bertanggung jawab lainnya. Dengan kata lain, kemiskinan merupakan konsekuensi dari hidup yang penuh dengan persaingan, sehingga hanya yang kuatlah yang berhasil
melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan. Artinya mereka-mereka yang mempunyai akses terhadap modal, pengetahuan, penguasaan teknologi dan
informasilah yang berhasil dalam persaingan tersebut. Sehubungan dengan itu, untuk mengetahui tentang faktor-faktor penyebab
kemiskinan khususnya bagi nelayan tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya. Pada penelitian ini faktor-faktor kemiskinan
dianalisis ke dalam 4 empat buah faktor, yakni 1 faktor Kualitas Sumber Daya Manusia; 2 Faktor Ekonomi; 3 Faktor Hubungan Kerja Nelayan; dan 4 Faktor
Kelembagaan. Adapun faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
4.3.1. Faktor Kualitas Sumber Daya Manusia
Salah satu sebab munculnya kemiskinan adalah akibat adanya perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah
berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang
beruntung karena adanya diskriminasi. Sebaliknya bila seseorang mempunyai pendidikan dan ketrampilan yang tinggi, maka orang tersebut akan dapat
meningkatkan produktivitas dan selanjutnya akan dapat pula meningkatkan pendapatannya.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa dengan pendidikan yang tinggi seseorang dapat memperoleh kesempatan kerja yang lebih luas dibandingkan dengan mereka
yang tidak memiliki pendidikanpendidikan rendah. Selanjutnya seseorang yang memiliki ketrampilan yang tinggi akan terbuka peluang lebih banyak baginya dalam
penguasaan dan variasi bidang pekerjaan. Tingginya penguasaan dan variasi bidang pekerjaan berimplikasi kepada tingginya peluang kerja yang diperoleh. Tingginya
peluang kerja, maka akan tinggi pula peluang untuk memperoleh pendapatan, dan adanya pendapat yang cukup membuat seseorang terlepas dari kemiskinan.
Bagi suatu wilayah dampak positif yang diperoleh oleh adanya peningkatan peluang kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat dalam wilayahnya, maka
wilayah itu telah terjadi suatu pengembangan wilayah. Faktor kualitas sumber daya manusia nelayan tradisional, dalam penelitian ini
diukur melalui 3 tiga indikator, yaitu: a Tingkat Pendidikan; b Ketrampilan Alternatif; dan c Pekerjaan Alternatif.
a Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan sebagai salah satu indikator dari kualitas sumber daya manusia, indikator ini sangat menentukan seseorang atau sekelompok orang berstatus
sebagai golongan masyarakat miskin atau bukan miskin. Di mana mereka yang berpendidikan rendah, produktivitasnya rendah. Rendah produktivitas akan rendah
pula pendapatannya. Sedangkan rendahnya tingkat pendapatan merupakan salah satu ciri dari penduduk miskin.
Dalam hal tingkat pendidikan, yang paling buruk ditemukan pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, pada umumnya pendidikan tertinggi yang pernah
ditempuh oleh responden adalah tamat Sekolah Dasar SD, dan hanya 1 responden
yang berhasil tamat Sekolah Menengah Tingkat Pertama SMTP. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 51 responden, diperoleh data bahwa 53
persen tidak tamat Sekolah Dasar SD, 45 persen tamat Sekolah Dasar SD, dan hanya 2 persen yang tamat Sekolah Menengah Tingkat Pertama SMTP. Untuk lebih
jelasnya tentang tingkat pendidikan nelayan tradisional, datanya dapat dilihat pada Tabel 4.6. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarso 2008: 7
yang menyatakan nelayan khususnya nelayan tradisional, pada umumnya mereka mempunyai ciri yang sama yaitu kurangnya berpendidikan. Senada dengan itu BPS,
menyebutkan kriteria masyarakat miskin pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga adalah tidak sekolahtidak tamat SDhanya SD. Seterusnya Salim 1984: 42 juga
menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang miskin rendah, bahkan tidak tamat Sekolah Dasar.
Pekerjaan untuk bekal mencari ikan di laut, latar belakang pendidikan seseorang memang tidak penting. Artinya karena pekerjaan sebagai nelayan
tradisional sedikit banyaknya merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman bukan pemikiran, maka setinggi apapun tingkat
pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut. Namun persoalan yang akan muncul dari rendahnya pendidikan tersebut ialah ketika
nelayan ingin mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi ini akan mempersulit nelayan tradisional
memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain menjadi nelayan Kusnadi, 2002: 30.
Hal ini terbukti ketika banyaknya lowongan pekerjaan yang dibuka di Aceh, di mana lowongan-lowongan kerja itu pada umumnya mensyaratkan pendidikan
minimal bagi calon peserta adalah tamat SMAsederajad. Sehingga lowongan kerja itu tidak bisa diikuti oleh mereka-mereka yang berpendidikan rendah seperti halnya
nelayan tradisional di Desa Padang Panjang. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang persyaratan pendidikan minimal yang diminta pada lowongan kerja tersebut,
datanya dapat dilihat pada beberapa pengumuman lowongan kerja yang dibuka di Aceh, sebagaimana yang dicantumkan pada Tabel 4.11 berikut ini:
Tabel 4.11 : Lowongan Kerja di Propinsi NAD Menurut Tingkat Pendidikan
Nama Pekerjaan Alamat
Pendidikan
Pramusaji Langsa, A.Timur
SMASMK Staf IT Consultan PT. PI.I
Prop. NAD S1 Komputer
Pelatih bid. Pengelolaan SDM Prop.NAD S1
Psicologi
Sumber: Data Sekunder Tahun 2009
b Keterampilan alternatif
Ketrampilan merupakan hal penting bagi seseorang untuk dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu. Di mana dengan ketrampilan yang tinggi seseorang dapat
meningkatkan produktivitasnya dan selanjutnya akan dapat pula meningkatkan pendapatan.
Berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki oleh responden. Dari data yang ditemukan bahwa pada umumnya responden tidak
menguasai ketrampilan alternatif. Ini terbukti ketika ditanyakan kepada 51 responden
tentang penguasaan ketrampilan selain dari ketrampilan menangkap ikan di laut, 88 persen responden menjawab tidak menguasai ketrampilan alternatif, 4 persen
responden menjawab menguasai ketrampilan alternatif berupa ketrampilan pertukangan dan 8 persen responden menguasai ketrampilan di bidang perabotan.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang nelayan tradisional yang menguasai ketrampilan alternatif selain dari kegiatan menangkap ikan di laut
non perikanan datanya dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut ini: Tabel 4.12
: Penguasaan Ketrampilan Alternatif Non Perikanan Bagi Nelayan Tradisional di Desa Padang Panjang
Ketrampilan Alternatif Jumlah
Persentase
Menguasai ketrampilan pertukangan 2
4 Menguasai ketrampilan perabotan
4 8
Tidak menguasai ketrampilan 45
88 Jumlah
51 100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Bagi nelayan tradisional untuk mendapat suatu ketrampilan tertentu tidak semudah membalik telapak tangan, karena di samping memerlukan pengorbanan
biaya juga mereka harus meninggalkan pekerjaan rutinnya. Sehingga diperlukan adanya inisiatif dari pihak yang berkompeten seperti halnya Pemerintah Daerah atau
lembaga sosial non pemerintah untuk memberikan pelatihan kepada nelayan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 51 responden, tentang pelatihan yang
pernah diikuti oleh nelayan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah, ternyata 100 persen responden menyatakan tidak pernah
mengikuti pelatihan ketrampilan apapun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.13 berikut ini:
Tabel 4.13 : Jumlah Nelayan Tradisional yang Pernah Mengikuti Pelatihan di Desa Padang Panjang
Pelatihan Jumlah
Persentase
Pernah mengikuti pelatihan -
- Tidak pernah mengikuti pelatihan
51 100
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Sejalan dengan itu kaitannya dengan pelatihan ketrampilan yang pernah diberikan kepada nelayan, hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Aceh Barat Daya, beliau menjelaskan sebagai berikut: “Pernah, seperti halnya pelatihan ketrampilan membuat kerupuk dari ikan,
yang diselenggarakan melalui dana bantuan dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2005 dan 2006. Namun peserta yang diikutkan dalam
pelatihan adalah seluruh kelompok nelayan yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya, tidak dikhususkan untuk nelayan tradisional. Peserta direkrut
berdasarkan data nelayan yang kami peroleh dari ketua kelompok nelayan, Panglima Laot dan Camat. Pada tahun 2007 pelatihan ketrampilan juga pernah
diselenggarakan oleh Badan Renovasi dan Rekonstruksi BRR Aceh-Nias, yang dilaksanakan khusus bagi nelayan kecamatan tangan-tangan”.
Pendapat di atas, menjelaskan bahwa sebenarnya pelatihan ketrampilan pernah diberikan kepada nelayan termasuk nelayan tradisional. Namun tidak semua nelayan
memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan, karena sistem rekrutmen yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat Daya tidak
menfokuskan kepada desa-desa nelayan, sehingga ada sebagian nelayan yang
berdomisili pada desa tertentu luput dari pendataan, contohnya nelayan tradisional di Desa Padang Panjang.
c Pekerjaan Alternatif
Pekerjaan alternatif atau pekerjaan sampingan diperlukan bagi nelayan tradisional dalam rangka meningkatkan pendapatannya. Apalagi penghasilan dari
kegiatan menangkap ikan di laut tidak bisa diandalkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang semakin hari semakin melambung.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tidaklah mudah bagi nelayan tradisional untuk melakukan suatu pekerjaan lain yang lebih menjanjikan bila
pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh pada umumnya hanya tamat Sekolah Dasar SD. Begitu juga dengan variasi ketrampilan ketrampilan alternatif ternyata
88 persen responden tidak menguasai ketrampilan alternatif. Katakanlah bagi mereka yang mempunyai ijazah tamatan SD, bisa dibayangkan apa yang bisa mereka lakukan
dengan ijazah tersebut di era zaman sulit mencari pekerjaan seperti ini, malah yang sarjanapun belum tentu bisa mendapatkan pekerjan yang layak, konon lagi yang tidak
berpendidikan, selain menjadi buruh kasar dan bahkan bisa-bisa mereka terperangkap menjadi pengangguran besar-besaran.
Kaitannya dengan pekerjaan sampingan, dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 51 responden, diketahui bahwa 14 persen nelayan tradisional bekerja
sebagai petani palawija padi, 10 persen nelayan bekerja sebagai pedagang kecil- kecilan. Sedangkan 76 persen nelayan tradisional tidak mempunyai pekerjaan
sampingan, artinya mereka bekerja hanya semata-mata sebagai nelayan tradisional.
Untuk dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang jumlah nelayan tradisional yang mempunyai pekerjaan sampingan di Desa Padang Panjang, datanya
dapat dilihat pada Tabel 4.14 berikut ini: Tabel 4.14
: Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Jenis Pekerjaan Sampingan Alternatif
Pekerjaan Sampingan Alternatif Jumlah
Persentase
Bekerja sebagai petani palawija padi 7
14 Bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan
5 10
Tidak mempunyai pekerjaan sampingan 39
76 Jumlah
51 100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani palawija padi, bukanlah suatu pekerjaan yang menjanjikan keuntungan besar, malah tidak jarang dari mereka sering
mengalami kerugian. Hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan salah satu nelayan yang bekerja sampingan sebagai petani padi, ia menjelaskan penghasilan dari
kegiatan bertani padi tidak bisa diharapkan. Karena biaya produksi yang lumayan tinggi bila dibandingkan dengan kemampuan mereka, seperti biaya pengolahan tanah,
pupuk dan obat-obatan. Selain itu petani juga harus membayar sewa kepada pemilik lahan, karena lahan yang mereka kelola adalah lahan sewa. Belum lagi terkadang
mereka sering mengalami gagal panen akibat banyaknya hama yang menggerogoti tanamannya.
Selanjutnya nelayan yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pedagang kecil-kecilan. Sesuai dengan hasil wawancara, mereka juga mengatakan pekerjaan
berdagang kecil-kecilan tidak menjanjikan keuntungan besar karena rendahnya daya beli dari masyarakat, di mana masyarakat Desa Padang Panjang umumnya berbelanja
lebih sering di pasar pusat kecamatan dan pusat pasar kabupaten Blangpidie. Sedangkan bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan, menurut
pengamatan ternyata kegiatan yang biasa dilakukan setelah dan ketika tidak melaut adalah duduk dan ngobrol di warung-warung kopi. Di sana mereka bercerita mulai
dari masalah pekerjaan sampai dengan hal-hal yang sangat pribadi. Kebiasaan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi nelayan, bukan
hanya nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, bahkan hampir semua nelayan di Kecamatan Susoh melakukan kebiasaan yang sama. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara dengan Panglima Laot Susoh, tentang pertanyaan apakah duduk ngobrol di warung kopi merupakan suatu kebiasaan bagi nelayan tradisional setelah pulang
dari kegiatan melaut. Beliau menjelaskan sebagai berikut: “Iya, memang telah menjadi sebuah kebiasaan bagi nelayan setelah pulang dan
jika tidak ke laut duduk ngobrol di warung kopi. Sebenarnya duduk ngobrol di warung kopi tidak menjadi masalah, bila hanya sekedar untuk melepaskan
lelah, tapi yang mereka lakukan berjam-jam. Padahal bila mereka kreatif, waktu senggang tersebut bisa mereka manfaatkan untuk bekerja ditempat lain
seperti menjadi buruh pada proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan di Kecamatan Susoh ini. Namun susahnya mereka beranggapan bekerja
di proyek-proyek bukan suatu pekerjaan yang disenangi, karena di samping terikat dengan aturan-aturan yang dibuat oleh kontraktor, juga pembayaran gaji
sering ditunda-tunda menunggu pencairan dana proyek dari pemerintah. Sedangkan bekerja melaut semua aturan mereka yang mengatur sendiri, begitu
juga dengan penghasilan, ada atau tidaknya bisa dilihat hari itu juga. Sehingga mereka merasa bekerja sebagai nelayan tradisional, merupakan suatu
pekerjaan yang menyenangkan”.
Pendapat Panglima Laot di atas, tergambar bahwa tidak dimilikinya pekerjaan sampingan oleh nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, selain disebabkan oleh
rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya ketrampilan alternatif yang dimiliki. Namun yang tidak kalah menonjolnya adalah budaya malas yang dimiliki oleh
nelayan itu sendiri, mereka terlalu cepat puas dengan apa yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai nelayan tradisional, meskipun dirasakan penghasilan dari
kegiatan melalut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor kualitas sumber daya
manusia dapat dikatagorikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, karena dari ketiga indikator
faktor tersebut, ketiganya positif menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia nelayan tradisional di Desa Padang Panjang masih rendah.
4.3.2. Faktor Ekonomi