 menandai sebuah cita-cita luhur yang ingin menjamin bahwa spektrum frekuensi sebagai sumber daya alam terbatas dapat dijaga dan dilindungi oleh negara untuk dipergunakan seluas-luasnya bagi kemakmuran rakyat. Melalui UU Penyiaran ini, ditegaskan pula bahwa penyelenggaraan penyiaran di Indonesia berlandaskan pada ―asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab‖ (pasal 2 UU Penyiaran No.322002). Akan tetapi, cerminan dari ekonomi politik media kontemporer di Indonesia – berpadu dengan kepentingan politik di belakangnya – membuat cita-cita luhur penyiaran tersebut terancam kandas. Alih-alih mampu mengekspresikan asas yang diharapkan, dunia penyiaran Indonesia cenderung menampilkan keseragaman, monopoli, ketidakpastian hukum, ketidakpantasan, dan pengendalian. Kondisi ini membahayakan kemungkinan terwujudnya ―hidup bersama‖.
Dalam kaitan dengan penggunaan televisi dalam masa menjelang Pemilu, eksploitasi oleh para pemilik media untuk kepentingan politik mereka jelas telah mengancam mimpi akan masyarakat yang demokratis, adil, sejahtera, mandiri dan membantu mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana menjadi tujuan penyiaran Indonesia. 95 Dalam kacamata
yang sama, kondisi ini jelas mengancam hak warga negara untuk mendapatkan informasi serta berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Mengingat bahwa makna sejati dari status kewarganegaraan merujuk pada keseimbangan antara hak dan kewajiban warga (Janowitz, 1980), maka hilangnya hak warga tersebut secara tidak langsung juga merongrong status kewarganegaraan setiap individu warga negara. Tanpa mempedulikan hak warga, kondisi yang ada sekarang ini tak pelak merupakan sebuah wujud tindakan memperlakukan para calon pemilih sebagai ‗massa‘, sebagai kuantitas semata alih-alih warga negara bermartabat. Aneka aksi kampanye yang menghujani layar kaca tidak ubahnya adalah sebentuk dominasi pihak satu ke yang lain tanpa mempedulikan proses penguatan kewargaan. Dalam arti ini, politik tidak ubahnya sebuah bentuk penaklukan, bukan dalam arti tata organisasi diri warga, yang di dalamnya terkandung semangat partisipasi dan pemberdayaan (act of empowerment). Politik model penaklukan semacam ini tidak hanya meracuni demokrasi, melainkan juga merupakan tindakan membodohi warga negara sekaligus tindakan isolasi manusia satu dari manusia lain. Aneka kampanye semacam ini, yang dipenuhi oleh slogan-slogan yang hampa, terkesan mengandaikan kedunguan pemirsa dan pendengar.
Dalam alur gagasan di atas, tampak bahwa relasi yang terbentuk dari kondisi perkawinan antara lembaga penyiaran dan institusi politik dengan para warga negara adalah relasi
95 Hal ini sejalan dengan isi pasal 3 UU Penyiaran No. 322002 yang berbunyi: ―Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman
dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.‖ dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.‖
Berangkat dari kesadaran bahwa warga memiliki daya yang sama dengan parpol dan lembaga penyiaran, maka yang kini diperlukan adalah memberdayakan dan membekali warga agar menyadari daya yang mereka punya. Dalam hal ini, muncul urgensi agar masyarakat sipil dan pemerintah bersama-sama membangun literasi publik terhadap media secara umum dan komunikasi politik secara khusus. Publik perlu dibekali pengetahuan mengenai corak komunikasi politik parpol dan politisi, terutama kanal dan strategi komunikasi mereka. Hal ini sungguh merupakan sebuah tantangan besar karena mayoritas publik sebagai konsumen media sebenarnya tidak melek media, apalagi melek komunikasi politik. Artinya, bisa mengambil sikap politik terhadap isi media yang dikonsumsinya. Ini bagian dari pendidikan politik dan pemberdayaan publik secara lebih substansial – tidak hanya sekadar mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam Pemilu.