Indikator Kemiskinan Faktor-faktor Kemiskinan

2.1.3. Indikator Kemiskinan

Menurut Suryawati 2005: 124 menyatakan ada beberapa metode pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu: a. Biro Pusat Statistik BPS. Tingkat kemiskinan didasarkan kepada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah, dan konsumsi non makanan dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan. b. Sajogyo. Tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Daerah pedesaan: a Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun. Daerah perkotaan: a Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c. Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US 1 per hari.

2.1.4. Faktor-faktor Kemiskinan

Kemiskinan bukanlah suatu hal yang dikehendaki, akan tetapi lebih diakibatkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan orang terjebak ke dalam jurang kemiskinan, baik itu berupa faktor alamiah maupun faktor buatan manusia itu sendiri. Tidak semua orang sependapat dalam memberi jawaban atas sebab dari kemiskinan. Secara umum banyak orang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah karena kemalasan, gaya hidup boros tidak memikirkan masa depan, pasrah pada keadaan, tidak punya keinginan untuk hidup lebih baik dan berbagai sikap yang tidak bertanggung jawab lainnya. Kemiskinan merupakan konsekuensi dari hidup yang penuh dengan persaingan, sehingga hanya yang kuatlah yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan. Artinya mereka-mereka yang mempunyai akses terhadap modal, pengetahuan, penguasaan teknologi dan informasilah yang berhasil dalam persaingan tersebut. Hardiman dan Midgley 1982 dalam Kuncoro 2006: 119 mengatakan “Kemiskinan massal yang terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia ke II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar permasalahannya”. Selanjutnya Sharp, et,al 1996 dalam Kuncoro 2006: 120 mengatakan penyebab kemiskinan bila diidentifikasikan berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah: Pertama; secara mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua; kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung adanya diskrimanasi. Ketiga; kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurske dalam Kuncoro 2006: 120 ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas, mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi kapada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat kepada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika berfikir Nurkse tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut: Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse Kuncoro, 2006: 120 Kartasasmita 1996 dalam Yenny 2006: 16 mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut adalah: 1 rendahnya taraf pendidikan; 2 rendahnya taraf kesehatan; 3 terbatasnya lapangan kerja; dan 4 kondisi keterisolasian. Asnawi 1994 dalam Yenny 2006: 17 menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: 1 faktor sumber daya manusia; 2 faktor sumber daya alam; dan faktor teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan, dependensi ratio, nilai sikap, partisipasi, ketrampilan pekerjaan, dan kesemuanya itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri. Selanjutnya Sigit 1993: 11 menjelaskan kesehatan yang baik, pendidikan dan ketrampilan yang tinggi akan dapat meningkatkan produktivitas dan selanjutnya Ketidaksempurnaan pasar, Keterbelakangan, ketertinggalan Kekurangan Modal Produktivitas Rendah Pendapatan Rendah Tabungan Rendah Investasi Rendah akan dapat pula meningkatkan pendapatan. Selain itu tingkat pendapatan juga ditentukan oleh penguasaan aset produksi. Sejalan dengan itu, dalam hal tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan di laut latar pendidikan seseorang nelayan memang tidak penting. Artinya karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seorang nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan Kusnadi 2002: 30. Berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki oleh nelayan, Sudarso 2008: 7 menyatakan “akibat tidak memiliki ketrampilan yang memadai juga karena tidak dimilikinya aset produksi yang cukup, maka upaya untuk mencari pekerjaan baru bagi seorang nelayan tradisional yang miskin jelas bukan hal yang mudah dilakukan”. Seterusnya Salim 1984: 40 menyatakan bahwa kemiskinan tersebut melekat atas diri penduduk miskin, mereka miskin karena tidak memiliki aset produksi dan kemampuan untuk meningkatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki aset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran kemiskinan tanpa ujung dan pangkalnya. Secara kongkrit Hadiwageno dan Pakpahan 1992: 25 berpendapat bahwa kemiskinan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1 sumber daya alam yang rendah; 2 teknologi dan unsur pendukung yang rendah; 3 sumber daya manusia yang rendah; dan 4 sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik. Sedangkan bagi masyarakat pasisir, para pakar ekonomi sumber daya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya. Subade dan Abdullah 1993 dalam Bengen 2001: 18 “mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan”. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Panayotou 1982 dalam Bengen 2001: 18 “mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu preference for a particular way oflife”. Pendapat Panayotou ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah 1993 dalam Bengen 2001: 18 dengan menekankan bahwa “nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya”. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu. Selanjutnya Kusnadi 2002: 19 pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan yang membelenggu nelayan tradisional di berbagai segi kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional disebabkan oleh sejumlah faktor kelemahan, yaitu: Pertama, sebab-sebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal yang mencakup; 1 keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan; 2 keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3 hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; 4 kesulitan melakukan diverifikasi usaha penangkapan; 5 ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6 gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Kedua, sebab-sebab kemiskinan yang bersifat eksternal, mencakup: 1 kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; 2 sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; 3 kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pancemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; 4 penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 5 penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6 terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen; 7 terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8 kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9 isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.

2.2. Pendapatan