Dimensi Ekonomi INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

70 esensial untuk pertumbuhan yang baik Kennish, 1990 dalam Kusmana, 1997. Derajat keasaman pH pada tiga kecamatan berkisar antara 7,8 – 8,2. Berdasarkan pendapat Islami dan Utomo 1995 bahwa pH dengan kisaran 5,0 -8,0 berpengaruh langsung pada pertumbuhan akar, dan di luar kisaran tersebut kebanyakan tanaman tidak dapat hidup. Di samping itu kandungan oksigen terlarut DO merupakan faktor penting bagi keberadaan tumbuhan dan hewan mangrove, khususnya pada proses respirasi dan fotosintesis. Kandungan DO di lokasi penelitian berkisar antara 6,7 – 8,7. Rantai makanan dan ekosistem mangrove tidak terkontaminasi dengan bahan kimia. Pada ekosistem mangrove komponen dasar dan rantai makanan terdiri dari : daun, ranting, buah, dan batang, yang merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan pada perairan. Sumber bahan organik ini dimanfaatkan secara langsung oleh fitoplankton sebagai dasar di dalam rantai makanan, untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh biota laut yang hidup berasosiasi dengan komunitas mangrove tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan mangrove masih sangat baik di lokasi penelitian.

5.2. Dimensi Ekonomi

Pemanfaatan mangrove oleh masyarakat lokal di lokasi penelitian tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai manfaat langsung hutan mangrove pada setiap bentuk pemanfaatan secara spesifik. Nilai manfaat langsung yang diperoleh dari setiap kegiatan sebesar Rp 7.445.373,01 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional dari masyarakat sebesar Rp 4.348.114,94 per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp.3.097.258,07 per hektar per tahun. Rencana pengelolaan hutan mangrove tidak tersedia di lokasi penelitian. Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai instansi yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan mangrove sampai saat ini belum menetapkan rencana pengelolaan hutan mangrove, sehingga tidak ada acuan yang jelas dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut. Dalam konteks pengembangan hutan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dikoordinasi secara resmi dalam rencana tata ruang daerah dan merupakan rencana tata ruang kabupaten. 71 Rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya mangrove yang ada dan mendengar aspirasi masyarakat melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan Alikodra, 1999. Hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove tidak tersedia di lokasi penelitian. Berbagai peta yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya mangrove tidak disediakan oleh dinas terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya pemanfaatan mangrove masih didominasi oleh masyarakat lokal tanpa membutuhkan data inventarisasi pemanfaatan tersebut. Di samping itu zonasi pemanfaatan lahan mangrove untuk berbagai tujuan pengelolaannya juga belum tersedia. Adanya zonasi pemanfaatan lahan mangrove sangat penting, karena dapat menghindari terjadinya konflik pemanfaatan lahan antar stakeholder. Pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian kurang melibatkan berbagai stakeholder yang terkait. Masyarakat lokal lebih berperan dalam pemanfaatan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan peran pemerintah baru terlihat melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang telah dilakukan secara bertahap. Tujuan rehabilitasi hutan mangrove adalah untuk mengembalikan hutan mangrove kepada fungsi lindungnya. Kegiatan tersebut sejalan dengan peraturan perundangan sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 13 j tentang Pemda, yang menyebutkan bahwa urusan wajib menjadi kewenangan daerah salah satunya adalah pengendalian lingkungan hidup. Selanjutnya pasal 22 k dinyatakan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup. Pemerintah dan masyarakat telah melakukan kegiatan rehabilitasi lahan mangrove di beberapa lokasi penelitian khususnya di Kecamatan Seram Barat. Luas lahan mangrove yang sudah direhabilitasi sampai dengan tahun 2007 sebesar 23 hektar. Peran mangrove terhadap pembangunan wilayah cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari gambaran struktur ekonomi wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat yang berada di sektor pertanian dan perikanan. Peranan sektor pertanian yang dominan tersebut dalam struktur perekonomian Seram Bagian Barat didukung oleh sub sektor kehutanan yang memberikan kontribusi sebesar 6,08. Sedangkan sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 16,20. Sektor perikanan merupakan salah satu penunjang dalam peningkatan PDRB, sehingga kondisi ini memberikan motivasi bagi 72 pemerintah daerah untuk dapat mengelola semua potensi sumberdaya alam pesisir secara optimal. Untuk mempertahankan sektor perikanan tetap berkelanjutan harus didukung oleh ekosistem mangrove yang mempunyai tingkat stabilitas yang tinggi.

5.3. Dimensi Sosial