Model Pertumbuhan Neoklasik Pertumbuhan Ekonomi
Dengan pendapatan yang semakin tinggi maka seseorang akan semakin mampu membayar berbagai pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di dalam perekonomian suatu negara, setiap sektor yang ada tergantung pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam
tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan
oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Menurut BPS 2008, angka PDRB dapat diperoleh melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan
pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :
1. Menurut Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi yang berada di suatu wilayahprovinsi dalam jangka waktu tertentu satu tahun. Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya
dikelompokkan menjadi 9 sembilan sektor atau lapangan usaha yaitu; Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas
dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut Pendekatan Pendapatan PDRB merupakan balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan
keuntungan; sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. PDRB mencangkup juga penyusutan neto. Jumlah semua komponen
pendapatan per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor.
3. Menurut Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu:
a Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung.
b Konsumsi pemerintah. c Pembentukan modal tetap domestik bruto.
d Perubahan stok. e Ekspor netto.
PDRB per kapita juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator guna melihat keberhasilan pembangunan perekonomian di suatu wilayah. Perbedaan
faktor produksi dan sumber daya yang dimiliki setiap daerah akan menyebabkan terjadinya kesenjangan PDRB per kapita antar daerah. Ketimpangan PDRB per
kapita antar daerah yang terjadi bisa diukur dengan indeks Williamson Hartono, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal 1997 menunjukkan bahwa
ketimpangan ekonomi regional di Indonesia dari tahun 1971 sampai tahun 1990 berkisar antara 0,394 sampai 0,484. Artinya ada peningkatan ketimpangan
ekonomi regional walaupun masih relatif sedang. Studi yang dilakukan Hartono 2008 menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di
Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson pada tahun 1981-2005 semakin melebar.
Kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak menaikkan standar hidup riil masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat akan tetapi konsumsi per
kapita turun Jhingan, 2010. Keadaan ini disebabkan oleh kenaikan pendapatan tersebut hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja yaitu beberapa orang kaya
dan tidak oleh banyak orang miskin. Selain itu, rakyat lebih memilih untuk meningkatkan tingkat tabungan mereka atau pemerintah lebih memilih untuk
menggunakan peningkatan pendapatan yang terjadi untuk membiayai keperluan militer atau keperluan lain.
Penelitian tentang ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo yang dilakukan oleh Mopanga 2010 memperoleh hasil
bahwa sumber utama ketimpangan adalah perbedaan PDRB per Kapita, Indeks Pembangunan Manusia IPM dan rasio belanja insfrastruktur. Pertumbuhan
ekonomi mempunyai hubungan positif dengan ketimpangan pembangunan Indeks Gini.
Baransano 2011 melakukan penelitian tentang kesenjangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Hasil analisis dengan Indeks Williamson dan Indeks
Theil menunjukkan kesenjangan pembangunan di provinsi tersebut berangsur menurun convergence. Sedangkan ketimpangan proporsional pada PDRB per
kapita, jumlah penduduk, alokasi dana perimbangan dan IPM secara signifikan memengaruhi kesenjangan pembangunan wilayah.
Uppal dan Handoko 1986 melakukan penelitian untuk mengetahui kesenjangan pendapatan antar daerah pada periode 1976-1980. Dengan
menggunakan indeks Williamson ditemukan bahwa ada tendensi penurunan dalam kesenjangan pendapatan antar daerah pada periode tersebut. Faktor yang
cenderung menurunkan kesenjangan antar daerah adalah anggaran belanja pemerintah dan transfer kepada provinsi.
Tadjoeddin 2003 melakukan studi yang terkait dengan kesenjangan regional dan konflik-konflik di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa dengan penghitungan Indeks Theil dan L, kontribusi daerah-daerah kantongkaya sekitar 60-70 persen dalam ketimpangan regional. Apabila daerah-
daerah kaya tersebut dikeluarkan dari penghitungan maka ketimpangan regional dalam output per kapita akan lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
formasi dan pembangunan daerah kaya adalah kelimpahan sumberdaya alam seperti minyak, gas, mineral dan kehutanan yang menarik investor untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut dan menghasilkan kapasitas output yang sangat besar, selain itu faktor pengambilan kebijakan, berdasarkan
keunggulan komparatif yang diperoleh dari lokasi yang strategis dan infrastruktur, juga memiliki pengaruh dalam pembangunan daerah kaya.
Caska dan Riadi 2008 melakukan penelitian mengenai pertumbuhan dan ketimpangan pembangunan ekonomi antardaerah di Provinsi Riau. Metode
penelitian yang digunakan adalah tipologi klassen, indeks ketimpangan Williamson, indeks Entropi Theil, dan pembuktian kurva U terbalik Kuznets. Dari
hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa di Provinsi Riau selama tahun 2003-2005 tingkat ketimpangan pendapatan antar daerahnya rendah. Sedangkan
hipotesis Kuznets tidak berlaku di Provinsi Riau selama periode tersebut. Penelitian tentang kesenjangan pendapatan di Indonesia juga dilakukan
oleh Akita dan Alisjahbana 2002. Penelitian tersebut menggunakan menggunakan indeks Theil sebagai alat ukur kesenjangan pembangunan antar
wilayah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan daerah meningkat secara signifikan pada tahun 1993-1997 sebagai akibat kesenjangan dalam
provinsi terutama di Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Pada tahun 1998, kesenjangan menurun drastis hingga ke level tahun 1993-1994.