Pendapat Panglima Laot di atas, tergambar bahwa tidak dimilikinya pekerjaan sampingan oleh nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, selain disebabkan oleh
rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya ketrampilan alternatif yang dimiliki. Namun yang tidak kalah menonjolnya adalah budaya malas yang dimiliki oleh
nelayan itu sendiri, mereka terlalu cepat puas dengan apa yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai nelayan tradisional, meskipun dirasakan penghasilan dari
kegiatan melalut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor kualitas sumber daya
manusia dapat dikatagorikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, karena dari ketiga indikator
faktor tersebut, ketiganya positif menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia nelayan tradisional di Desa Padang Panjang masih rendah.
4.3.2. Faktor Ekonomi
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat di pedesaan Asia, yang terdiri dari: faktor
ekonomi, faktor Sosial, faktor geografis, dan faktor pribadi. Khusus faktor ekonomi itu sendiri terdiri dari modal, tanah dan teknologi.
Dari beberapa faktor kemiskinan tersebut, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang akan dianalisis pada masalah kemiskinan nelayan tradisional di Desa
Padang Panjang, dengan indikator: a kepemilikan modal; b kepamilikan tanah; dan c teknologi yang digunakan. Adapun indikator-indikator tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a Kepemilikan Modal
Situmorang 2008: 3 menyatakan kemiskinan adalah sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya
modal yang dimiliki. Khusus untuk nelayan, Sudarso 2008: 2 dalam penelitiannya menyatakan bahwa, nelayan dalam memproduksi ikan memerlukan input produksi.
Adapun wujud dari input produksi berupa modal uang, alat tangkap dan peralatan melaut lainnya seperti perahu, jaring dan pancing. Kabanyakan nelayan menjadi
persoalan yang sangat serius hal ini dikarenakan nelayan memiliki keterbatasan modal.
Kaitannya dengan modal, pada umumnya nelayan tradisional di Desa Padang Panjang tidak memiliki modal untuk pengembangan usaha, sehingga mereka tidak
dapat melakukan peningkatan input produksi baik dari segi jumlah maupun kualitasnya akumulasi modal. Tidak dapat melakukan peningkatan input produksi
mengakibatkan rendahnya produtivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang diterima.
Untuk memberikan informasi lebih jelas tentang kepemilikan modal usaha pada nelayan tradisional, datanya dapat dilihat pada Tabel 4.15 berikut ini:
Tabel 4.15 : Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Pemilikan Modal Usaha di Desa Padang Panjang
No Kepemilikan Modal Usaha
Jumlah Persentase
1 Memiliki modal usaha
- -
2 Tidak memiliki modal usaha
51 100
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Tabel 4.15 menjelaskan bahwa 100 persen responden tidak memiliki modal untuk pengembangan usaha. Akibatnya nelayan tidak dapat melakukan peningkatan
produksi. Sedangkan rendahnya produksi sangat berpengaruh kepada jumlah pendapatan yang diterima. Artinya bila produksi rendah, maka akan rendah pula
pendapatan yang diterima oleh nelayan. Sejalan dengan itu sebagaimana dijelaskan pada lingkaran kemiskinan Nurske
bahwa rendahnya pendapatan yang diterima berakibat kepada rendahnya tabungan. Selanjutnya rendahnya tabungan berimplikasi kepada rendahnya investasi. Sedangkan
rendahnya investasi mengakibatkan kembali terjadi kekurangan modal. Sehubungan dengan itu kepemilikan tabungan merupakan salah satu kunci bagi nelayan dalam
kepemilikan modal. Kaitannya dengan kepemilikan tabungan berdasarkan hasil penelitian terhadap
51 responden, diperoleh data bahwa pada umumnya nelayan tradisional tidak memiliki tabunganbarang yang bernilai minimal Rp. 500.000.-. hal ini dapat dilihat
pada Tabel 4.16 berikut ini:
Tabel 4.16 : Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Kepemilikan Tabungan
di Desa Padang Panjang
Kepemilikan Tabungan Rp Jumlah
Persentase
Memiliki tabunganbarang Min. 500.000.- -
- Tidak memiliki tabunganbarang Min. 500.000.-
51 100
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Tabel 4.16 menjelaskan bahwa 100 persen responden tidak memiliki tabungan dan investasi. Sedangkan tidak memiliki tabungan dan investasi merupakan salah satu
ciri dari masyarakat miskin. Karena menurut BPS, masyarakat miskin tidak dimilikinya tabunganbarang yang bernilai minimal Rp. 500.000.-.
Sebenarnya nelayan tradisional di Desa Padang Panjang terkadang memiliki simpanan uang ketika mereka memperoleh hasil tangkapan yang cukup besar, akan
tetapi ketika mereka tidak memperoleh hasil dan terjadinya kerusakan pada alat tangkap mereka harus menggunakan kembali uang simpanan itu. Sehingga mereka
tidak bisa menabung. Hal ini juga disebabkan oleh karena sifat bisnis nelayan yang sangat tergantung pada fluktuasi musim.
Selain karena tidak bisa menabung, kesulitan untuk memperoleh modal usaha juga disebabkan oleh tidak adanya akses nelayan tradisional kepada lembaga
perkreditan yang ada seperti Bank Perkreditan dan Koperasi Simpan Pinjam. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap 51 rensponden bahwa pada umumnya nelayan
tradisional tidak pernah berhubungan dengan Bank Perkreditan. Adapun data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.17 berikut ini:
Tabel 4.17 : Jumlah Nelayan Tradisional yang Berhubungan dengan Bank Perkreditan di Desa Padang Panjang
Hubungan dengan Bank Perkreditan Jumlah
Persentase
Pernah berhubungan dengan Bank Perkreditan 7
14 Tidak pernah berhubungan dengan Bank Perkreditan
44 86 Jumlah
51 100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Tabel 4.17 menjelaskan bahwa 86 persen responden tidak pernah berhubungan dengan Bank Perkreditan dan hanya 14 persen nelayan yang pernah berhubungan
dengan Bank Perkreditan
.
Sedangkan hubungan dengan Koperasi KPNR Susoh yang didirikan pada tahun 2004, sebagai salah satu koperasi nelayan di Kecamatan Susoh yang berusaha
di bidang kegiatan simpan pinjam. Pada umumnya nelayan tradisional berhubungan dengan koperasi tersebut karena meraka semuanya adalah anggota koperasi KPNR
Susoh Wawancara dengan Sekretaris Desa. Kaitannya dengan pinjaman modal usaha, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 51 responden diketahui bahwa
umumnya nelayan tradisional tidak mendapat pinjaman modal usaha dari koperasi KPNR. Padahal sebagaimana yang dikatakan oleh Sekretaris Desa Padang Panjang
bahwa nelayan tradisional di Desa Padang Panjang semuanya termasuk dalam anggota Koperasi KPNR. Idealnya koperasi KPNR sebagai salah satu organisasi yang
terbentuk berdasarkan asas kekeluargaan yang usahanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteran anggota, koperasi KPNR harus memperhatikan
anggotanya dalam meminjamkan modal usaha. Adapun data nelayan tradisional yang
tidak mendapat pinjaman dari koperasi KPNR Susoh, dapat dilihat pada Tabel 4.18 berikut ini:
Tabel 4.18 : Jumlah Nelayan Tradisional yang TidakDiberikan Pinjaman
Modal oleh Koperasi KPNR Susoh.
Pinjaman dari Koperasi KPNR Jumlah
Persentase
Diberikan pinjaman modal 3
6 Tidak diberikan pinjaman modal
48 94
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Tabel 4.18 menjelaskan bahwa 94 persen responden menyatakan tidak diberikan pinjaman modal dan hanya 6 persen responden yang diberikan pinjaman
modal, itupun karena ada hubungan dekat dengan ketua Koperasi KPNR Susoh. Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan tradisional untuk memperoleh
pinjaman modal usaha dari Koperasi KPNR adalah ditetapkannya persyaratan seperti yang diberlakukan oleh Bank. Di mana kepada nelayan sebelum mendapatkan
pinjaman diwajibkan untuk menyerahkan jaminan kepada koperasi berupa akte tanah dan Buku Milik Kendaraan Bermotor BPKB. Sementara jaminan tersebut tidak
dimiliki oleh nelayan tradisional. Hal ini terbukti berdasarkan hasil penelitian terhadap 51 responden, tentang kendala apa yang ditemukan oleh nelayan tradisional
ketika ingin memperoleh pinjaman modal usaha dari Koperasi KPNR, di mana 100 persen responden mengaku bahwa mereka tidak sanggup memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh koperasi, karena mereka tidak punya jaminan yang diminta oleh koperasi KPNR.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jawaban responden, tentang kendala yang ditemukan ketika bermohon pinjaman modal pada Koperasi
KPNR, datanya dapat dilihat pada Tabel 4.19 berikut ini: Tabel
4.19 : Kendala yang Ditemukan Oleh Nelayan Tradisional dalam Memperoleh Pinjaman Modal dari Koperasi KPNR
Kendala yang Ditemukan Jumlah
Persentase
Tidak sanggup memenuhi persyaratan 51
100 Lain-Lain -
- Jumlah
51 100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Kaitannya dengan adaya persyaratan yang diminta oleh Koperasi KPNR Susoh. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan Ketua Koperasi Persatuan
Nelayan Robin KPNR Susoh, sebagai berikut: “Untuk mendapatkan pinjaman modal usaha melalui Koperasi Perkumpulan
Nelayan Robin KPNR, mekanismenya kita buat seperti prosedur yang dilakukan oleh Bank Perkreditan. Bagi nelayan-nelayan yang membutuhkan
dana untuk kegiatan usaha kita wajibkan untuk membuat permohonan dan memberikan jaminan berupa akte tanah dan Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor BPKB. Besarnya jaminan tergantung kepada besarnya dana yang dipinjam”.
Mekanisme yang diberlakukan oleh Koperasi KPNR di atas menjadi hambatan bagi nelayan untuk memperoleh pinjaman modal karena meraka tidak memiliki
jaminan seperti yang diminta oleh KPNR. Padahal mereka seluruhnya adalah anggota Koperasi KPNR.
b Kepemilikan tanah
Tanah adalah aset yang dapat digunakan orang untuk tempat kegiatan usaha, seperti industri, perdagangan, dan pertanian. Dengan kata lain tanah merupakan aset
produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, yang selanjutnya akan menghasilkan pendapatan. Artinya mereka yang memiliki tanah dan mengelolanya dengan baik
akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tanah. Sebaliknya mereka yang tidak memiliki tanah telah kehilangan
suatu aset produksi yang menghasilkan pendapatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 51 responden tentang
kepemilikan tanah bagi nelayan tradisional, diketahui bahwa 100 persen responden tidak memiliki tanah. Hal ini menggambarkan bahwa umumnya nelayan tradisional
di Desa Padang Panjang tidak memiliki tanah yang dapat digarap untuk kegiatan usaha pertanian sebagai sumber pendapatan sampingan. Keadaan ini dapat dilihat
pada Tabel 4.20 berikut ini: Tabel 4.20
: Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Pemilikan Tanah di Desa Padang Panjang
Kepemilikan tanah Jumlah
Persentase
Memiliki tanah -
- Tidak memiliki tanah
51 10
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Berdasarkan Tabel 4.20 kondisi ini semakin membuktikan kepada kita bahwa nelayan tradisional tergolong sebagai golongan masyarakat miskin, karena mereka
tidak memiliki tanah sebagai salah satu aset produksi yang bisa menghasilkan pendapatan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Salim 1984: 42 bahwa salah
satu ciri dari masyarakat miskin adalah umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup. Kalaupun ada yang memiliki tanah, maka luasnya
tidak seberapa dan tidak cukup untuk membiayai ongkos hidup yang layak. Senada dengan itu BPS 2005 menyatakan ukuran luas tanah yang dimiliki oleh masyarakat
miskin adalah 0,5 ha. Sedangkan Salim 1984: 62 menyatakan luas tanah yang digarap oleh orang miskin kurang dari 0,3 ha.
Berdasarkan ukuran luas tanah yang dikemukakan oleh pakar di atas, menunjukkan bahwa nelayan tradisional di Desa Padang Panjang tergolong sebagai
masyarakat miskin, karena mareka sama sekali tidak mempunyai tanah dengan luas lebih dari 0,5 ha untuk digarap dalam menghasilkan pendapatan. Selanjutnya seperti
yang dikatakan Salim 1984: 19 “kalaupun ada yang memiliki tanah, maka luasnya tidak seberapa dan tidak cukup untuk membiayai ongkos hidup yang layak”.
Penyataan ini sangat signifikan dengan apa yang dialami oleh nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, di mana sebagian dari mereka hanya memiliki tanah
perkarangan. Namun tanah tersebut masih dalam status milik Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya Kepala Desa. Adapun tanah perkarangan itu dimanfaatkan untuk
menanam pohon kuini, mangga dan jeruk nipis, namun luas tanah rata-rata hanya 35 m
2
artinya tidak mencapai 0,3 ha atau 0,5 ha seperti yang dikemukakan oleh BPS dan Salim. Sehingga meskipun tanah perkarangan tersebut dimanfaatkan, tapi karena
luasnya sangat terbatas, hasil yang diperoleh dari tanah itupun sedikit. Untuk mengetahui tentang data nelayan tradisional yang memiliki lahan perkarangan, dapat
dilihat pada Tabel 4.21 berikut ini: Tabel 4.21
: Jumlah Nelayan Tradisional yang Memiliki Tanah Perkarangan di Desa Padang Panjang
Kepemilikan Tanah Perkarangan Jumlah
Persentase
Memiliki tanah perkarangan 47
75 Tidak memiliki tanah perkarangan
4 25
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Dari Tabel 4.21 tergambar bahwa 75 persen responden memiliki tanah perkarangan dan 25 persen responden tidak memiliki tanah perkarangan. Dengan
demikian dapat diketahui, pada umumnya nelayan tradisional di Desa Padang Panjang memiliki tanah perkarangan, namun luas tanah sangat kecil dan masih dalam
status milik Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya. Sehingga tanah-tanah itu tidak dapat dijadikan oleh nelayan sebagai investasi yang dapat dijual kapan mereka perlu.
c Teknologi yang Digunakan
Salah satu ciri dari usaha nelayan tradisional adalah teknologi penangkapan yang bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya
muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas dan perahu dilajukan dengan layar, dayung atau mesin ber PK kecil Sudarso 2008: 3. Selanjutnya Aldwin 2009:
194 dalam penelitiannya menjelaskan secara umum perahu penangkapan ikan yang
digunakan oleh nelayan tradisional mempunyai ciri: berbahan kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga ada yang menggunakan layar sebagai pengganti
motor tempel, panjang antara 5-8 meter, lebar 1-2 meter, tinggi 0,5 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah terbatas, hanya mampu beroperasi di perairan
sekitarnya. Berdasarkan pengamatan, perahu yang digunakan oleh nelayan tradisional
di Desa Padang Panjang, perahu tersebut menggunakan mesin tempel bermerek Honda dengan kapasitas mesin 5,5 PK. Perahu berukuran panjang 5 meter, lebar 1
meter dan tinggi 0,5 meter. Badan perahu terbuat dari kayu. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring dan pencing. Umumnya mesin-mesin yang digunakan pada
perahu-perahu tersebut kondisinya sudah tua yang ditunjukkan oleh banyaknya karatan yang menempel pada mesin. Hal ini sesuai dengan penelitian Aldwin 2009
yang dilakukan pada nelayan tradisional di Medan Labuhan. Di mana teknologi yang digunakan oleh nelayan tradisional di Desa Padang Panjang sama dengan teknologi
yang digunakan oleh nelayan tradisional di Medan Labuhan. Suatu hal yang menarik di Desa Padang Panjang ialah perahu-perahu nelayan
itu disebut dengan istilah perahu Robbin, sehingga tidak heran bagi kita kalau mendengar nelayan tradisional di Desa Padang Panjang disebut dengan istilah
nelayan Robbin. Menurut Panglima Laot, ketika di wawancarai tentang asal muasal istilah nelayan Robbin yang digelar bagi nelayan tradisional, beliau menjelaskan
sebagai berikut:
“Disebut nelayan tradisional dengan istilah nelayan Robbin ada sejarah khusus tentang itu, yakni orang yang pertama memakai mesin pada perahu
di Kecamatan Susoh ini adalah orang Sangkalan. Mesin yang dipakai pada perahunya waktu itu bermerek Robbin. Sehingga meskipun mesin yang
digunakan sekarang bermerek Honda, namun tetap saja disebut Robbin”. Menggunakan perahu bermotor sabagai alat pendukung dalam mencari ikan
di laut bukan suatu ukuran untuk mengkatagorikan nelayan tradisional sebagai nelayan modern. Akan tetapi modernisasi juga ditunjukkan pada besar kecilnya motor
yang digunakan, serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Selain itu, wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi
penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai of shore, sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya
hanya sebatas perairan pantai in-shore Sudarso 2008 :6. Seperti yang terlihat meskipun perahu nelayan tradisional telah menggunakan
mesin tempel, namun bila kapasitas mesin hanya 5,5 PK apalagi kondisi mesin yang sudah tua, ukuran perahu dan badan perahu terbuat dari kayu. Teknologi tersebut
jelas tidak dapat membantu nelayan tradisional untuk memperluas jangkauan penangkapannya sampai ke lepas pantai of shore. Hal ini didukung oleh hasil
wawancara dengan Panglima Laot, tentang batas-batas kawasan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tradisional, beliau menjelaskan “wilayah penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan tradisional Susoh adalah di sekitar perairan Pantai Suak, Lama Tuha dan Pantai Seumanyam”. Begitu juga dengan alat tangkap yang
menggunakan jaring dan pancing tentunya kemampuan tangkapan alat ini sangat terbatas.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi dapat dikatagorikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan
tradisional di Desa Padang Panjang. karena dari tiga indikator yang diteliti dalam faktor ini, ketiganya menunjukkan faktor ekonomi sebagai faktor penyebab
kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang.
4.3.3. Faktor Hubungan Kerja Nelayan