berfungsi sabagai lahan pertanian kini menjadi lahan non pertanian atau tepatnya digunakan untuk kepentingan di bidang pariwisata.
Pada sub bab ini akan dibahas tentang perubahan struktur agraria masyarakat Desa Sukanagalih yang disebabkan pembangunan fasilitas
pariwisata Kota Bunga. Perubahan yang peneliti dapat paparkan dalam sub bab ini adalah perubahan kepemilikan lahan petani. Perubahan penguasaan lahan
oleh petani tidak dapat dibahas secara lengkap, hal ini dikarenakan responden tidak ada yang menggarap lahan orang lain. Mereka hanya menggarap lahan
mereka sendiri. Untuk menjelaskan perubahan struktur agraria ini, maka pada sub bab ini akan dipaparkan pola kepemilikan lahan sebelum dan setelah
pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga.
6.2.1 Pola Kepemilikan Lahan Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga
Kota Bunga mulai berdiri sekitar tahun 1993. Sebelum tahun 1993, lahan-lahan yang kini dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki
petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan beberapa luas lahan dimanfaatkan untuk keperluan tempat tinggal.
Keadaan lahan di lahan tersebut termasuk subur, sehingga wajar bila petani tersebut memanfaatkan lahan itu untuk bercocok tanam. Komoditas yang
ditanam di lahan itu adalah padi dan sayuran. Pertanian adalah kegiatan utama masyarakat Desa Sukanagalih.
Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, pemandangan Desa Sukanagalih dipenuhi sawah-sawah dan tanaman sayuran. Masyarakat Desa Sukanagalih
rata-rata memiliki lahan. Sekitar 53,33 persen dari jumlah responden memiliki luas lahan sempit, diikuti responden yang memiliki luas lahan kategori tinggi yaitu
sekitar 30 persen, dan sekitar 16,67 persen responden yang memiliki luas lahan sedang
22
.
6.2.2 Pola Kepemilikan Lahan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga
Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas
pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan luas, namun setelah pembangunan
fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa
faktor, salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa
penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan. Berdasarkan Tabel 10, sekitar 53,33 persen petani mendapatkan tingkat
harga jual beli lahan yang rendah. Akan tetapi jumlah kepemilikan lahan sempit berkurang dibanding sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga,
justru petani yang memiliki lahan luas mengalami peningkatan sebesar 18 persen
23
. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman dan Hubungan yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 10. Hubungan Antara Tingkat Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual beli Lahan
Tingkat Jual beli lahan Lahan Tingkat
Jumlah Produk
Wisata Rendah
Sedang Tinggi
Total
Rendah 16
5 9
30 Total
16 5
9 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,00; ñ tabel = 0,364; á = 0,05 ; Keputusannya adalah tidak ada hubungan.
22
Lihat Tabel 9 Pada Bab IV
23
Lihat Tabel 7 pada Bab IV
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa pada Tingkat Jumlah produk wisata yang sama, tingkat harga jual beli lahan berbeda-beda. Besarnya uang jual beli
lahan yang diterima petani bervariasi tergantung luas lahan dan lokasi lahan tersebut. Lahan yang diatasnya dibangun rumah bernilai Rp. 100.000,00 per
meter persegi, dan variasi harga lahan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam sekitar Rp. 3.000,00 hingga Rp. 12.000,00 per meter persegi. Perbedaan yang
dihasilkan sangat jauh. Jumlah petani yang mendapatkan uang jual beli lahan rendah merupakan jumlah terbanyak 53,33 sedangkan petani yang
mendapatkan uang jual beli lahan sedang berjumlah paling sedikit 16,67 . Hal ini terjadi karena posisi tawar menawar petani rendah. Rendahnya posisi tawar
menawar petani dikarenakan saat itu petani kurang begitu mengetahui harga lahan di pasaran. Petani juga tidak mempertimbangkan kesuburan lahan yang
mereka jual, padahal lahan-lahan tersebut subur. Selain itu, petani juga tidak mengetahui tujuan dari pembelian lahan itu sehingga standard harga jual yang
ditetapkan petani yaitu standar harga jual lahan untuk pemukiman, padahal jika petani mengetahui tujuan pembelian lahan tersebut, petani dapat menentukan
harga jual yang tinggi. Di sisi lain, persentase petani yang membeli lahan di Desa
Sukanagalih yang tergolong petani yang memiliki lahan luas meningkat. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang memiliki lahan luas
sekitar 30 persen, setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan luas menjadi 36,67 persen. Demikian halnya
dengan petani yang tergolong petani yang memiliki lahan sedang. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki
lahan sedang sekitar 16,67 persen, dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, petani yang tergolong memiliki lahan sedang menjadi 30
persen. Berbeda dengan petani yang tergolong memiliki lahan se mpit, petani
yang memiliki lahan sempit mengalami penurunan persentase. Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, petani yang tergolong memiliki lahan sempit
sekitar 53,33 persen dan setelah pembangunan fasilitas pariwisata menjadi 33,33 persen Tabel 9 Bab IV.
Tabel 11 menyatakan hasil uji statistik korelasi Korelasi Rank Spearman untuk hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas
pariwisata dan luas kepemilikan lahan setelah pembangunan fasilitas pariwisata, hasil dari uji statistik ini membuktikan bahwa pada taraf nyata 0,05 didapatkan
rho hitung sebesar 0,897 dan rho tabel sebesar 0,364 ternyata terdapat hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum pembangunan fasilitas
pariwisata dan luas kepemilikan lahan setelah pembangunan fasilitas pariwisata. Hal ini disebabkan petani yang menjual lahan tersebut mampu membeli kembali
lahan di tempat lain dengan harga murah. Menurut beberapa responden, pada tahun 1992 di Desa Sukanagalih masih banyak lahan yang murah. Hanya saja,
lahan tersebut jauh dari mata air sehingga untuk pengairan sawah-sawah di lahan baru itu petani mengharapkan aliran air dari mata air di luar Desa
Sukanagalih. Tabel 11. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota
Bunga dan Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota
Bunga Luas
Kepemilikan Lahan
Sebelum Adanya
Kota Bunga Rendahsempit
Sedang Tinggiluas
Total
Rendah 14
2 16
Sedang 1
4 5
Tinggi 4
1 4
9 Total
19 1
10 30
Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : ñ hitung = 0,897 ; ñ tabel = 0,364; á = 0,05; Keputusannya adalah ada hubungan.
Petani yang menjual lahan di lokasi yang kini dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga mengalokasikan uang jual beli lahan untuk membeli lahan
lagi. Lokasi lahan yang dibeli petani di beberapa tempat, ada yang membeli lahan di kampung lain dalam satu desa, ada yang membeli lahan ke desa
tetangga, bahkan ada yang membeli di luar kecamatan seperti kecamatan Cianjur. Kampung-kampung yang dipilih petani untuk membeli lahan adalah
Kampung Cibengang, Ciburial, Sukarame, dan Cihieum. Sedangkan petani yang membeli lahan di luar desa dan kecamatan berpindah domisili menjadi penduduk
desa atau kecamatan itu. Sehingga hanya tinggal beberapa petani yang tinggal di Desa Sukanagalih.
Alasan petani yang membeli lahan baru di Desa yang sama yaitu Desa Sukanagalih adalah adanya kerabat di kampung sebelah dan kesediaan pemilik
lahan untuk menjaulnya kepada petani yang telah kehilangan lahan tersebut. Petani yang berpindah ke kampung sebelah mendapatkan lahan dari kerabatnya
atau orang tua mereka. Lahan baru yang dimiliki petani itu untuk membangun rumah merupakan lahan keluarga yang dijual murah dijual dibawah harga
pasaran. Sedangkan petani yang tidak memiliki keluarga di lahan baru itu, dapat membeli lahan karena pemilik yang menjualkan lahan merasa harga yang
ditawarkan pembeli petani cocok. Berdasarkan keterangan dari beberapa informan yang menjualkan lahan kepada petani tersebut mengatakan bahwa
pada saat itu harga lahan rendah dan kebutuhan uang tunai tinggi. Sehingga menjual lahan adalah salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan uang tunai
tersebut. Menurut penjual lahan baru itu, dulu lahannya ditawarkan kepada orang lain agar laku terjual, tapi belum ada orang yang berniat membeli lahan. Sampai
pada masa banyak petani yang kehilangan lahan, barulah penjual itu dapat menjual lahannya. Proses transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan
langsung dan terbuka. Dalam arti pembeli mengatakan tujuan dia membeli lahan apakah untuk sawah atau perumahan.
Dari uang jual beli lahan itu, selain digunakan untuk membeli lahan, juga digunakan untuk membeli atau memperbaiki rumah dan untuk menunaikan
ibadah haji. Tetapi tidak semua petani dapat mengalokasikan uang jual beli lahan untuk menunaikan ibadah haji. Dari peristiwa alih fungsi lahan ini, petani yang
merasa dirugikan adalah petani yang memiliki lahan sempit sebab uang jual beli lahan yang mereka terima hanya untuk membeli lahan dan tingkat kesuburannya
kurang dari lahan yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan petani yang memiliki lahan luas mendapatkan keuntungan, yaitu petani yang memiliki lahan
luas dapat membeli lahan lebih luas di tempat lain, bisa memperbaiki rumah, dan menunaikan ibadah haji. Alokasi uang oleh petani yang memiliki lahan sedang
biasanya membeli lahan di tampat lain dan memperbaiki rumah.
6.3 Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk