BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awal tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini
berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, kemudian sektor pariwisata menjadi sektor yang didorong untuk menghasilkan
devisa negara Suhendar dan Winarni, 1998. Padahal sebelumnya yaitu pada tahun 1978 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR No.
IVMPR1978 tentang perlunya pengembangan kepariwisataan. Kebijakan tersebut berisi pernyataan bahwa kepariwisataan dapat meningkatkan
penerimaan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan kebudayaan. Pembinaan dan pengembangan pariwisata ini dilakukan dengan
tetap memperhatikan pemeliharaan kebudayaan dan kepribadian nasional. Dalam hal memperluas kesempatan kerja, pada tahun 1973 sektor
pariwisata terbukti memberikan kesempatan kerja di Inggris, Meksiko, Amerika Serikat, dan Bahama. Di Inggris, sektor pariwisata menampung 1,5 juta tenaga
kerja; di Meksiko, sektor pariwisata menampung 250 ribu tenaga kerja; di Amerika Serikat, sektor pariwisata menampung 8,75 juta tenaga kerja; dan di
Bahama, sekitar 70 persen tenaga kerja bekerja di sektor pariwisata Spillane, 1987.
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan
asas manfaat, usaha bersama, kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Hal ini sesuai dengan
perumusan Visi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional yaitu terwujudnya kebudayaan dan pariwisata yang maju, dinamis, dan berwawasan
lingkungan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan peradaban, persatuan dan persahabatan antarbangsa. Untuk mewujudkan visi
tersebut, dirumuskan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional, salah satunya yaitu pengembangan produk pariwisata yang berwawasan
lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata, 2003. Berdasarkan pasal 16 UU No. 9 Tahun 1990, pengusahaan obyek dan
daya tarik wisata dikelompokkan menjadi tiga kelompok
1
. Penelitian ini membahas kelompok pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam.
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan tata lingkungan untuk dijadikan sasaran wisata. Salah
satu contoh tempat wisata alam adalah Kebun Raya Cibodas di Kabupaten Cianjur.
Sektor pariwisata memiliki manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan. Dari segi ekonomi, manfaat pariwisata yaitu meningkatkan penerimaan devisa
negara Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003. Manfaat pariwisata dalam meningkatkan devisa negara dapat dilihat dari perolehan pendapatan dari
sektor tersebut. Diperkirakan devisa yang dihasilkan sektor pariwisata dunia tahun 2010 sebesar US 3,4 trilyun dan membuka kesempatan kerja sebesar
10,6 persen dari angkatan kerja dunia. Satu dari sepuluh orang akan bekerja di sektor pariwisata Yoeti, 1996a. Industri pariwisata di Indonesia pada tahun
1
Tiga Kelompok Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, yaitu : 1 Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam; 2 Pengusahaan obyek dan daya tarik budaya; dan 3 Pengusahaan
obyek dan daya tarik wisata minat khusus.
1997 menghasilkan perolehan sebesar 64,48 triliun rupiah dan 6,6 juta pekerjaan. Diperkirakan tahun 2007 meningkat menjadi 248,363 triliun rupiah
hasil bruto dan 8,5 juta pekerjaan Yoeti dalam Safri, 2003. Dari segi manfaat bagi lingkungan, pembangunan pariwisata diarahkan
pada pengembangan daerah sehingga memberikan kehidupan yang tenang, bersih, jauh dari polusi, santai dan dapat mengembalikan kesehatan fisik maupun
mental Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003. Menurut Pendit 1986, pariwisata memiliki 14 jenis pariwisata, diantaranya yaitu wisata pertanian dan
wisata cagar alam. Wisata pertanian merupakan pengorganisasian perjalanan yang dilakukan ke proyek-proyek pertanian, perkebunan, atau ladang
pembibitan. Di sisi lain wisata cagar alam adalah wisata yang berkaitan dengan kegemaran terhadap keindahan alam, kesegaran hawa udara di pengunungan,
keajaiban hidup binatang dan satwa langka serta tumbuh-tumbuhan khas
daerah.
Di sisi lain, Tjondronegoro 1999 menyatakan bahwa pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, maka tidak mengherankan jika masalah
kebutuhan lahan bertambah. Hal ini dipertegas oleh Yudohusodo 2002 yang menyatakan bahwa masalah agraria terjadi kerena tidak terealisasinya UUPA.
Padahal UUPA sebenarnya merupakan wujud implementasi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “bumi dan air termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara da n dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Salah satu contoh kebutuhan lahan untuk pembangunan ialah pembebasan lahan untuk wilayah industri. Pada Pelita V pemerintah
mengembangkan Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri WPPI yang terdiri dari lima zona. Zona-zona itu ialah Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Selatan,
Pulau Jawa, Kalimantan bagian Timur, dan Sulawesi Suhendar dan Winarni,
1998.
Saat ini tuntutan atas lahan semakin kuat karena tumbuhnya industri yang membutuhkan lahan Tjondronegoro, 1999. Salah satu industri yang
membutuhkan lahan adalah industri pariwisata. Di Pulau Jawa, kasus sengketa lahan antara pemilik lahan dan pengembang pariwisata banyak terjadi di Jawa
Barat. Salah satunya yaitu kasus sengketa lahan yang terjadi di Bogor. Sekitar 21 petani pemilik lahan di Pasarangin harus menyerahkan lahan seluas 15 ha ke
PT. KAA untuk perluasan proyek agrowisata terpadu Republika dalam Suhendar
dan Winarni, 1998.
Menurut Lipton dalam Tjondronegoro 1999, ketidakberhasilan pembangunan mengangkat kesejahteraan petani di dunia ketiga disebabkan oleh
pembangunan yang bias perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang pariwisata. Pada prakteknya pembangunan industri pariwisata lebih dirasakan
oleh masyarakat kota, misalnya kasus yang terjadi di Cisarua dan Rancamaya, Bogor. Di Cisarua, sebanyak 201 petani penggarap menolak pembayaran ganti
rugi proyek perluasan Taman Safari Bisnis Indonesia dalam Suhendar dan Winarni, 1998. Di Rancamaya, sekitar 300 petani menolak ganti rugi atas lahan
untuk proyek lapangan golf dan perumahan mewah karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan petani Suara Karya dalam Suhendar dan
Winarni, 1998.
Perubahan demografi dan ekologi, pengembangan produksi untuk kepentingan pasar, masifnya sistem monokultur, serta intervensi negara yang
mengatur pola produksi dan konsumsi, akan menciptakan kerawanan struktural pada petani. Padahal petani menggantungkan diri pada sistem subsistensi.
Mengacu pada pendapat Scott 1989, krisis subsiste nsi petani memicu gerakan
petani. Umumnya aksi-aksi protes petani selama periode 1980 hingga 1990-an lebih disebabkan oleh masuknya modal secara masif di wilayah perdesaan
dalam bentuk pengambilalihan lahan secara paksa yang berkolaborasi dengan negara Bahari, 2001. Salah satu kasus sengketa lahan kawasan pariwisata
yang menimbulkan gerakan petani yaitu kasus yang terjadi di Pecatu, Bali Suhendar dan Winarni, 1998.
Lebih lanjut Bahari 2001 menyatakan bahwa pada umumnya petani yang terlibat dalam gerakan tersebut berasal dari kalangan pemilik lahan atau
penggarap. Mereka sudah menguasai dan mengelola lahan cukup lama meskipun lahan tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhannya secara normal,
tetapi setidaknya dapat mempertahankan hidup mereka dari kelaparan. Maka ketika lahan yang mereka kuasai diambil alih secara paksa oleh negara atau
pemilik modal, mereka kehilangan sumber subsistensi.
Tabel 1. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993 Rumahtangga Pertanian
No. Kelompok Luas
Penguasaan Lahan Ha
Persentase Persentase
Kumulatif Luas Lahan
Yang Dikuasai 1.
Tuna Kisma dan Petani kurang 0,1
43 43
13 2.
0,1 – 0,49 27
70 18
3. 0,5 – 0 99
14 84
- 4.
1,0 16
100 69
Sumber : Sensus Pertanian Indonesia dalam Yudohusodo, 2002
Pertambahan jumlah petani miskin disebabkan semakin menyempitnya lahan usahatani yang dimiliki petani Yu dohusodo, 2002. Dari Tabel 1 terungkap
bahwa 43 persen rumahtangga pertanian “miskin lahan” tunakisma dan petani dengan luas penguasaan kurang dari 0,1 hektar hanya menguasai 13 persen
dari luas lahan pertanian, sementara 16 persen rumahtangga petani “kaya lahan” petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar menguasai hampir 70
persen luas lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat fragmentasi pemilikan atau penguasaan lahan dan fragmentasi fisik hamparan lahan serta alih fungsi lahan
pertanian subur ke penggunaan non pertanian Yudohusodo, 2002. Di sisi lain, Spillane 1987 mengungkapkan pariwisata dapat mengubah
motivasi unsur kebudayaan. Kesenian dan upacara yang semula dilakukan karena motivasi tradisi atau spiritual menjadi motivasi komersil. Kegiatan
kebudayaan dilaksanakan bukan lagi karena tradisi tetapi karena permintaan wisatawan. Hal ini terjadi pada pelaksanaan upacara-upacara kebudayaan di
Bali. Upacara-upacara yang seharusnya dilakukan waktu tertentu, kini dapat dilakukan kapan saja tergantung permintaan wisatawan dan besarnya bayaran
Metera, 1996. Pembangunan pariwisata dapat juga memunculkan kegiatan usaha
seperti usaha kerajinan, rekreasi atau hiburan, toko cinderamata dan lain-lain Atmaja dalam Metera, 1996. Salah satu contohnya yaitu usaha kerajinan yang
berkembang di daerah Bali ketika daerah tersebut dijadikan kawasan pariwisata. Seperti usaha kerajinan patung batu padas, usaha kerajinan emas dan perak,
usaha kerajinan ukiran kayu, dan usaha kerajinan lukisan Suara Merdeka dalam Suhendar dan Winarni, 1998.
Pengembangan pariwisata memunculakan adanya produk wisata. Medlink dan Midleton menyatakan Yoeti, 1996b terdapat tiga unsur yang
membentuk produk wisata, yaitu : 1. Atraksi pada suatu daerah pariwisata termasuk citra daerah wisata.
2. Fasilitas di daerah wisata mencakup akomodasi, jasa boga, rekreasi, dan hiburan.
3. Aksesibilitas ke daerah pariwisata. Pengembangan produk wisata dapat menjadi salah satu peluang
usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut. Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat
dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan yang mereka miliki Metera, 1996.
1.2 Perumusan Masalah