82 ekosistem terumbu karang adalah Laticauda colubrina, Laticauda semifasciata,
Aipysurus laevis, Astoria stokesii dan Enhydrina schistosa. Jenis ular laut yang ditemukan di luar perairan terumbu karang yaitu Hydrophis fasciatus, Hydrophis sp.,
dan Pelamis platurus. Dua jenis ular laut penghuni terumbu karang yaitu Laticauda colubrine dan Laticauda semifasciata merupakan jenis ular laut yang umum
ditemukan di perairan pesisir dan laut Seram. Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006.
Ikan a.
Ikan Pelagis
Beberapa jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan wilayah Teluk Piru berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan nelayan di
lapangan terdiri dari ikan komutongkol Auxis thazard, momarlayang Decapterus spp, kawalinyaselar Selar spp., lemakembung Rastrelliger spp., makesardin
Sardinela spp., dan ikan puri Stolephorus spp.. Di wilayah Huamual Belakang, jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap oleh nelayan adalah ikan
kawalinyaselar Selar spp., lemakembung Rastrelliger spp., momarlayang Decapterus spp. dan beberapa jenis lainnya.
Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan wilayah ekologis Kotania terdiri dari ikan momarlayang Decapterus spp., kawalinyaselar Selar spp.,
lemakembung Rastrelliger spp., komutongkol Auxis thazard, dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan nelayan, diketahui
bahwa jenis-jenis ikan pelagis yang sering tertangkap di perairan Seram Barat Utara terdiri dari ikan komutongkol Auxis thazard, kawalinyaselar Selar spp.,
momarlayang Decapterus spp. dan beberapa jenis lainnya. Sedangkan jenis-jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap oleh nelayan terdiri dari ikan
momarlayang Decapterus spp., kawalinyaselar Selar spp., komutongkol Auxis thazard, makesardin Sardinela spp., lemakembung Rastrelliger spp., terbang
Cypsillurus spp. dan lain-lain Rencana Tata Ruang Pesisir Seram Bagian Barat, 2006.
b. Ikan Demersal
Jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Teluk Piru terdiri dari ikan garopakerapu Epinephelus spp., kakatua Scarus spp., salmaneti Upeneus spp.,
83 samandarbaronang Siganus lineatus, Siganus canaliculatus, silapa Pristipomoides
spp., sikuda Lethrinus spp., bae Etelis spp., paperek Leiognthua spp., dan jenis- jenis lainnya.
Di perairan Huamual Belakang, Jenis-jenis ikan demersal yang dominan ditangkap oleh nelayan di wilayah ini, terdiri dari ikan kakap Lutjanus spp., ikan kerapu
Epinephelus spp dan Cephalopholis spp, ikan kapas-kapas Gerres spp., dan ikan salmanetibiji nangka Parupeneus spp.. Terkadang juga di wilayah ini tertangkap ikan
napoleon Cheilinus undulatus. Sedangkan d
i perairan Teluk Kotania, banyak jenis ikan demersal yang biasanya ditangkap oleh nelayan. Jenis-jenis ikan demersal yang
ditangkap oleh nelayan di wilayah ini terdiri dari ikan garopakerapu Epinephelus spp, sikuda Lethrinus spp., samandarbaronang Siganus lineatus, Siganus
canaliculatus, ikan gurara Lutjanus spp., biji nangka Parupeneus spp., kapas- kapas Gerres spp., gaca Lutjanus spp., serta jenis-jenis lainnya.
Jenis-jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Selat Seram terdiri dari ikan garopakerapu Epinephelus spp., kulit pasir Naso spp., lalosi Caesio spp.,
sebelah Psetoides erumei, bae Etelis spp., biji nangka Parupeneus spp., kapas- kapas Gerres spp., kerapu Epinephelus spp., gaca Lethrinus spp., bambangan
Lutjanus spp., sikuda Lethrinus spp., ikan bae Etelis spp., dan lain-lain. Rencana Tata Ruang Pesisir SBB, 2006.
Keanekaragaman ikan-ikan seperti di atas karena hutan mangrove mempunyai relung niche ekologis yang khas dan sangat cocok untuk kehidupan organisma lain
termasuk ikan. Kekhasan lingkungan tersebut antara lain tersedianya unsur hara yang melimpah, penetrasi sinar matahari tidak terlalu kuat, salinitas air tidak terlalu tinggi,
fluktuasi suhu air tidak terlalu besar, arus air relatif lemah dan memungkinkan untuk berlindung dari gangguan hama. Kondisi tersebut memberikan peluang bagi kegiatan
perlindungan, mencari makan dan juga bagi pemijahan organisma termasuk ikan.
Krustasea
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kelompok krustasea yang dijumpai di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah kepiting bakau yang ditemukan disekitar
perairan hutan bakau Teluk Pelita Jaya Seram Barat. Kepiting bakau yang ditemukan terdiri dari 3 species yaitu Scylla serrata dengan potensinya sebesar
84 3.850 ind.ha, kemudian S. tanquebarica 4.900 ind.ha dan S. oceanica dengan nilai
potensi sebesar 4.000 ind.ha.
6.1.5. Perubahan Penutupan Lahan Land cover
Perubahan lahan dapat dideteksi dengan melakukan pendekatan spasial menggunakan metoda perbandingan citra hasil klasifikasi antara dua citra yang
direkam dalam dua waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM + liputan tanggal 20 Maret
2003 dan citra Landsat 7 ETM + liputan tanggal 19 Oktober 2005 diperoleh luasan dari penutupan lahan mangrove serta perubahannya pada rentang waktu 2 tahun di
Kabupaten Seram Bagian Barat. Analisis perubahan penutupan lahan yang didasarkan pada overlay data citra Landsat 7 ETM + tahun 2003 dan tahun 2005
menunjukkan perbedaan penutupan lahan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat, dimana pada tahun 2003 luasan lahan mangrove sebesar 2363,3 Ha, sedangkan
tahun 2005 luasan lahan mangrove menjadi 2189,3 Ha Gambar 9-13.
85 Gambar 8. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat
Sumber : Badan Planologi Dinas Kehutanan Propinsi Maluku 2008
Gambar 9. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kabupaten Seram Bagian Barat
Sumber : Hasil analisis data sekunder 2008
86 Gambar 10. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kecamatan Seram Barat
dan Huamual Belakang
Sumber : Hasil analisis data sekunder 2008
87 Gambar 11. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kecamatan Seram Barat
Sumber : Hasil analisis data sekunder 2008
88 Gambar 9. Peta penyebaran hutan mangrove di sebagian Kecamatan Seram Barat
Sumber : Hasil analisis data sekunder 2008
Gambar 12. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Sebagian Kecamatan Seram
Barat
Sumber : Hasil analisis data sekunder 2008
89 Gambar 13. Peta Penyebaran Hutan Mangrove di Kecamatan Kairatu
Sumber : Hasil analisis data sekunder 2008
Luasan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat dalam waktu dua tahun terjadi penyusutan lahan mangrove sebesar 174 Ha atau sekitar 7,4
, hal ini berdampak pada perubahan penutupan lahan mangrove, karena adanya eksploitasi mangrove oleh masyarakat lokal yang tidak terkendali, perluasan
permukiman, perkebunan dan pembukaan tambak. Namun apabila dibandingkan tingkat penyusutan lahan mangrove dengan luasan mangrove yang ada tidak terlalu
90 besar kerusakannya. Dari hasil citra landsat, penyusutan lahan mangrove terbesar
karena eksploitasi mangrove oleh masyarakat sekitar, akibatnya hutan mangrove menjadi rusak. Perkembangan penduduk yang bergerak cepat diikuti dengan
kebutuhan hidup yang semakin meningkat, menyebabkan aktifitas manusia memanfaatkan hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga berdampak
pada kerusakan hutan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso 2008 yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan yang
tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan perkebunan,
tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
Kerusakan hutan mangrove dapat mengurangi fungsi mangrove secara fisik, biologi maupun sosial ekonomi. Mengingat hutan mangrove sebagai suatu ekosistem
di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem- ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem terumbu
karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuari yang saling berpengaruh antara ekosistem yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya
kerusakangangguan pada ekosistem hutan mangrove tentu saja akan mengganggu keseimbangan ekosistem yang lain dan secara langsung maupun tidak langsung dapat
mengganggu kehidupan mahkluk hidup lainnya. Disamping itu kerusakan hutan mangrove dapat mempengaruhi pendapatan masyarakat pesisir khususnya para
nelayan, karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.
Kerusakan-kerusakan tersebut secara umum juga akan sangat berpengaruh pada perubahan iklim, terutama keselamatan penduduk di sepanjang pantai atau pesisir,
karena potensi kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim akan mengancam
kawasan pesisir. 6.2. Kondisi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove
Dalam penelitian ini, valuasi ekonomi difokuskan pada nilai manfaat langsung direct use value, mengingat tujuan dari valuasi ekonomi ini hanya untuk memenuhi
91 kriteria penyusunan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove, sehingga tidak
mengevaluasi total nilai ekonomi hutan mangrove.
Manfaat langsung Direct use value
Manfaat langsung direct use value berhubungan dengan output langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Manfaat langsung diperoleh melalui pendekatan nilai pasar dari berbagai produk komoditas hutan mangrove yang diliput
di lokasi penelitian, yang meliputi: pemanfaatan hasil hutan pengambilan kayu dan pembibitan mangrove; pemanfaatan hasil perikanan penangkapan ikan, udang dan
kepiting ; pemanfaatan tambak kepiting. Nilai manfaat langsung direct use value yang diperoleh dari setiap kegiatan,
berdasarkan analisis ekonomi menunjukkan nilai manfaat ekosistem hutan mangrove sebesar Rp 7.445.373,01 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional dari
masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove sebesar Rp 4.348.114,94 per hektar per tahun, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 3.097.258,07 per hektar
per tahun Tabel 9.
Kayu bakar
Kayu mangrove di lokasi penelitian umumnya digunakan masyarakat untuk keperluan kayu bakar, bahan bangunan, pembuatan tiang pancang dan untuk
pembuatan bagan. Menurut Anwar 2009, jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena
menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 12.600,m
2
yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm
cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak
melambung tinggi.
92 Tabel 9. Rekapitulasi Analisis Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem
Mangrove di Lokasi Studi
No. Jenis Pemanfaatan
Biaya RpHaTh
Nilai Manfaat RpHaTh
Keuntungan RpHaTh
1 2
3 4
5 Kayu bakar
Bibit mangrove Ikan
Kepiting Udang
491.685,36 2.031,06
2.226.801,51 1.053.272,97
574.324,04 646.892,06
642.639,53 3.027.641,44
2.052.638,26 1.075.561,72
155.206,70 640.608,47
800.839,93 999.365,29
501.237,68
Sumber : Hasil analisis data primer 2008
Pengambilan dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai kayu bakar pada ekosistem hutan mangrove oleh masyarakat nelayan, setelah dilakukan valuasi
ekonomi berdasarkan hasil pengambilan kayu dan harga di pasaran, diperoleh nilai manfaat kayu mangrove dengan periode pengambilan kurang lebih 17 kali per tahun,
jumlah kayu yang diambil sekitar 104 meter kubik per tahun, harga rata-rata Rp 12.600 per meter kubik, rata-rata manfaat kayu bakar yang diperoleh sebesar Rp
21.840.000 per tahun. Analisis nilai manfaat langsung setelah dikuantifikasi dengan seluruh biaya pengeluaran diperoleh sebesar Rp 646.892,06 per hektar per
tahun dengan keuntungan sebesar Rp 155.206,70Hatahun Lampiran 7. Bibit Mangrove
Pengambilan bibit mangrove yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian dengan cara mengambil propagul yang telah jatuh di bawah pohon induk, bibit
mangrove yang tumbuh secara alami dilakukan penjarangan untuk dipindahkan di polibag, dimana kantong yang telah berisi bibit ditempatkan di pinggir pantai sekitar
vegetasi induknya, pengambilan bibit mangrove ini dilakukan pada hutan mangrove di dusun Pelita Jaya Kecamatan Seram Barat. Frekwensi pengambilan bibit mangrove
dilakukan sekitar 2 sampai 4 kali per tahun, jumlah bibit yang dikumpulkan sekitar 2500 pohon per orang dengan harga Rp 1.350 per pohon. Sesuai hasil analisis
valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengambilan bibit mangrove, dengan menjumlahkan seluruh manfaat yaitu sekitar Rp
642.639,53 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 640.608,47 per hektar per tahun Lampiran 8.
93
Ikan
Sebagian masyarakat pesisir yang ada di lokasi penelitian termasuk kelompok penangkapan tradisional, yaitu penangkapan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Di lokasi penelitian, daerah penangkapan ikan dilakukan di sekitar hutan mangrove atau dengan jarak tertentu dari garis pantai, dengan menggunakan
alat tangkap yang bervariasi seperti : jaring, baganperahu, serok dan pancing. Hasil tangkapan sebagian dipasarkan di luar dusun atau dijual sebagai umpan kepada
nelayan penangkap kepiting bakau. Sarana yang digunakan sebagian besar adalah perahu kecil yang bermotor tempel 5 PK atau perahu dayung dengan alat tangkap
pancing. Jenis tangkapan ikan adalah ikan baronang, ikan selar, ikan kembung, ikan tenggiri dan ikan layang. Bagi nelayan dengan modal yang memadai biasanya
mengkhususkan tangkapan pada ikan umpan seperti ikan teri, anak ikan kembung, ikan sarden dan lain-lain dengan alat tangkap bagan, sistem pemasarannya lebih
mudah, karena akan langsung dibeli oleh kapal-kapal penangkap ikan tuna. Dari hasil wawancara dengan para nelayan di lokasi penelitian, harga ikan di pasaran adalah Rp
3.000 sampai Rp 45.000 per kg, frekuensi rata-rata pengambilan ikan oleh masyarakat 258 trip per tahun dan hasil tangkapan ikan rata-rata sekitar 1081,67 kilogram per
tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap sekitar Rp 3.027.641,44 per
hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 800.839,93 per hektar per tahun Lampiran 9.
Udang
Masyarakat wilayah pesisir di lokasi penelitian umumnya melakukan penangkapan udang di sekitar ekosistem mangrove, dengan menggunakan jaring dan
alat pancing sederhana. Harga jual udang di pasaran sekitar Rp 10.000 per kilogram, frekuensi penangkapan udang yang dilakukan masyarakat 190 trip per tahun dan hasil
tangkapan rata-rata sekitar 691,67 kilogram per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung udang yang
tertangkap sekitar Rp 1.075.561,72 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 501.237,68 per hektar per tahun Lampiran 10.
94
Kepiting
Sumberdaya kepiting bakau merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui dan berpeluang ekspor karena mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hasil tangkapan
kepiting bakau cukup tinggi, khususnya di Kecamatan Huamual Belakang Dusun Maseka Jaya, hal ini terlihat dari ukuran panjang alat karapas yang digunakan yang
sesuai untuk diekspor. Di kecamatan Seram Barat hasil tangkapan kepiting juga cukup tinggi, namun umumnya penangkapan kepiting dilakukan dengan
menggunakan bubu. Jenis-jenis kepiting yang sering tertangkap adalah jenis Scylla tranquebarica, Scylla serrata dan Scyla oceanica. Hasil tangkapan kepiting dalam
jumlah besar dijual ke pasar dan sering juga dipesan langsung oleh konsumen. Harga jual kepiting di pasaran adalah sekitar Rp 10.000 sampai Rp 45.000 per kilogram,
frekuensi penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat sekitar 23 trip per tahun, hasil tangkapan rata-rata sekitar 600 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh
nelayan sekitar Rp 33.000.000 per tahun. Hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kepiting yang
tertangkap sekitar Rp 2.052.638,26 per hektar per tahun, dengan keuntungan yang diperoleh nelayan sekitar Rp 999.365,29 per hektar per tahun Lampiran 11.
Pengelolaan ekosistem hutan mangrove bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan adanya valuasi ekonomi yang tepat
guna mengetahui nilai manfaat ekosistem hutan mangrove tersebut. Manfaat ekosistem hutan mangrove secara langsung berhubungan dengan output yang dapat
dikonsumsi masyarakat, misalnya makanan, biomas, kesehatan dan rekreasi. Disamping itu ekosistem hutan mangrove memberikan manfaat tidak langsung bagi
masyarakat yang diperoleh dari manfaat jasa-jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung dari
badai, gelombang dan abrasi pantai. Stakeholders diharapkan dapat memahami manfaat ekosistem hutan
mangrove, sehingga dalam pengelolaannya dapat menjaga fungsi keberlanjutan ekosistem, disamping tetap mengacu pada aturan konservasi dan kebijakan yang
sudah ditetapkan. Valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan
mangrove. Dengan valuasi ekonomi dapat memberikan nilai berdasarkan asumsi-
95 asumsi penilaian yang dianalisis guna mengetahui besarnya biaya pengelolaan dan
manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan hutan mangrove, sehingga dapat memberikan informasi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan seluruh
sumberdaya secara optimal. Valuasi ekonomi yang dilakukan untuk melihat manfaat langsung dari
ekosistem hutan mangrove bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya, meliputi hasil kayu bakar, bibit mangrove, ikan,
udang dan kepiting. Secara keseluruhan keuntungan yang diperoleh masyarakat dari manfaat langsung hutan mangrove cukup tinggi bila dibandingkan dengan luasan
mangrove di wilayah tersebut. Hasil wawancara dengan para responden, sebagian mengatakan mereka mendapatkan pendapatan yang cukup dari kegiatan pemanfaatan
mangrove sebagai penghasil kayu dan hasil laut lainnya, sedangkan yang lainnya mengatakan pendapatan mereka masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup
setiap hari.
6.3. Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat