Dimensi Ekologi INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

68

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat dari tiga dimensi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut : Dimensi ekologi terdiri dari : perubahan keragaman habitat; struktur relung komunitas; ukuran populasi dan struktur demografi; tingkat keragaman hutan mangrove; perubahan kualitas air; rantai makanan dan ekosistem. Dimensi ekonomi terdiri dari : pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; rencana pengelolaan hutan mangrove; keterlibatan stakeholder; zonasi pemanfaatan lahan mangrove; rehabilitasi hutan mangrove; hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove; peran mangrove terhadap pembangunan wilayah. Dimensi sosial terdiri dari : kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove; koordinasi antar lembaga; akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove; kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove; tingkat pendidikan masyarakat; pola hubungan antar stakeholder; pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove; peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove. Masing-masing dimensi memiliki indikator yang mencerminkan status keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing indikator pada setiap dimensi yang dikaji sesuai dengan kondisi pengelolaan ekosistem hutan mangrove saat ini, dengan mengacu pada kriteria dari konsep pembangunan berkelanjutan. Nilai skoring masing-masing indikator pada setiap dimensi sistem pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat dapat dilihat pada Lampiran 13.

5.1. Dimensi Ekologi

Perubahan keragaman habitat yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat ditandai dengan adanya keterbukaan tajuk pohon yang besar, akibat kegiatan manusia. Berbagai aktivitas manusia dilakukan pada kawasan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti penebangan 69 pohon secara illegal untuk kebutuhan kayu bakar dan lainnya, di samping konversi lahan mangrove untuk peruntukan lainnya. Struktur relung komunitas menunjukkan adanya perubahan yang dapat dilihat dari perubahan kelimpahan relatif pada tingkat semai dan pancang dari pohon-pohon pembentuk tajuk hutan mangrove apabila dibandingkan dengan hutan mangrove yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Di samping itu kelimpahan kelompok burung tertentu hanya sebagian dapat dipertahankan dalam variasi alaminya. Ukuran populasi dan struktur demografi dari jenis-jenis tertentu tidak menunjukkan perubahan yang berarti, dan tetap dipertahankan dalam variasi alaminya. Laju pertumbuhan populasi tidak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan hutan yang tidak terganggu. Tingkat keragaman hutan mangrove cukup beragam, sesuai dengan hasil analisis indeks keanekaragaman Shannon. Berdasarkan hasil analisis, maka nilai indeks keanekaragaman tertinggi di Kecamatan Kairatu 2,99, selanjutnya di Kecamatan Seram Barat 2,65 dan kecamatan Huamual Belakang 2,43. Ini berarti keanekaragaman jenis mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat termasuk sedang. Hal ini sesuai dengan klasifikasi indeks keanekaragaman Odum 1971, bahwa nilai indeks keanekaragaman antara 1 – 3 memiliki keanekaragaman sedang, dan nilai indeks keanekaragaman lebih dari 3 merupakan keanekaragaman yang tinggi. Berdasarkan data di atas maka dapat dikatakan bahwa ekosistem hutan mangrove di wilayah ini sudah mendapat tekanan ekologis, akibat dari berbagai intervensi manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Tupan 2000 bahwa ekosistem hutan mangrove di wilayah Teluk Kotania Kecamatan Seram Barat sudah mengalami degradasi akibat dari berbagai intervensi manusia. Tidak terjadinya perubahan kualitas air menunjukkan bahwa kondisi perairan mangrove sangat baik, sehingga kelimpahan dan keragaman organisme akuatik tetap dipertahankan. Disamping itu komposisi fisika kimia perairan mangrove juga sangat baik. Dari hasil pengukuran suhu di lapangan, terlihat bahwa rata-rata suhu berkisar antara 27 – 32 C. Perbedaan suhu pada setiap stasiun pengamatan berkaitan dengan perbedaan radiasi matahari terhadap pemanasan perairan. Walaupun demikian kisaran suhu tersebut masih termasuk kisaran suhu pada perairan tropik. Mangrove yang terdapat di daerah tropik membutuhkan suhu di atas 20 C sebagai suhu yang 70 esensial untuk pertumbuhan yang baik Kennish, 1990 dalam Kusmana, 1997. Derajat keasaman pH pada tiga kecamatan berkisar antara 7,8 – 8,2. Berdasarkan pendapat Islami dan Utomo 1995 bahwa pH dengan kisaran 5,0 -8,0 berpengaruh langsung pada pertumbuhan akar, dan di luar kisaran tersebut kebanyakan tanaman tidak dapat hidup. Di samping itu kandungan oksigen terlarut DO merupakan faktor penting bagi keberadaan tumbuhan dan hewan mangrove, khususnya pada proses respirasi dan fotosintesis. Kandungan DO di lokasi penelitian berkisar antara 6,7 – 8,7. Rantai makanan dan ekosistem mangrove tidak terkontaminasi dengan bahan kimia. Pada ekosistem mangrove komponen dasar dan rantai makanan terdiri dari : daun, ranting, buah, dan batang, yang merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan pada perairan. Sumber bahan organik ini dimanfaatkan secara langsung oleh fitoplankton sebagai dasar di dalam rantai makanan, untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh biota laut yang hidup berasosiasi dengan komunitas mangrove tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan mangrove masih sangat baik di lokasi penelitian.

5.2. Dimensi Ekonomi