Santri Sekilas Tentang Kitab Kuning

orangtua, dan selanjutnya menjadi “Kyai” yang artinya adalah orang yang dituakan terutama dalam bidang keagamaan. Seorang kyai dianggap memiliki pengetahuan agama yang tinggi kemudian datanglah santri yang ingin belajar agama kepadanya. Oleh karena semakin banyak santri yang ingin belajar kepadanya kyai pun mendirikan pondok pesantren. Tanah tempat berdirinya pesantren biasanya milik pribadi kyai atau merupakan tanah yang diwakafkan dan dana operasionalnya pun pada awalnya berasal dari masyarakat, sehingga tidak heran guru yang mengajar di pesantren tidak bayar dengan uang atau memiliki kerja sampingan. Dalam sebuah pesantren kekuasaan dan peran seorang kyai sangat besar. Segala keputusan di pesantren sepenuhnya berada di tangan kyai, baik dalam penyusunan kurikulum, metode dan peraturan lainnya yang berlaku di dalam pesantren. Seorang kyai tidak hanya dihormati dan disegani oleh santri tapi juga oleh masyarakat karena kyai dianggap sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT, doa mereka lebih makbul sehingga tidak heran jika kemudian banyak masyarakat mempercayakan penyelesaian permasalahan kehidupan mereka seperti mencarikan jodoh, memberi jodoh, mengobati penyakit, memberi nama anak dsb.

2.2.2 Santri

Santri merupakan sebutan umum pengganti siswa atau murid pada sekolah- sekolah non pesantren 5 . Pada umumnya santri mewakili kelompok siswa usia SMP dan SMU, dengan pengecualian beberapa pesantren juga ada membina santri sendiri. Santri dapat dibagi menjadi dua, yaitu santri mukim dan santri kalong 6 . Santri mukim adalah santri yang selama 24 jam berada di bawah pengawasan dan tanggung 5 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS. 1989, hal. 136 6 Model pesantren ini biasanya dilakukan oleh pendidikan pesantren tradisional. Universitas Sumatera Utara jawab pesantren, mereka semuanya wajib mengikuti seluruh kegiatan atau aktivitas yang diselenggarakan pesantren sementara santri kalong adalah santri yang belajar di pesantren bedanya mereka tidak menginap di pesantren.

2.2.3 Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab- kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Quran dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalam aba pertengahan yaitu antara abad ke-12 sampai dengan abad ke-15 atau lazim disebut dengan “KITAB KUNING” Dalam sebuah pesantren metode yang lazim digunakan ada 3 yaitu:

1. Wetonan

Wetonan adalah metode kuliah para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing dan dicatat bila perlu. Istilah weton berasal dari kata waktu Jawa, yang berarti waktu, karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fardu. Di Jawa Barat metode ini disebut Bandongan, sedang di Sumatera sebut dengan Halaqah. System ini juga dikenal dengan sebutan Balaghan, yaitu belajar secara kelompok grup, yang diikuti oleh seluruh santri. Universitas Sumatera Utara

2. Sorogan

Metode sorogan ialah suatu metode dimana seorang santri menghadap guru atau kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan maksudnya. Santri menyimak bacaan kyai dan mengulanginya sampai memahaminya. Istilah Sorogan berasal dari kata Sorog yang berarti menyodorkan kitab ke depan kyai atau asistrennya. Menurut Dhofier, metode sorogan ini merupakan metode yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional sebab sistem ini memerlukan kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri, namun metode ini juga diakui paling intensif karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.

3. Hafalan

Metode hafalan ialah metode santri menghapal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghapal ini diajarkan dalam bentuk syair atau nazham. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghapal, baik ketika sedang belajar maupun disaat berada di luar jam belajar. Kebiasaan menghapal, dalam sistem pendidikan pesantren, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak awal berdirinya. Hapalan tidak hanya terbatas pada ayat-ayat Al-Quran dan hadist maupun nazham tetapi juga isi atau kitab tertentu karena itu pula oleh sebahagia kyai diajarkan secara berangsur, kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar apa yang diajarkannya.

2.2.4 Sekilas Tentang Kitab Kuning

Universitas Sumatera Utara Kitab, merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan ini membedakannya dengan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain huruf Arab, yang disebut buku. Adapun kitab yang menjadi sumber belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional semacamnya disebut “Kitab Kuning” KK. Sebutan “kuning” adalah karena kertas yang digunakan berwarna kuning mungkin karena sudah berumur lama kitab kuning juga disebut kitab kuno. Istilah kitab kuning ini selanjutnya menjadi nama jenis literatur dan menjadi karakter fisik. Sebagai sumber belajar kitab kuning telah dipergunakan sejak abad ke XVI, meskipun tradisi cetak belum tersebar di Indonesia. Kitab kuning yang dipelajari dalam pengajian kitab memiliki corak yang berbeda dari abad ke abad, meskipun kitab yang dipelajari sejenis kelompok kitab karya abad pertengahan Islam. Sejalan dengan corak Islam yang pertama kali masuk di Indonesia, kitab yang dipelajari sekitar abad 17 bercorak mistik tasawuf, khusunya paham tasawuf falsafi Wahdat al-Wujud, seperti kitab al- Tuhfah al- Mursalat ila Ruh al-Nabi ditulis tahun10000590 oleh Syekh Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri yang mengajarkian paham Martabat Tujuh. Di Jawa pada abad ke-16 berkembang paham Manunggaling Kawula Gusti yang dianut oleh Syeik Siti Djenar. Meskipun demikian, pada awal abad ke-17 dipelajari juga kitab figh Taqrib karya Abu Suja’ al Isfahani dan karya anonim al-Idhah. Kedua kitab tersebut masih digunakan sampai sekarang. Dalam buku Van Bruinessen tercata ada 900 kitab kuning yang berbeda-beda. Dari kitab tersebut sekitar 500 karya berbahasa Arab, 200 karya berbahasa Melayu, 120 karya berbahasa Jawa, 35 karya berbahasa Sunda, 25 karya berbahasa Madura Universitas Sumatera Utara dan 5 karya berbahasa Aceh. Kitab kuning dibagi kedalam tiga kelompok yaitu: 1. Kitab Dasar, 2. Kitab Menengah dan 3. Kitab Besar. Diantara kitab popular yang digunakan kurikullum, termasuk Kitab Dasar adalah Bina’ Sharf, Awawil Nahwu, Aqidat al-Awwanm Akidah dan Washaya Akhlak. Untuk Kitab Menengah meliputi kitab Amsilat al Tashrifiyah sarf Tsanawiyah, Kailani Maqshud sarf Aliyah dsb. Untuk kitab Besar meliputi kitab Jam’u al-Jawawi, al Asyibah wa al- Nadho Ushul Fiqh dsb. Kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses oleh kalangan “tradisionis” yang memberi penghargaan tinggi pada kitab dan pengarangnya dan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikannya sebagaimana adanya. Sedangkan kalangan “modernis” kurang mengakses kitab kuning ini. Pada umumnya mereka cenderung menggunakan sumber belajar yang disusun sendiri oleh para pengajar dengan cara mengambil substansi kitab ini, atas dasar pertimbangan efesiensi dan efektifitas mempelajarinya. 7

2.2.5 Sistem Pendidikan Pesantren