72 pemerintah daerah untuk dapat mengelola semua potensi sumberdaya alam pesisir
secara optimal. Untuk mempertahankan sektor perikanan tetap berkelanjutan harus didukung oleh ekosistem mangrove yang mempunyai tingkat stabilitas yang tinggi.
5.3. Dimensi Sosial
Kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove sangat menentukan arah tujuan perencanaan dan pengembangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara
berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat.
Kondisi ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam upaya menghindari terjadinya kerusakan mangrove dalam jumlah yang lebih besar.
Dalam upaya pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan, perlu adanya koordinasi antar lembaga terkait yang dapat terakomodasi dalam suatu wadah
koordinatif. Semua elemen lembaga yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove duduk secara bersama dan mewakili masing-masing lembaga pada wadah
kelembagaan koordinatif untuk dapat merumuskan kebijakan pengelolaannya. Kelembagaan berfungsi untuk melakukan pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan
sumberdaya agar berkelanjutan sustainable. Menurut Soetrisno 1995, pemerintah harus merevitalisasi dan mereform lembaga untuk dapat berfungsi secara efektif
dengan menyesuaikan pada budaya dan nilai-nilai yang dimiliki dalam organisasi. Budaya dan nilai-nilai antar organisasi dalam melaksanakan perumusan perencanaan
sampai pada pelaksanaan dan pengendalian berbentuk kebersamaan. Kebersamaan menjadi faktor penting untuk memberikan kejelasan tugas dan fungsi serta
kewenangan dari masing-masing lembaga atau sektor yang terlibat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dalam
pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian. Adanya kekosongan kelembagaan tersebut berarti kepentingan berbagai stakeholder untuk meminimalkan kerusakan
mangrove tidak terpenuhi dengan baik. Masyarakat di sekitar hutan mangrove memperoleh manfaat dari sumberdaya
hutan berupa hasil hutan kayu dan hasil perikanan. Hasil kayu hanya digunakan masyarakat untuk kayu bakar, sebagai bahan bangunan dan untuk pembuatan bagan.
Sedangkan hasil perikanan seperti : ikan, udang dan kepiting dijual dan sebagian
73 dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian hasil hutan mangrove cukup memberikan
kontribusi terhadap peningkatan pendapatan keluarga masyarakat di sekitar hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap hutan
mangrove tinggi. Hal ini seperti dikatakan Parawansa 2007 bahwa pengelolaan hutan mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun
membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti pentingnya pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian
sumberdaya alam tersebut. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian masih tergolong rendah.
Hal ini sesuai dengan hasil analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang tidak tamat sekolah 27,63 , tamat sekolah dasar
33,33 , tamat sekolah lanjutan pertama 21,49 , tamat sekolah lanjutan atas 12,28 dan tamat perguruan tinggi 5,26 . Tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan pemahaman, kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove menjadi rendah. Oleh karena itu pendidikan
informal terhadap masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk lebih memperluas wawasan dengan membekali pengetahuan dan ketrampilan yang memadai agar
masyarakat dapat meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan mangrove. Pendidikan informal dapat dilakukan melalui bentuk penyuluhan atau pelatihan
kepada masyarakat atau kelompok swadaya masyarakat lainnya. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya hutan mangrove masih
rendah di lokasi penelitian. Masyarakat yang tidak memahami dampak dari kerusakan sumberdaya hutan mangrove tentu akan memiliki tingkat kepedulian dan kesadaran
yang rendah untuk melestarikannya. Peranserta masyarakat secara langsung dalam setiap kegiatan pembangunan
merupakan bentuk interaksi sosial. Peranserta masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan dalam pembangunan di setiap sektor. Soetrisno,
1995 menyatakan bahwa peranserta masyarakat merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melestarikan dan
mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Adanya peranserta
74 masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove juga dipengaruhi oleh kesadaran
masyarakat. Namun dengan adanya sosialisasi tentang pentingnya rehabilitasi mangrove untuk kepentingan pelestariannya memotivasi masyarakat untuk bermitra
dengan pemerintah dalam kegiatan tersebut. Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang pelestarian
lingkungan mangrove tentu saja akan timbul rasa tanggung jawab untuk memanfaatkannya secara lestari. Namun pengetahuan masyarakat tentang hutan
mangrove masih rendah di lokasi penelitian. Pengetahuan masyarakat yang masih rendah ini perlu ditingkatkan dengan cara melakukan program penyuluhan di
masyarakat dan memasukkan materi muatan lokal tentang lingkungan dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat dasar.
Kerusakan sumberdaya hutan mangrove terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan tersebut. Aktivitas masyarakat yang
memanfaatkan hutan mangrove secara illegal untuk kebutuhan individu maupun konversi lainnya mengakibatkan terjadi kerusakan hutan mangrove. Hasil analisis
perubahan penutupan lahan yang didasarkan pada overlay data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dan tahun 2005 menunjukkan perbedaan penutupan lahan mangrove di
Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada tahun 2003 luasan lahan mangrove sebesar 2363,3 ha, sedangkan tahun 2005 luasan lahan mangrove menjadi 2189,3 ha.
75
VI. KONDISI EKOLOGI, EKONOMI DAN SOSIAL EKOSISTEM HUTAN MANGROVE