Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan suatu proses yang terus-menerus dilaksanakan melaui suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Dengan kata lain pembangunan merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus dari kondisi yang sebelumnya tidak baik menjadi lebih baik. Berbicara masalah pembangunan, fokus perhatian kita selama ini selalu ditujukan kepada ukuran-ukuran kuantitatif seperti pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto PDRB, investasi, dan peningkatan pendapatan perkapita. Keberhasilan suatu proses pembangunan pun sering diasumsikan sebagai meningkatnya dan terjadinya redistribusi fisik dari membaiknya indikator-indikator perekonomian di atas. Pembangunan seharusnya merupakan arena untuk perluasan kebebasan subtantif subtantive freedom bagi setiap orang. Artinya pembangunan mengharuskan berbagai sumber non-kebebasan non freedom sources sudah seharusnya disingkirkan, yakni kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis, penelataran sarana umum dan intoleransi serta campur tangan rezim refresif yang berlebihan Sen dalam Teddy, 2007: 1. Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa tantangan pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin. Kualitas hidup yang baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi, namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari kesekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya Bank Dunia dalam Tadaro, 2000: 19. Pembangunan yang kita lakukan sejak orde baru hingga menjelang krisis yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang lalu telah menunjukkan hasil yang sangat signifikan dengan tujuan pembangunan, di mana Indonesia dapat dikatakan tergolong ke dalam negara yang berhasil dalam pembangunan. Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia telah mencatat prestasi yang mengesankan dalam pembangunan manusia. Kemampuan dicapai di berbagai bidang, mulai dari pengurangan kemiskinan, kesenjangan pendapatan hingga peningkatan harapan hidup dan kemampuan membaca dan menulis. Angka kematian bayi misalnya, menurun tajam sejalan dengan peningkatan akses terhadap sarana kesehatan dan sanitasi. Pada periode yang sama juga terjadi peningkatan peranan perempuan, perbedaan rasio pria dengan wanita di berbagai tingkat pendidikan semakin mengecil dan kontribusi wanita dalam pendapatan keluarga juga semakin membesar. Akan tetapi keberhasilan pembangunan itu hanya berlangsung pada tiga dekade itu saja. Keberhasilan pembangunan mulai kembali tidak dapat dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu pada tahun 1997. Di mana pada tahun itu pula telah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan bangsa Indonesia kembali terperangkap ke dalam kungkungan kemiskinan dan ketertinggalan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Krisis ekonomi tersebut telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin di Indonesia secara drastis. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari seluruh penduduk. Dan pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 36,2 juta jiwa atau sekitar 16,7 persen dari seluruh penduduk Kuncoro, 2006: 117. Selanjutnya pada tahun 2004-2008, angka penduduk miskin di Indonesia adalah: tahun 2005 sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen. Kondisi ini memburuk di tahun 2006 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75 persen, yang disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi dan kenaikan harga BBM. Namun berangsur-angsur kondisi ini terus membaik. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen. jumlah penduduk miskin sudah berkurang sebesar 2,21 juta jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2007, yang berjumlah 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen Sensenas, 2008. Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan, di mana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan Martadiningrat dalam Antara, 2008: 1. Padahal negara Indonesia adalah negara bahari yang pulau-pulaunya di kelilingi oleh lautan yang di dalamnya mengandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan. Di sisi lain nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam modernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern Sudrajad, 2008: 2. Namun dalam perkembangannya, justru nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti sebagaimana kelompok masyarakat yang lain. Keberadaan mereka sebagai agent of development ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Malah nelayan menjadi persoalan sosial yang paling dominan dihadapi di daerah pesisir oleh kemiskinannya. Sejak krisis moneter mulai merambah ke berbagai pelosok wilayah di Indonesia, salah satu golongan nelayan yang menerima efek langsung oleh krisis tersebut adalah nelayan tradisional boleh dikatakan adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi sosial ekonomi yang datangnya tiba-tiba dan berkepanjangan Sudarso, 2008: 1. Sedangkan bila dilihat dari tempat tinggalnya, pada umumnya nelayan tradisional berada dalam lingkungan sumberdaya laut yang kaya raya, namun mereka miskin. Sehingga Sudjatmoko 1995: 47 menyatakan kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional adalah kemiskinan struktural. Kusnadi 2002: 19 menyatakan kemiskinan yang diderita oleh masyarakat nelayan bersumber dari faktor-faktor sebagai berikut: Pertama; faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Kedua; faktor non-alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abat terakhir. Selanjutnya Kusnadi 2002: 2 menyatakan kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Adapun faktor-faktor tersebut adalah: Faktor internal, yakni; 1 keterbatasan kualitas sumber daya manusia; 2 keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3 hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; 4 kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; 5 ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6 gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Faktor eksternal, 1 kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi kepada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2 sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3 kerusakan akan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir; 4 penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 5 penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6 terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen;7 terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8 kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9 isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia. Kehidupan mereka sungguh memprihatinkan karena sebagai nelayan tradisional yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin mereka seringkali dijadikan objek ekploitatif oleh para pemilik modal. Harga ikan sebagai sumber pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagangtengkulak, sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan tradisional terpinggirkan, seperti munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan teknologi moderen. Mereka mampu menangkap ikan lebih banyak dibandingkan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional. Kehadiran lembaga ekonomi seperti koperasi belum sepenuhnya dapat membantu peningkatan taraf hidup nelayan tradisional. Hal ini ditandai dengan tidak adanya akses nelayan tradisional terhadap lembaga tersebut dalam memperoleh modal usaha. Ditambah lagi dengan pendapatan mereka yang tidak menentu membuat nelayan tergatung kepada pemilik modal yang tidak hanya sebatas kebutuhan modal usaha dan alat produksi, malah sampai kepada biaya kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2000 penduduk miskin berjumlah 1.101.368 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk. Kemudian kemiskinan di Aceh sedikit meningkat pasca terjadinya bencana alam tsunami, yakni dari 28,4 persen pada tahun 2004 mencapai 32,6 persen pada tahun 2005. Selanjutnya tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun 2006 hingga mencapai 26,5 persen, lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas rekonstruksi yang dilakukan oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi BRR Aceh-Nias, NGO dan lembaga sosial internasional lainnya. Walaupun demikian, kemiskinan di Aceh tetap jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kemiskinan tingkat kabupaten menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi merupakan daerah yang berada di pedalaman pedesaan dan kabupaten-kabupaten yang lebih terpencil, sementara wilayah-wilayah sekitar Banda Aceh memiliki tingkat kemiskinan paling rendah Amsberg, 2008: 8. Kabupaten Aceh Barat Daya sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tahun 2008 mempunyai penduduk miskin berjumlah 30.919 jiwa atau 23 persen dari jumlah penduduk Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, 2008. Persentase angka kemiskinan ini lumayan tinggi bila dibandingkan dengan persentase angka rata-rata penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2008 yang berjumlah 15,42 persen. Salah satu kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin tertinggi di Kabupaten Aceh Barat Daya adalah Kecamatan Susoh. Menurut Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Aceh Barat Daya 2008, penduduk miskin di Kecamatan Susoh pada tahun 2008 berjumlah 6.450 jiwa atau 37,11 persen dari jumlah penduduk. Untuk memberikan informasi yang lebih jelas tentang angka-angka jumlah penduduk miskin di masing-masing kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat Daya, maka data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini: Tabel 1.1 : Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2008 Kecamatan Jlh. Penduduk Jiwa Jlh. Penduduk Miskin Jiwa Persentase Lembah Sabil 8.250 1.750 1 Manggeng 20.972 4.447 3 Tangan-Tangan 17.394 3.807 3 Setia 7.202 1.550 1 Blangpidie 22.593 2.267 2 Susoh 17.382 6.450 5 Jeumpa 9.285 950 1 Kuala Batee 16.549 4.290 3 Babahrot 16.201 5.408 4 Jumlah 135.828 30.319 23 Sumber: Data Sekunder Tahun 2008 Desa Padang Panjang merupakan salah satu desa dalam Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya dengan jumlah penduduk 718 jiwa, yang terdiri dari 167 kepala keluarga. Dari 167 kepala keluarga terdapat 86 kepala keluarga tergolong sebagai masyarakat miskin, dan dari 86 kepala keluarga tersebut di dalamnya terdapat 51 kepala keluarga nelayan tradisional Propil Desa.

1.2. Perumusan Masalah