adat. Untuk mengetahui jumlah nelayan tradisional yang ikut serta pada setiap kegiatan adat yang berlangsung di Desa Padang Panjang, datanya dapat dilihat pada
Tabel 4.31 berikut ini: Tabel 4.31
: Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Keikutsertaan dalam Kegiatan Adat di Desa Padang Panjang
Keikutsertan dalam Kegiatan Adat Jumlah
Persentase
Selalu ikut serta dalam setiap kegiatan adat 49
96 Kadang-kadang ikut dalam kegiatan adat
2 4
Tidak pernah ikut serta dalam kegiatan adat -
Jumlah 51
100
Sumber: Data Primer Tahun 2009
Tabel 4.31 menjelaskan bahwa 96 persen responden menjawab selalu ikut serta dalam setiap kegiatan adat, dan hanya 4 persen menjawab responden kadang-kadang
ikut serta dalam kegiatan adat. Sehingga tidak haran bagi kita bila melihat dari berbagai jenis pengeluaran nelayan tradisional, pengeluaran untuk kegiatan adat
merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah biaya untuk kebutuhan pokok, yakni Rp. 100.000.- per bulan Tabel 4.9.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang termasuk ke dalam bentuk kemiskinan
kultural.
4.4.3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Dengan demikian kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana yang dialami oleh suatu
masyarakat yang penyebabnya bersumber pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat miskin itu sendiri. Sehingga mereka secara turun-temurun terkurung
dalam suasana kemiskinan selama bertahun-tahun Sudarso, 2008: 2. Kemiskinan struktural khususnya bagi nelayan terlihat dari pola hubungan
masyarakat nelayan itu sendiri dalam kehidupan sesamanya. Di mana pola hubungan itu dapat dijabarkan secara vertikal dan horizontal. Pola vertikal terbentuk karena
adanya ketergantungan ekonomi nelayan miskin kepada nelayan kaya toke. Sedangkan pola horizontal terbentuk atas dasar kerabat, tetangga hubungan sedarah.
Sejalan dengan itu, pola hubungan vertikal merupakan pola hubungan yang menyebabkan nelayan miskin selalu tergantung secara ekonomi kepada toke. Kondisi
ini membuat nelayan miskin menjadi lahan ekpsloitasi bagi toke, yang pada akhirnya nelayan secara turun-temurun terkurung dalam suasana kemiskinan selama bertahun
tahun, karena pola hubungan vertikal ini berbentuk pola hubungan patron-klien. Khusus untuk nelayan tradisional pola hubungan patron-klien dapat dijelaskan
patron adalah toke ikan atau toke perahu, yang lazim disebut dengan nelayan kaya. Klien adalah nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya kepada toke ikan
atau toke-toke perahu terutama saat laut pasang, sehingga mereka tidak boleh melaut. Selama masa menganggur itulah toke ikan atau toke perahu tetap menjamin
kehidupan sehari-hari para nelayan tradisional dan keluarganya Aldwin 2009: 187.
Namun suatu hal berbeda yang ditemukan pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, di mana ketergantungan nelayan tradisional pada pemilik modal
baik dalam kebutuhan modal, alat produksi dan kebutuhan keluarga tidak terlihat di sana.
Dalam hal keperluan modal atau kebutuhan keluarga, nelayan tradisional meminjamnya pada saudara atau tetangga terdekat, sehingga secara emosional tidak
adanya kewajiban bagi nelayan untuk menjual ikan kepada pemilik modal sebagai pembayarannya. Karena hubungan antara nelayan dengan pemilik modal bersifat
hubungan horizontal. Sedangkan dalam hal kebutuhan alat produksi seperti perahu beserta alat
tangkapnya, nelayan tradisional telah memperolehnya dari bantuan pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam dan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya
wawancara dengan Sekretaris Desa. Dengan kata lain pola hubungan kerja nelayan tradisional dengan pemilik modal berbentuk pola hubungan horizontal,
sehingga tidak terjadinya suatu perbedaan yang tajam antara nelayan tradisional dengan pemilik
modal yang dapat mengakibatkan nelayan tradisional selalu menjadi objek eksploitatif bagi pemilik modal toke.
Dalam hal sistem bagi hasil dengan pemilik modal, berdasarkan hasil penelitian terhadap 51 responden, diperoleh data bahwa 100 persen responden
mengatakan tidak berbagi dengan pemilik modal Tabel 4.23. Karena nelayan tradisional di Desa Padang Panjang tidak menggantungkan diri kepada toke ketika
membutuhkan modal, alat produksi dan kebutuhan rumah tangga, tapi kalau
membutuhkan modal dan kebutuhan rumah tangga mereka meminjam pada keluarga atau tetangga terdekat. Begitu juga dengan kebutuhan alat produksi, nelayan
tradisional telah mendapatkan bantuan dari Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya.
Sedangkan dalam sistem bagi hasil antara nelayan tradisional dengan nelayan penumpang, berdasarkan hasil penelitian terhadap 51 responden, diperoleh data 100
persen responden mengatakan hasil melaut dibagi sama dengan nelayan penumpang Tabel 4.24. Hal ini disebabkan nelayan tradisional mempunyai perilaku yang khas
dalam menjalankan usahanya, yakni perilaku yang mengutamakan “pemeratan resiko usaha”. Artinya dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, nelayan tradisional pemilik
perahu dengan nelayan penumpang mempunyai resiko yang sama terhadap kegiatan usaha yang mereka jalankan. Sehingga sistuasi ini sangat berpengaruh kepada sistem
bagi hasil yang berlaku di antara mereka, dimana nelayan tradisional yang memiliki perahu memperoleh bagian yang sama besarnya dengan nelayan penumpang, yakni
50 persen untuk nelayan pemilik perahu dan 50 persen untuk nelayan penumpang, setelah dipotong biaya produksi seperti membeli minyak solar dan perbaikan alat
tangkap. Selanjutnya ada beberapa pendangan yang mengatakan bahwa munculnya
kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan.
Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak
merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang Sumodiningrat, 1998 dalam Bahri 2008: 14. Dengan kata lain kemiskinan struktural
juga dikatakan sebagai “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan
masyarakat Kartasasmita, 1996: 236. Kaitannya dengan kebijakan yang pernah dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi kemiskinan nelayan, secara umum pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya telah melakukan pelatihan bagi nelayan yang ada di wilayahnya, seperti
pelatihan membuat kerupuk dari ikan yang diselenggarakan melalui dana bantuan dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan
dan Perikanan, meskipun tidak dikhususkan untuk nelayan tradisional. Namun kebijakan ini tidak membuat nelayan tradisional di Desa Padang Panjang menjadi
miskin, hanya saja kebijakan ini belum bisa melepaskan nelayan dari kungkungan kemiskinan. Begitu juga dengan kebijakan memberi bantuan alat tangkap kepada
nelayan tradisional, seperti perahu beserta alat tangkap, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam maupun Pemerintah Kabupaten
Aceh Barat Daya wawancara dengan Sekretaris Desa Padang Panjang. Bantuan itu tidak membuat nelayan tradisional di Desa Padang Panjang menjadi miskin, namun
karena teknologi yang digunakan masih tradisional, sehingga kemampuan produksinya terbatas, yang akhirnya bantuan tersebut tidak mampu meningkatkan
pendapatan nelayan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang bukan kemiskinan struktural. Artinya
kemiskinan itu tidak disebabkan oleh adanya perbedaan struktur sosial masyarakat dan muncul oleh adanya suatu kebijakan tertentu dari pemerintah.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap analisis masalah kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susuh Kabupaten
Aceh Barat Daya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang disebabkan oleh 3 tiga faktor yang sangat berpengaruh, yaitu: 1 faktor kualitas
sumber daya manusia; 2 Faktor ekonomi; dan 3 faktor kelembagaan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan,
tidak dimilikinya ketrampilan alternatif dan kurangnya pekerjaan alternatif sampingan oleh nelayan. Lemahnya ekonomi nelayan ditandai dengan tidak
dimilikinya aset-aset produksi seperti modal, tanah dan teknologi yang modern oleh nelayan. Sedangkan lemahnya peranan kelembagaan ditandai dengan masih
lemahnya peranan lembaga yang ada dalam meningkatkan ekonomi nelayan tradisional di Desa Padang Panjang, seperti halnya Koperasi KPNR yang hanya
bergerak di bidang usaha simpan pinjam. Seharusnya Koperasi KPNR juga membantu nelayan untuk memasarkan produk-produk laut dari hasil kerjanya.
Begitu juga dengan Balai Penyuluhan Pertanian khususnya bidang perikanan yang tidak pernah memberikan penyuluhan kepada nelayan, bahkan petugas yang
ditugaskan untuk memberi penyuluhan tidak pernah berada di tempat. Selanjutnya