Melakukan Penetrasi pada Program Acara Hiburan di Televisi.
3) Melakukan Penetrasi pada Program Acara Hiburan di Televisi.
Kemunculan parpoltokoh dalam tayangan hiburan tergolong baru karena biasanyamereka muncul dalam program berita, bukan acara hiburan. Tokoh-tokoh parpol seperti pasangan capres Wiranto dan Hary Tanoesudibjo (Win-HT), sempat muncul dalam sinetron ―Tukang Bubur Naik Haji‖ yang ditayangkan di tayangkan di RCTI. Selain pasangan Win-HT, tokoh politik lain yakni Dahlan Iskan (peserta konvensi Partai Demokrat) juga muncul dalam ―Mak Ijah Naik Haji‖ (Kompas, 2013a).
Selain sinetron, tayangan kuis juga menjadi ajang tampilnya tokoh-tokoh parpol. Sebagai contoh, para caleg Hanura seperti Fuad Syauqi (dapil Banten 1), Roberto Everhard (dapil DI Yogyakarta), serta Wiranto juga muncul dalam program ―Kuis Kebangsaan‖ yang ditayangkan di RCTI (Tribun, 2013). Selain ―Kuis Kebangsaan‖, Wiranto dan caleg Hanura lainnya juga muncul dalam kuis ―Indonesia Cerdas‖ yang ditayangkan di Global TV, yang merupakan salah satu televisi swasta milik Hary Tanoesudibjo. Dalam kedua kuis tersebut, selain menampilkan tokoh-tokoh tadi, juga disebutkan berulang-ulang slogan Hanura yakni ―Bersih, Peduli, Tegas‖ dan menggunakan kata kunci untuk menjawab pertanyaan yang berbunyi ―Win-HT‖. 38
Acara-acara tersebut secara jelas bertujuan untuk mempopulerkan figur parpol dan mensosialisasikan tagline dari partai tertentu. Selain memperkenalkan wajah caleg, tujuan utama dari kuis dan sinetron yang menayangkan sosok Win-HT bertujuan untuk mempopulerkan pasangan tersebut sebagai pasangan capres-cawapres. Upaya ini juga dilakukan untuk menyiasati peraturan yang mengatur tentang definisi dan kegiatan kampanye pemilu di televisi. Argumen partai Hanura adalah acara tersebut bukan merupakan bentuk kampanye karena tidak mengandung unsur materiil kampanye pemilu legislatif, sehingga hanya bersifat sosialisasi, bukan kampanye (Kompas, 2013b). Lebih lanjut, tampilnya Win-HT sebagai pasangan capres-cawapres tidak melanggar aturan karena memang secara resmi mereka belum ditetapkan sebagai peserta pemilu presiden oleh KPU. Hanura bahkan berpendapat bahwa acara yang mereka selenggarakan merupakan bentuk kreativitas yang harus dihargai, memberikan pendidikan untuk masyarakat, serta membantu KPU (Antara, 2014, Republika, 2014). Sulit untuk menyangkal bahwa strategi seperti ini lebih mudah dilakukan oleh parpol yang petingginya adalah pemilik stasiun televisi tersebut. Dalam kasus-kasus di atas, keistimewaan posisi Hary Tanoesudibjo sebagai Ketua Bapilu Hanura, Cawapres Hanura, sekaligus pemilik jaringan MNC Media memberikan keuntungan tersendiri bagi Hanura dan pasangan Win-HT dengan
38 Pada tanggal 7 Februari 2014, RCTI juga menayangkan program siaran ―Mewujudkan Mimpi Indonesia‖ yang menayangkan sosok Wiranto yang menyamar sebagai tukang becak di Solo. Tujuan dari acara tersebut
adalah untuk menunjukkan sosok Wiranto sebagai seorang calon pemimpin yang sangat berusaha untuk memahami apa yang dirasakan dan diinginkan oleh rakyat, khususnya di tingkat akar rumput, yang nantinya jika terpilih dapat mewujudkan keinginan tersebut. (Lihat: KPI (2014) Teguran Siaran "Mewujudkan Mimpi Indonesia" RCTI. Jakarta, KPI.
cara mengeksploitasi acara-acara hiburan yang ditayangkan di Global TV, RCTI dan MNC TV.
Ada tiga implikasi dari penerapan strategi kampanye politik melalui acara hiburan di televisi yang mengikutsertakan tokoh dan tagline parpol.
Pertama, politisasi media oleh parpol dan pemilik televisi menjadi semakin meluas dan melampaui batas-batas tradisional. Pemaparan di atas menjadi bukti penting penetrasi kampanye politik bisa dilakukan tidak hanya di program-program berita atau iklan, tapi juga melalui bentuk kuis dan tayangan sinetron.
Kedua, indikasi munculnya kecemburuan dari parpol lain yang tidak memiliki akses khusus ke televisi. Kecemburuan ini mungkin saja akan berujung pada pertanyaan mengenai penerapan asas keadilan dan kejujuran dalam berkampanye. Jika pada akhirnya partai yang mengeksploitasi cara-cara yang demikian memenangkan pemilu, maka dikhawatirkan akan muncul pertanyaan mengenai legitimasi partai tersebut karena dianggap telah mencederai etika politik dalam sebuah kompetisi yang demokratis.
Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa parpol lain pun akan melakukan hal yang serupa untuk mensosialisasikan tokoh dan partainya. Akibatnya akan muncul sebuah kompetisi yang tidak sehat di mana hak-hak penonton televisi untuk mendapatkan tayangan yang berkualitas dilanggar oleh kepentingan parpol untuk memenangkan pemilu. Ada potensi cara-cara kampanye seperti ini justru akan semakin menurunkan minat pemilih untuk memilih partai tersebut, khususnya bagi mereka yang memiliki kesadaran politik cukup tinggi.