Perumusan Masalah Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa

3. Aksesibilitas ke daerah pariwisata. Pengembangan produk wisata dapat menjadi salah satu peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut. Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan yang mereka miliki Metera, 1996.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan lahan di perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan terhadap lahan. Dewasa ini, pembangunan di sektor pariwisata sedang dikembangkan oleh pemerintah, dimana pada pelaksanaannya pengembangan pariwisata membutuhkan lahan. Kebutuhan terhadap lahan yang semakin meningkat apabila bertentangan dengan kepentingan pihak lain pemodal dan rumahtangga petani dapat menimbulkan masalah. Seperti pada kasus-kasus sengketa lahan antara petani, pemerintah dan swasta. Pengembangan wisata melalui kebijakan yang ditetapkan pemerintah memudahkan pemilik modal untuk mengembangkan industri pariwisata. Pengembangan industri pariwisata itu sendiri, sejalan dengan konsep pembangunan di bidang ekonomi yaitu untuk meningkatkan devisa negara. Hanya saja, pengembangan wisata itu tidak hanya meningkatkan devisa negara, tetapi dapat menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalahnya yaitu kasus sengketa lahan. Sengketa lahan tersebut timbul karena harga ganti rugi lahan yang diberikan pemerintah atau pemodal tidak sesuai dengan harapan petani pemilik lahan. Maka dari itu, penelitian ini akan mengananalisis bagaimana proses alih fungsi lahan yang terjadi di desa sekitar wisata. Masalah lain yang muncul akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah masalah kepemilikan dan penguasaan lahan. Petani-petani yang kehilangan lahan harus mencari lahan baru di daerah baru. Pada kasus sebelumnya, petani yang kehilangan lahan mampu membeli lahan baru di daerah baru, hanya saja lahan tersebut tidak subur seperti lahan semula. Harga ganti rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan petani dan harga pasaran menyebabkan petani sulit membeli lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang sama dan lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Hal ini disebabkan harga lahan-lahan subur mahal, sedangkan petani tidak mampu membeli lahan yang subur itu. Jumlah petani yang mampu membeli lahan subur dan luas rendah sehingga mengakibatkan terakumulasinya lahan oleh sebagian orang dan dapat meningkatkan jumlah tuna kisma. Maka dari itu, bagaimana nasib petani jika petani kehilangan lahan pertanian? Apakah petani akan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan berganti profesi? Lalu bagaimana tingkat pendapatan petani di daerah wisata? Pembangunan fasilitas pariwisata selain dapat mengubah struktur agraria masyarakat lokal dapat juga mengubah kelembagaan. Kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata masih berupa kelembagaan yang berhubungan dengan usahatani yang bersifat subsisten atau kelembagaan- kelembagaan gotong royong, tetapi setelah pembangunan fasilitas pariwisata, muncul kelembagaan-kelembagaan komersil yang berhubungan dengan usaha- usaha di sektor wisata. Jika kelembagaan baru yang muncul di perdesaan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, maka hal ini merupakan suatu gejala yang diharapkan, tetapi jika kelembagaan baru itu menimbulkan masalah bagi masyarakat lokal, maka gejala inilah yang tidak diharapkan. Kelembagaan yang bersifat komersil dapat menimbulkan persaingan antara masyarakat lokal dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang usaha, masyarakat pendatang lebih mampu mengisi peluang tersebut. Masyarakat pendatang memiliki modal yang cukup dan telah diperhitungkan untuk berusaha di daerah wisata, sehingga kemungkinan rugi dapat ditekan, sedangkan masyarakat lokal jarang memperhitungkan hal tersebut. Selain itu keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat lokal merupakan salah satu kelemahan dalam memasuki peluang usaha. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan dapat menjadi peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal dan keterampilan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi mereka hanya dapat menempati usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usaha- usaha utama itu biasanya ditempati pendatang atau pemilik modal.

1.3 Tujuan Penelitian