32 preferensi dari setiap elemen dalam hirarkhi. Jadi model ini merupakan suatu model
pengambilan keputusan yang komprehensif. Model ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk
memberikan dukungan kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kebijakan publik. Untuk itu akan lebih optimal survey aspirasinya bila dilakukan
pada para pakar, tokoh organisasi yang terkait dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove dan atau pejabat yang terkait dengan obyek penelitian. Dalam konteks ini
pemberian peran pada masyarakat terkait untuk memberikan bobot pemilihan prioritas kebijakan dapat diakomodasikan.
Dalam survey stakeholder tidaklah berarti dapat menampung seluruh komponen masyarakat. Karena sifatnya pemilihan kebijakan strategis maka hanya
masyarakat terpilih yang mewakilinya. Oleh karena itu, kelemahannya adalah tidak bisa optimal digunakan untuk menjaring pendapat dari seluruh komponen masyarakat,
karena akan terlalu bias terhadap variabelkriteria yang telah diuji diduga sebelumnya.
2.10. Studi Terdahulu
Dalam rangka mencegah kerusakan hutan mangrove yang lebih luas, maka upaya konservasi dan pelestarian terhadap hutan mangrove yang masih tersisa mutlak
perlu terus dilakukan agar luas hutan mangrove yang ada saat ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan, baik luasan maupun mutu pertumbuhannya sehingga dapat
menjamin kelestarian dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Sehubungan dengan itu maka Khazali 2001 dalam penelitiannya di desa
Karangsong, kabupaten Indramayu menyimpulkan bahwa partisipasi yang optimal dari seluruh stakeholders sangat penting dalam menjaga kelestarian hutan mangrove.
Hasan 2004 dalam penelitiannya di beberapa desa di kabupaten Indramayu dan Subang menyatakan bahwa masyarakat setempat belum menyadari dampak
langsung dari pentingnya hutan mangrove, seperti memberikan plasma nutfah dan kegunaan hutan mangrove bagi jasa-jasa tradisional sehingga kegiatan mengambil
kayu bakar diperbolehkan dan konversi hutan mangrove masih terus berlangsung. Berdasarkan studi Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan PKSPL
Institut Pertanian Bogor dan Direktorat jenderal Pembangunan Daerah Departemen
33 Dalam Negeri di dusun Blebu Jawa Timur 1998 disebutkan bahwa untuk menjaga
kelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut diperlukan pendekatan pengelolaan yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya, yang
dikenal dengan istilah Co-Operative Management. Tulungen 2001 menyatakan bahwa melalui Pendekatan pengelolaan
Sumberdaya Pesisir berbasis Masyarakat PSWP-BM dalam kegiatan penanaman kembali hutan mangrove di kabupaten Minahasa berjalan dengan baik. Hal ini
disebabkan partisipasi masyarakat diintegrasikan sejak awal proses perencanaan dengan keterlibatan secara aktif dari lembaga pemerintah.
Penelitian yang dilakukan oleh Cleave 2002 dan Hue 2001 menyatakan bahwa dalam upaya pengelolaan mangrove secara optimal untuk menjamin fungsi
keberlanjutannya, perlu adanya lembaga informal dan kebijakan pengelolaan yang tepat di tingkat desa dan kabupaten.
Hasil riset dari Al-Tahir et al., 2005 terhadap hutan mangrove di Trinidad menunjukkan bahwa habitat hutan mangrove berada di bawah tekanan akibat aktivitas
manusia, pembangunan ekonomi dan proses-proses alamiah, dan ini mengakibatkan terjadinya “wasteland “yang menyebabkan degradasi dan penurunan angka
pertambahan mangrove. Dengan demikian diperlukan pengelolaan mangrove baik dari aspek ekologi maupun aspek spasial yang diprioritaskan pada program
pemantauan untuk pemetaan spasial dan perubahan temporal terhadap habitat mangrove, sehingga dapat dipantau perubahan penggunaan dan penutupan lahan
mangrove setiap waktu. Healthy Rivers Commission 2000 menyatakan bahwa guna menjamin
keberhasilan strategi perencanaan pengelolaan mangrove diperlukan kerangka kerja perencanaan secara menyeluruh. Hal ini penting dalam implementasi prioritas
program yang berpengaruh secara keseluruhan dan diperlukan pula penaksiran hasil berdasarkan outcome sistem. Strategi perencanaan ditujukan sebagai tindakan
proteksi mangrove dari kerusakan lebih lanjut. Disamping itu diperlukan partisipasi masyarakat untuk menjamin kepemilikan lokal serta monitoring implementasi
program. Harty 2004 dalam risetnya terhadap perubahan habitat mangrove dan rawa di
Australia bagian Tenggara menyatakan bahwa salah satu strategi perencanaan untuk
34 membatasi kerusakan mangrove dan rawa adalah memperkenalkan kebijakan
perencanaan dan pemantauan untuk kepastian perlindungan terhadap mangrove dan rawa dari berbagai aktivitas penggunaan lahan dan aktivitas pembangunan lainnya
melalui pembuatan zonasi zoning sesuai peraturan undang-undang yang berlaku. Pramudji 2000 dalam berbagai penelitian terhadap kondisi hutan mangrove
di Indonesia menyatakan bahwa mengingat adanya berbagai fungsi dan peranan hutan mangrove serta kompleksnya permasalahan akibat pemanfaatan lahan
mangrove, maka pengelolaan mangrove hendaknya diarahkan untuk pemberian status peruntukan berdasarkan urutan prioritas, misalnya hutan lindung, hutan produksi dan
hutan wisata sesuai potensi ekosistem setempat. Disamping itu perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan nilai ekologis, ekonomis dan sosial serta
manfaat dan fungsi dari hutan mangrove, serta perlu adanya upaya pengelolaan hutan mangrove secara ekologis dan berkelanjutan.
Parawansa 2007 mengatakan bahwa kondisi hutan mangrove di Jakarta sudah terdegradasi, sehingga prioritas kebijakan yang perlu dilakukan adalah
pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi dan pengelolaan terpadu dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove.
Ketiga kebijakan ini hendaknya dilakukan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah strategis yang telah disepakati bersama.
35
III. METODA PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Barat SBB,yang terdiri dari empat kecamatan, yaitu Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Huamual Belakang;
Kecamatan Taniwel dan Kecamatan Piru. Batas koordinat wilayah Pulau Seram mulai dari 127
o
28’16,33” sampai 128
o
50’31,59” Bujur Timur dan 2
o
49’46,93” sampai 3
o
34’15,45” Lintang Selatan Gambar 3. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan berdasarkan data Citra Satelit landsat 7 ETM+ akuisisi 2004 dan peta penyebaran dan
kerusakan mangrove. Stasiun pengamatan terdiri dari empat stasiun dengan luasan mangrove yang berbeda, yaitu Stasiun I : Teluk Piru, Kecamatan Seram Barat
751,66 Ha; Stasiun II dan III : Teluk Kotania dan Pelita Jaya, Kecamatan Seram Barat 553,84 Ha; Stasiun IV : Selat Seram, Kecamatan Piru 187,49 Ha. Waktu
penelitian dilaksanakan selama 12 bulan mulai bulan April 2007 sampai Maret 2008.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian