Gugus Kebijakan Media di Indonesia
2.3.1. Gugus Kebijakan Media di Indonesia
Kajian mengenai sejarah kebijakan media di Indonesia (Nugroho et al., 2012b) menunjukkan bahwa kebijakan terkait media berdinamika pada dua kebijakan utama, yaitu Undang-Undang Penyiaran No.32 (2002) dan Undang-Undang Pers No.40 (1999). Kehadiran dua Undang-Undang buah Reformasi ini seakan mengakomodasi kebutuhan akan sarana pendorong iklim demokrasi yang lebih sehat. Media yang dapat dipercaya, terbuka serta independen tentu sangat diperlukan dalam upaya demokratisasi sistem politik dan sistem sosial.
Catatan lebih perlu diberikan untuk regulasi pada bidang penyiaran. Berbeda dengan media cetak, regulasi menyangkut penyiaran diatur lebih ketat kerena tiga alasan pokok (Rianto et al., 2012). Alasan pertama adalah karena media penyiaran menggunakan ranah publik (public domain). Kedua, spektrum frekuensi itu terbatas (scarcity theory). Ketiga, media penyiaran menembus ruang keluarga tanpa diundang (pervasive presence theory). Tiga alasan utama ini yang membuat tata kelola seputar penyiaran tidak bisa disamakan begitu saja dengan tatakelola industri bidang lain.
Dua kebijakan utama terkait media tersebut memang telah memberikan arah normatif yang harus dijadikan pegangan, baik oleh para pelaku media maupun non-media. Kendati demikian, kehadiran dua kebijakan pelengkap dari kebijakan utama tersebut – Peraturan Pemerintah (PP) 502005 mengenai penyiaran swasta 18 dan UU 112008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 19 – terkadang justru kerap mengaburkan arah normatif yang dimandatkan oleh kedua kebijakan utama tersebut.
Di samping kebijakan-kebijakan yang secara langsung dimaksudkan untuk mengatur media, masih ada sejumlah kebijakan yang berpengaruh terhadap sektor media di Indonesia. Tabel berikut – kendati tidak dimaksudkan untuk memberikan daftar lengkap – bermaksud untuk mengidentifikasi kebijakan yang secara relatif mempunyai signifikansi terhadap media di Indonesia.
18 Sejak disahkan pada 2005 sebagai akibat diberlakukannya keputusan MK terhadap UU Penyiaran, PP ini sangat berpengaruh dalam dinamika media di Indonesia yang pada tahun-tahun belakangan ini didominasi
oleh kelompok media swasta, baik dalam hal konten maupun infrastruktur. Sebagian kalangan menilai isi PP ini berlawanan dengan sejumlah poin dalam UU Penyiaran. Lihat NUGROHO, Y., SIREGAR, M. F. LAKSMI, S. (2012b) Mapping Media Policy in Indonesia. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia.
19 Merupakan UU pertama yang mengatur transaksi dan lalu lintas di dunia siber. UU ini memuat sejumlah pasal kontroversial, antara lain Pasal 27 yang memicu sejumlah kasus ternama tentang dugaan pencemaran
nama baik – dua di antaranya adalah kasus ―Prita Mulyasari vs Rumah Sakit OMNI‖ dan ―Benhan vs Misbakhun‖.
Tabel 2-1 Kebijakan Media di Indonesia
1 UU Hak Asasi Manusia No. 391999
Menjamin hak-hak atas media dan informasi
2 UU Telekomunikasi No. 361999
Penghapusan monopoli Telkom
3 UU Pers No. 401999
Kebebasan pers, Dewan Pers
4 UU Penyiaran No. 322002
Siaran Berjaringan, KPI
5 PP No. 492005
Aktivitas penyiaran asing
6 PP No. 502005
Penyiaran swasta
7 PP No. 512005
Penyiaran komunitas
8 PP No. 522005
Penyiaran berlangganan
9 UU ITE No.112008
Transaksi elektronik, pencemaran nama baik
Publik Akses publik terhadap informasi
No.142008
11 RUU Konvergensi (dikeluarkan sebagai Konvergensi media
revisi atas UU Telekomunikasi pada Januari 2012)
Sumber: Nugroho et al.(2012b)
Walaupun secara normatif, dua kebijakan utama seputar media (UU Pers No. 401999 dan UU Penyiaran No. 322002) telah berada di jalur yang tepat untuk menjamin prasyarat dasar bagi warga negara untuk menjalankan kebebasan berekspresi dan berpendapat, akan tetapi implementasi kebijakan media dalam arti luas memiliki kisah yang berbeda.Kebijakan media gagal meregulasi media sebagai sebuah industri (Nugroho et al., 2012b). Tidak ada kebijakan yang secara khusus mempertimbangkan aspek komersial industri media dan mengatur aktivitasnya sehingga industri media disamakan begitu saja dengan industri lain, terlepas ada hak publik yang melekat padanya dalam wujud spektrum frekuensi. Para pembuat kebijakan dan pemerintah pun gagal mengatur batasan yang tegas
antara monopoli dan oligopoli. 20 Hal-hal inilah yang kemudian rentan disalahgunakan.
Media massa yang menggunakan frekuensi publik dipergunakan layaknya properti privat, dimanfaatkan demi keuntungan pribadi.
Walaupun barangkali terlalu dini untuk menyebutkan bahwa kebijakan media kurang berhasil memastikan sifat keterbukaan publik dari media, namun jelas bahwa kebijakan media adalah benteng akhir dari usaha menjaga karakter publik dari media (Nugroho et al., 2012b).