Kemiskinan Kultural Bentuk Kemiskinan Nelayan Tradisional

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang dapat digolongkan ke dalam bentuk kemiskinan natural.

4.4.2. Kemiskinan Kultural

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatannya rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Dengan kata lain mereka miskin disebabkan karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lainnya. Pernyataan di atas signifikan dengan yang terjadi pada keluarga nelayan tradisional di Desa Panjang, di mana budaya malas, tidak disiplin dan boros ini tercermin dalam sikap dan kebiasaan keluarga nelayan itu sendiri seperti dalam hal pemanfaatan waktu senggang, pengeluaran terhadap konsumsi rumah tangga dan budaya setempat. Dalam hal pemanfaatan waktu luang, nelayan tradisional lebih cenderung malas, karena banyak waktu setelah melaut dan kalau tidak melaut digunakan untuk kegiatan duduk-duduk santai di warung kopi, bukan melakukan pekerjaan sampingan yang dapat menambah pendapatan keluarga. Sebenarnya banyak pekerjaan sampingan yang bisa dikerjakan meskipun dengan pendidikan dan ketrampilan yang terbatas, seperti salah satunya ialah bekerja sebagai buruh pada proyek-proyek yang dilaksanakan di Kecamatan Susoh, tapi mereka dengan berbagai alasan tidak mau melakukannya, bahkan mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diperolehnya dari bekerja sebagai nelayan tradisional. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 51 responden tentang kegiatan yang dilakukan oleh nelayan ketika pulang dan tidak ke laut, diketahui bahwa umumnya nelayan menghabiskan waktunya dengan duduk di warung kopi dan hanya sebagian kecil yang memanfaatkan waktu senggangnya dengan melakukan pekerjaan sampingan. Untuk mengetahui tentang jumlah nelayan menurut pemanfaatan waktu senggang, dapat dilihat pada Tabel 4.29 berikut ini: Tabel 4.29 : Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Pemanfaatan Waktu Senggang di Desa Padang Panjang Pemanfaatan Waktu Senggang Jumlah Persentase Menghabiskan waktu di warung kopi 35 68 Kadang-kadang duduk di warung kopi 4 8 Bekerja sampingan 12 24 Jumlah 51 100 Sumber: Data Primer Tahun 2009 Tabel 4.29 menjelaskan bahwa 68 persen responden menghabiskan waktunya di warung kopi, 8 persen responden kadang-kadang duduk di warung kopi, dan hanya 24 persen responden yang memanfaatkan waktu senggangnya dengan melakukan pekerjaan sampingan. Selanjutnya dari segi konsumsi rumah tangga terhadap jenis barang dan jasa, nelayan tradisional di Desa Padang Panjang tergolong konsumtif untuk ukuran keluarga yang penghasilannya di bawah garis kemiskinan. Sehingga tidak heran bagi kita bila menemukan adanya jenis-jenis konsumsi barang dan jasa tertentu yang kurang wajar dibelanjakan oleh nelayan tradisional yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan, seperti merokok dan ngopi di warung kopi. Karena mengkonsumsi kedua jenis barang dan jasa tersebut tidak termasuk ke dalam kebutuhan pokok yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh sebuah keluarga untuk bisa menjalani hidupnya. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan RI Nomor: 115mppkep21998 tanggal 27 Ferbruari 1998. Menjelaskan bahwa ada 9 sembilan jenis bahan pokok sembako yang dibutuhkan oleh masyarakat di Indonesia yang terdiri dari: 1. beras; 2 gula pasir; 3 minyak goreng dan margarin; 4 daging sapi dan ayam; 5 telur ayam; 6 susu; 7 jagung; 8 minyak tanah; dan 9 garam berjodium. Kaitannya dengan konsumsi barang dan jasa tersebut. Ironisnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua jenis konsumsi itu lumayan besar, dibandingkan dengan biaya untuk kebutuhan pakaian sandang, pendidikan anak, transportasi, dan biaya listrik. Di mana biaya untuk membeli rokok rata-rata per bulan mencapai Rp. 78.000.- Tabel 4.9 dan biaya untuk hiburan ngopi di warung mencapai Rp. 60.000.- rata- rata per bulan Tabel 4.9. Padahal untuk menghematkan biaya mereka tidak perlu ngopi di warung, karena bisa dilakukan di rumah bersama dengan keluarga. Selanjutnya untuk memberikan gambaran yang jelas tentang jumlah nelayan tradisional yang mengkonsumsi rokok di Desa Padang Panjang, datanya dapat dilihat pada Tabel 4.30 berikut ini: Tabel 4.30 : Jumlah Nelayan Tradisional yang Mengkonsumsi Rokok di Desa Padang Panjang. Konsumsi Rokok Jumlah Persentase Merokok 46 90 Kadang-kadang merokok 5 10 Tidak merokok - Jumlah 51 100 Sumber: Data Primer Tahun 2009 Tabel 4.30 menjelaskan 90 persen responden mengkonsumsi rokok, dan 10 persen responden kadang-kadang merokok. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya nelayan tradisional di Desa Padang Panjang mengkonsumsi rokok. Selain itu besarnya pengeluaran juga disebabkan oleh adanya budaya adat yang berlaku di Desa Padang Panjang, yakni kegiatan-kegiatan adat yang menyebabkan keluarga nelayan mengeluarkan biaya besar untuk kegiatan itu, seperti halnya pesta perkawinan, sunatan, turun ke tanah bagi anak bayi, menengok orang beranak bagi ibu-ibu, lepas nazar, orang meninggal dan lain sebagainya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan kepada 51 responden tentang keikutsertaan keluarga nelayan dalam setiap kegiatan adat, maka diperoleh data bahwa pada umumnya keluarga nelayan tradisional selalu ikut pada setiap kegiatan adat. Untuk mengetahui jumlah nelayan tradisional yang ikut serta pada setiap kegiatan adat yang berlangsung di Desa Padang Panjang, datanya dapat dilihat pada Tabel 4.31 berikut ini: Tabel 4.31 : Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Keikutsertaan dalam Kegiatan Adat di Desa Padang Panjang Keikutsertan dalam Kegiatan Adat Jumlah Persentase Selalu ikut serta dalam setiap kegiatan adat 49 96 Kadang-kadang ikut dalam kegiatan adat 2 4 Tidak pernah ikut serta dalam kegiatan adat - Jumlah 51 100 Sumber: Data Primer Tahun 2009 Tabel 4.31 menjelaskan bahwa 96 persen responden menjawab selalu ikut serta dalam setiap kegiatan adat, dan hanya 4 persen menjawab responden kadang-kadang ikut serta dalam kegiatan adat. Sehingga tidak haran bagi kita bila melihat dari berbagai jenis pengeluaran nelayan tradisional, pengeluaran untuk kegiatan adat merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah biaya untuk kebutuhan pokok, yakni Rp. 100.000.- per bulan Tabel 4.9. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang termasuk ke dalam bentuk kemiskinan kultural.

4.4.3. Kemiskinan Struktural