Kuasa Warga Negara: Partisipasi Aktif sebagai Dasar
2.4. Kuasa Warga Negara: Partisipasi Aktif sebagai Dasar
Dalam gagasan yang dimulai oleh Rousseau (1913), demokrasi adalah partisipasi politis warga negara untuk menentukan dirinya. Konsep ini dikenal dengan nama ―kedaulatan Dalam gagasan yang dimulai oleh Rousseau (1913), demokrasi adalah partisipasi politis warga negara untuk menentukan dirinya. Konsep ini dikenal dengan nama ―kedaulatan
Di dalam negara hukum demokratis, Pemilu merupakan mekanisme sekaligus sarana untuk menjamin bahwa kekuasaan negara merupakan hasil mandat warga negara. Melalui Pemilu, hak perwalian (representasi) setiap warga negara terakomodasi. Melalui Pemilu pula, sistem negara menjadi legitim karena individu warga negara secara kolektif membentuk kedaulatan rakyat sebagai ciri khas dari legitimasi demokratis. Bagi setiap individu warga negara, tindakan memberikan suara dalam Pemilu adalah wujud aktualisasi moral virtue sebagai anggota res publica, sebuah ungkapan perwujudan diri kolektif (collective self-determination).
Berkaca pada gagasan tersebut, masyarakat demokratis yang sejati bersandar pada publik yang melek informasi dan secara sadar mampu membuat pilihan-pilihan politis. Memberi informasi yang cukup pada warga mengenai pilihan-pilihan dan tanggung jawab mereka adalah langkah penting awal menuju partisipasi warga yang legitim (Arnstein, 1969:5). Demikian, akses pada infromasi tidak hanya hak dasar dari warga negara, melainkan juga merupakan persyaratan terbentuknya demokrasi itu sendiri (Joseph, 2005).
Dalam hal ini, media memainkan peranan yang penting sebagai locus bagi segenap warga negara untuk membangun upaya demokrasi yang sehat. Dalam perspektif ini pula, ketika media mampu hadir sebagai sarana untuk mengasah kemampuan berdeliberasi antar warga negara, maka kecenderungan Pemilu menjadi arena manipulassi massa akan berkurang. Pada momen ketika warga negara sungguh memahami aneka rancangan program, visi, serta misi caleg dan parpol yang akan mereka pilih, maka proses penentuan hidup bersama berada dalam koridor yang diharapkan. Dalam sisi ini, kampanye melalui media massa menjadi salah satu sarana bagi parpol untuk mengenalkan diri kepada warga. Penggunaan teknologi komunikasi yang tepat dapat membantu para aktor politik untuk mendekati kelompok publik tertentu secara tepat sasaran. Pembelajaran dari kasus Obama yang berkampanye menggunakan media sosial berbasis Internet, misalnya, telah membantunya dalam merangkul berbagai pihak. Dalam hal ini, teknologi telah turut membantu komunikasi politik menjadi lebih berwarna dan lebih kaya.
Kendati demikian, perbincangan mengenai rancangan strategi komunikasi politik ini tidak boleh serta merta menjadi satu-satunya materi bahasan mengenai kampanye. Upaya untuk mengedukasi warga serta meningkatkan peran aktif mereka dalam komunikasi politik tidak dapat dinihilkan begitu saja. Memenuhi outlet media dengan aneka kampanye, tanpa berkontribusi pada pemberdayaan politik warga tidak hanya menciderai semangat sejati demokrasi, melainkan juga merupakan tindakan membodohi warga negara. Pemberdayaan politik warga secara sederhana tampak apa yang ditampilkan secara audio danatau visual dalam media siar: apakah yang ditampilkan memancing audiens untuk saling berdiskusi, menghargai individu pemirsa sebagai pihak yang kritis sehingga menyajikan secara komprehensif dan penuh makna, atau malah mempersepsi individu pemirsa sebagai pihak yang pasif, mudah percaya, dan kekanak-kanakan – dan demikian cukup melontarkan slogan-slogan kampanye yang hampa. Perspektif dan kepentingan warga mutlak dipertimbangkan untuk mencegah kecenderungan konstituen diperlakukan sebagai Kendati demikian, perbincangan mengenai rancangan strategi komunikasi politik ini tidak boleh serta merta menjadi satu-satunya materi bahasan mengenai kampanye. Upaya untuk mengedukasi warga serta meningkatkan peran aktif mereka dalam komunikasi politik tidak dapat dinihilkan begitu saja. Memenuhi outlet media dengan aneka kampanye, tanpa berkontribusi pada pemberdayaan politik warga tidak hanya menciderai semangat sejati demokrasi, melainkan juga merupakan tindakan membodohi warga negara. Pemberdayaan politik warga secara sederhana tampak apa yang ditampilkan secara audio danatau visual dalam media siar: apakah yang ditampilkan memancing audiens untuk saling berdiskusi, menghargai individu pemirsa sebagai pihak yang kritis sehingga menyajikan secara komprehensif dan penuh makna, atau malah mempersepsi individu pemirsa sebagai pihak yang pasif, mudah percaya, dan kekanak-kanakan – dan demikian cukup melontarkan slogan-slogan kampanye yang hampa. Perspektif dan kepentingan warga mutlak dipertimbangkan untuk mencegah kecenderungan konstituen diperlakukan sebagai
politisi serta menjadi sebatas etalase aneka jenis kampanye, upaya membangun demokrasi yang sehat sebenarnya juga tengah digoyang. Dalam kondisi ini, alih-alih hadir sebagai ruang deliberasi dan diskursus bagi warga negara, derajat media telah turun menjadi sekadar alat kuasa. Demikian, dengan cara yang sama media telah memperlakukan individu-individu sebagai ‗massa‘ alih-alih sebagai warga negara yang bermartabat. Di sini, ada relasi kuasa tertentu yang didesakkan (imposed upon) ke warga negara – sebagai komunikan – sehingga tidak menempatkan mereka berdiri tidak sejajar dengan pihak pemberi informasi.
Barangkali, saat ini kita memang sedang memetik hasil kebijakan floating mass selama Orde Baru. Pada masa itu, warga dibuat takut berpolitik. Kini, tatkala politik tidak lagi menakutkan, partai-partai politik dan segelintir pihak malah terkesan melecehkannya. Warga dianggap tidak mengerti politik sehingga cukup diberi slogan-slogan kampanye yang hampa. Janji akan pemberdayaan seakan janji kosong jika menganggap bahwa sebuah iklan politik 30 detik di televisi dapat meningkatkan kadar kualitas pendidikan politik masyarakat secara signifikan. Adalah hampir mustahil dalam waktu sangat pendek mampu menyampaikan pesan pendidikan politik yang mampu menggugah daya berpikir kritis warga.