input yang diberikan, misalnya dalam bentuk tunjangan sosial bagi para penganggur, jaminan sosial bagi orang-orang miskin dan berpendapatan
rendah.
2.3. Nelayan
2.3.1. Pelapisan Sosial Nelayan
Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi 2002: 17 pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni:
Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap perahu, jaring dan perlengkapan yang lain, struktur masyarakat nelayan terbagi dalam
kategori nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit
perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak- hak yang sangat terbatas.
Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil.
Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan
kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan,
masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan
yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.
Susunan masyarakat nelayan baik secara horizontal maupun vertikal sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang dicapai.
Posisi semakin strategis dalam organisasi kerja nelayan dan semakin besar pendapatan, semakin besar pula kemungkinan menempati posisi yang tinggi dalam
stratifikasi sosial. Pendapatan semakin kecil dan semakin tidak strategis peranan dalam organisasi penangkapan ikan, maka semakin rendah pula posisi dalam
masyarakat. Juragan laut dalam konteks seperti ini, akan senantiasa mempunyai
posisi yang lebih tinggi dari pada nelayan pandega, demikian juga juragan darat akan menempati posisi yang lebih tinggi dari pada juragan laut Masyhuri, 1996: 47.
Menurut Wahyuningsih dkk 1997: 33 masyarakat nelayan dapat dibagi tiga jika dilihat dari sudut pemilikan modal, yaitu:
1 Nelayan juragan. Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat
penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai
tanah yang digarap pada waktu musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang
mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke
toke atau cakong;
2 Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan
modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut
juga nelayan penggarap atau sawi awak perahu nelayan. Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan
sejak ratusan tahun yang lalu. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk keperluan operasi
penangkapan ikan, dan bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut
peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi;
3 Nelayan pemilik merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini
hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana, karena itu disebut juga nelayan perorangan atau
nelayan miskin. Nelayan ini tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik angin barat.
Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi Satria 2002: 28-29
menggolongkan nelayan ke dalam empat kelompok yaitu:
Pertama; peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional seperti dayung,
sampan yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota keluarganya sendiri sebagai tenaga kerja utama;
Kedua; post-peason fisher dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayanpun berubah dari peasant-fisher menjadi post-peasant fisher yang
dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modern. Meski mereka masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya
jelajahnya lebih luas dan memiliki surplus untuk diperdagangkan di pasar; Ketiga; commersial-fisher, yakni nelayan yang telah berorientasi pada
peningkatan keuntungan. Skala usahanya telah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga
manajer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya;
Keempat; industrial fisher yang memiliki ciri-ciri: 1 diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara maju; 2 lebih
padat modal; 3 memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana; dan 4 menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang
berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada keuntungan.
Sudarso 2008: 1 menyatakan “Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal
usaha yang kecil dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan sendiri”. Dalam arti hasil yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan dan bukan diinvestasikan
kembali untuk pengembangan skala usaha. Selanjutnya Sudarso 2008: 3 menyebutkan usaha nelayan tradisional
mempunyai cicri-ciri yang sangat spesifik bila dibandingkan dengan nelayan lainnya, yaitu:
1 teknologi penangkapan besifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap
terbatas, dan perahu dilajukan dengan layar, dayung atau mesin ber PK kecil; 2 besaran modal usaha terbatas; 3 jumlah anggota organisasi penangkapan
kecil antara 2-3 orang, dengan pembagian peran bersifat kolektif non spesifik, dan umumnya berbasis kerabat tetangga dekat, dan atau teman dekat;
dan 4 orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Sejalan dengan itu Aldwin 2009: 194 menyatakan secara umum perahu penangkapan ikan nelayan tradisional dicirikan oleh sebagai berikut:
“Berbahan kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga yang menggunakan layar sebagai pengganti motor tempel, panjang antara 5-8 meter,
lebar 1-2 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah terbatas, ada yang menggunakan lampu badai petromak sebagai pengganti listrik, serta hanya
mampu beroperasi di perairan sekitarnya”. Ukuran modernisasi nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena
menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang
digunakan. Selain itu wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan
jelajah sampai di lepas pantai of shore, sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pentai in-shore, Sudarso, 2008: 6.
2.3.2. Hubungan Kerja Nelayan