Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk

langsung dan terbuka. Dalam arti pembeli mengatakan tujuan dia membeli lahan apakah untuk sawah atau perumahan. Dari uang jual beli lahan itu, selain digunakan untuk membeli lahan, juga digunakan untuk membeli atau memperbaiki rumah dan untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi tidak semua petani dapat mengalokasikan uang jual beli lahan untuk menunaikan ibadah haji. Dari peristiwa alih fungsi lahan ini, petani yang merasa dirugikan adalah petani yang memiliki lahan sempit sebab uang jual beli lahan yang mereka terima hanya untuk membeli lahan dan tingkat kesuburannya kurang dari lahan yang mereka miliki sebelumnya. Sedangkan petani yang memiliki lahan luas mendapatkan keuntungan, yaitu petani yang memiliki lahan luas dapat membeli lahan lebih luas di tempat lain, bisa memperbaiki rumah, dan menunaikan ibadah haji. Alokasi uang oleh petani yang memiliki lahan sedang biasanya membeli lahan di tampat lain dan memperbaiki rumah.

6.3 Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian Penduduk

Sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani pemilik lahan. Komoditas pertanian yang mereka tanam selain padi sawah adalah sayuran, seperti cabe, bawang daun, buncis, dan kacang kapri. Mata pencaharian mereka tidak berubah meskipun telah dibangun fasilitas pariwisata. Hal ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman yang menyatakan bahwa rho 2 hitung untuk hubungan antara luas kepemilikan lahan sebelum adanya Kota Bunga dan perubahan pekerjaan utama setelah adanya Kota Bunga sebesar 0,600 dan rho tabelnya sebesar 0,364. Sehingga uji ini menyatakan bahwa pada taraf nyata 0,05 ternyata terdapat hubungan. Berdasarkan Tabel 12, dari 30 petani hanya 16,67 persen saja yang berubah mata pencahariannya. Petani yang berubah mata pencahariannya adalah petani yang memiliki lahan sempit. Sedangkan petani yang memiliki lahan sedang dan tinggi tetap bekerja sebagai petani. Demikian halnya setelah petani mendapatkan uang jual beli lahan lahan. Mata pencaharian petani tidak berubah secara signifikan. Meskipun ada 1 orang yang menjadi pedagang sayuran, 3 orang yang menjadi buruh bangunan 24 , dan 1 orang yang membuka usaha sendiri yaitu berjualan di pasar, tetap saja jika dibandingkan dari keseluruhan, mereka tetap memilih jadi petani. Menurut mereka, uang jual beli lahan yang mereka dapatkan tidak dapat digunakan sebagai modal usaha lain. Mereka lebih mengutamakan uang tersebut digunakan untuk membeli lahan agar mereka dapat bertani kembali. Selain itu, mereka merasa tidak memiliki keahlian untuk berpindah profesi seperti membuka usaha sendiri. Tabel 12 . Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga Perubahan Jenis Pekerjaan Utama Setelah adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Tetap Berubah Total Rendahsempit 11 4 16 Sedang 5 5 Tinggiluas 9 9 Total 25 5 30 Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,600; rho tabel = 0,364 ; á= 0,05; Keputusannya adalah terdapat hubungan. Faktor yang menyebabkan mereka tetap memilih bekerja sebagai petani adalah karena bertani merupakan pekerjaan mereka semenjak mereka berumahtangga bahkan orang tua mereka pun bekerja sebagai petani. Selain itu, mereka merasa bertani adalah pekerjaan yang cocok baginya dan dengan 24 Mereka menjadi buruh bangunan di Kota Bunga dan Jakarta. Petani yang menjadi buruh bangunan di Jakarta bekerja ketika di Kota Bunga tidak ada proyek. bertani kebutuhan pokok pangan mereka akan selalu terjamin. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Redfield dalam Suhendar dan Winarni 1998 bahwa petani memiliki sikap intim dan hormat pada lahan dan menganggap pekerjaan pertanian adalah pekerjaan yang baik. Tabel 13. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Tidak Memiliki Pekerjaan Sampingan Memiliki Pekerjaan Sampingan Total Rendah 16 16 Sedang 4 1 5 Tinggi 8 1 9 Total 28 2 30 Keterangan uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,359; rho Tabel = 0,364; á= 0,05; Keputusannya adalah tidak ada hubungan. Berdasarkan Tabel 13, sebelum dibangunnya fasilitas pariwisata Kota Bunga, hampir seluruh responden tidak memiliki pekerjaan sampingan yaitu sekitar 93,33 persen petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hal ini didukung oleh hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman, dimana rho hitung yang didapat sebesar 0,359 dan rho tabelnya sebesar 0,364 ternyata pada taraf nyata 0,05 tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut. Sama halnya setelah dibangunnya fasilitas pariwisata Kota Bunga, pada umumnya mereka tetap tidak memiliki pekerjaan sampingan Tabel 14. Tetapi dari segi kuantitas, ada petani yang memiliki pekerjaan sampingan yaitu 1 orang yang mengatakan bahwa bertani adalah pekerjaan sampingan dan pekerjaan utamanya adalah berdagang sayuran. Petani ini mengatakan bahwa bertani adalah pekerjaan sampingan karena petani ini fokus pada kegiatan berdagang sayuran, sedangkan bertani dilakukan jika ada waktu saja. Selain itu, dia juga mengatakan hasil yang didapatkan dari berjualan sayuran jauh lebih menjanjikan dibanding dari hasil bertani. Selanjutnya, sebanyak 5 orang yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang, dan 1 orang sebagai buruh bangunan di Kota Bunga. Sebagian besar petani sangat menggantungkan kelangsungan hidupnya pada kegiatan pertanian. Petani tidak memiliki pekerjaan sampingan di luar kegiatan pertanian karena mereka menghabiskan seluruh waktu dan tenaga mereka untuk bertani. Tabel 14. Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Jenis Pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga Luas Kepemilikan Lahan Sebelum Adanya Kota Bunga Tidak Memiliki Pekerjaan Sampingan Memiliki Pekerjaan Sampingan Total Rendah 13 3 16 Sedang 4 1 5 Tinggi 6 3 9 Total 23 7 30 Keterangan hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman : rho hitung = 0,359; rho tabel = 0,364 ; á= 0,05; Keputusannya adalah tidak ada Hubungan. Pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga selain berakibat pada perubahan kepemilikan lahan pertanian juga dapat mengubah pelapisan pada masyarakat. Petani-petani yang mendapat keuntungan dari penjualan lahan memiliki kesempatan untuk berpindah ke lapisan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dari penjualan lahan tersebut petani memperoleh uang yang selanjutnya uang tersebut dialokasikan untuk memperbaiki rumah mereka kepemilikan benda berharga atau menunaikan ibadah haji. Ketika petani mengalokasikan uang hasil jual beli lahan untuk memperbaiki rumah atau menambah perabotan rumahtangga, maka kepemilikan benda berharga petani itu bertambah, sehingga dia jika pelapisan dalam masyarakat tersebut berdasarkan kepemilikan benda berharga, maka petani tersebut dapat berpindah ke lapisan yang di atasnya. Demikian halnya dengan petani yang mengalokasikan uang mereka untuk menunaikan ibadah haji. Dengan menunaikan ibadah haji, mereka dapat lebih disegani dan dihormati. Apalagi Desa Sukanagalih merupakan desa yang nilai-nilai keagamaan masih dijunjung tinggi. BAB VII PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DESA SUKANAGALIH 7.1 Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih Sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki saluran air, hingga panen. Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan bersama ini adalah anggota keluarga petani dan tetangganya. Anggota keluarga petani terlibat dalam seluruh kegiatan bertani, sedangkan tetangganya hanya terlibat dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan yang khusus dilakukan oleh anggota keluarga petani seperti mencangkul di sawah dan membersihkan pematang, sedangkan kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh anggota keluarga dan tetangga adalah menanam padi, memberantas hama, memperbaiki saluran air, dan panen. Anggota keluarga laki-laki bertanggung jawab dalam hal mencangkul tanah agar tanah yang akan ditanami padi subur, memperbaiki saluran air, memberantas hama tikus, membersihkan pematang, dan panen membabat sawah, sedangkan anggota keluarga perempuan bertanggung jawab pada kegiatan menanam padi, memberantas hama burung, mencabut rumput, dan panen mengambil biji padi. Petani dan tetangganya saling tolong menolong dalam kegiatan bertani. Tolong menolong ini dilakukan secara bergantian dari keluarga atau rumahtangga yang satu kemudian ke keluargarumahtangga yang lainnya. Tetangga yang membantu bertani tidak mendapatkan upah berupa uang, karena petani yang dibantunya sekarang akan kembali membantu di sawah tetangganya itu. Mereka hanya mendapatkan minuman dan makan siang atau terkadang kue- kue di antara sarapan dan makan siang. Hal ini dipandang sebagai hubungan kekerabatan oleh Hayami dan Kikuchi 1987. Mereka menyatakan bahwa hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, hal ini dikarenakan orang desa hidup bersama di dalam satu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula. Dengan adanya hubungan kekerabatan ini, masyarakat petani dapat tetap survive dan solidaritas komunitas kuat. Kegiatan produksi yang dilakukan petani masih bersifat subsisten Suhendar dan Winarni, 1998. Ada beberapa petani juga yang memberikan bayaran kepada tetangga yang telah membantu mereka dalam proses produksi ini. Petani yang membayar tetangganya dalam kegiatan bertani tidak memiliki kewajiban untuk membantu tetangganya nanti. Petani ini adalah petani yang memiliki lahan luas, sedangkan petani yang mendapatkan bayaran ini disebut buruh tani. Bayaran untuk buruh tani perempuan sebesar Rp. 3.000,00 per hari dan terkadang mendapatkan makan siang jika petani yang memperkerjakannya memiliki uang untuk memberi makan siang , sedangkan bayaran untuk buruh tani laki-laki sebesar Rp. 5.000,00 per hari dan terkadang juga mendapatkan makan siang. Pada saat panen, ada beberapa petani yang membayar buruh tani dengan satu ikat padi jika buruh tani itu membantu dan menghasilkan 12 ikat padi. 7.2 Kelembagaan dan M ata Pencaharian Masyarakat Desa Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga Setelah adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam bertani. Sifat kelembagaan setelah adanya Kota Bunga yaitu kome rsil, dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat kelembagaan sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong, sedangkan setelah pembangunan fasilitas pariwisata, segala kegiatan dinilai untung ruginya dari segi pendapatan. Tjondronegoro 1999 memandang peristiwa ini mengakibatkan terkikisnya sistem derep dan bawon yang memiliki fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya upah uang. Hubungan komersial disebabkan masuknya ekonomi uang di perdesaan. Komersialisasi pada sifat kelembagaan di Desa Sukanagalih tercermin dari perubahan cara pandang buruh tani dalam memilih pekerjaan. Orang-orang yang bekerja menjadi buruh, lebih memilih menjadi buruh di wilayah Kota Bunga sebagai pencabut rumput di taman dibanding menjadi buruh di sawah. Pertimbangan dasarnya adalah upah yang didapatkan dari mencabut rumput di taman lebih besar dibanding upah yang didapat dari bekerja di sawah. Menurut responden, tenaga kerja untuk mengerjakan sawah saat ini sulit didapatkan. Hal ini dikarenakan banyak tenaga kerja yang lebih memilih bekerja di Kota Bunga atau menjadi buruh pabrik di Jakarta. Pertimbangan ini berdasarkan penilaian untung rugi yang dikonversikan ke dalam nilai uang. Bekerja di Kota Bunga sebagai pencabut rumput dapat menghasilkan upah sebesar Rp. 11.000,00 hingga Rp. 16.000,00 per hari, sedangkan upah yang dihasilkan dari bekerja di sawah sebesar Rp. 8.000,00 per hari untuk tenaga kerja perempuan dan Rp. 10.000,00 per hari untuk tenaga kerja laki-laki. Hal ini menyebabkan nilai buruh tani meningkat setelah adanya Kota Bunga. Ada hal lain yang menyebabkan tenaga kerja sulit didapatkan khususnya tenaga kerja yang masih muda atau pemuda. Banyak pemuda yang lebih memilih bekerja di kota sebagai buruh pabrik daripada bekerja di sawah. Menurut mereka pemuda, bekerja di kota lebih terhormat dibanding bekerja di sawah. Meskipun sifat kelembagaan telah berubah, hampir seluruh responden tetap bermata pencaharian sebagai petani. Petani-petani ini juga masih berpikir memproduksi beras untuk kebutuhan subsisten. Hanya petani sayuran yang telah memperhitungkan untung rugi antara input dan output. Menurut mereka, penghasilan mereka saat ini berkurang dikarenakan harga pupuk yang masih tinggi. Demikian juga dalam hal pekerjaan sampingan. Hampir seluruh petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hanya saja responden yang mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai pedagang meningkat 25 . Peningkatan ini dikarenakan 5 petani tersebut memiliki modal untuk membuka usaha berjualan sayuran atau buah-buahan di sepanjang jalan menuju fasilitas pariwisata yang ada di Desa Sukanagalih termasuk Kota Bunga. Tapi saat ini mereka mulai mengeluhkan akan meninggalkan pekerjaan sampingan itu. Hal ini dikarenakan pengunjung yang datang ke tempat-tempat fasilitas pariwisata khususnya Kota Bunga berkurang. Selain sebagai pedagang sayuran, ada juga responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan di Kota Bunga. Upah yang didapatkan sebagai buruh bangunan cukup tinggi menurut mereka yaitu sekitar Rp. 25.000,00 per hari. Hanya saja penghasilan dari bekerja sebagai buruh bangunan tidak didapatkan setiap hari atau setiap bulan, tergantung ada atau tidaknya proyek. Menurut mereka, waktu dulu, panggilan untuk bekerja sebagai buruh bangunan banyak karena saat itu Kota Bunga dalam proses pembangunan sedangkan sekarang panggilan untuk bekerja sebagai buruh bangunan berkurang bahkan hampir tidak ada. Meskipun Kota Bunga sedang 25 Lihat Tabel 13 pada Bab VI tentang jumlah responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebelum adanya Kota Bunga. melakukan pengembangan, tenaga kerja yang dibutuhkan sebagai buruh bangunan terbatas. Perusahaan Kota Bunga kini sedang melakukan efisiensi. Hal ini berdampak pula pada peluang kerja. Salah satu langkah yang dilakukan Perusahaan adalah pengurangan karyawan, termasuk juga pengurangan buruh. Maka pengurangan buruh pun dilakukan sehingga banyak masyarakat lokal yang bekerja sebagai buruh terpaksa di PHK Pemutusan Hubungan Kerja. Dari perisitiwa ini, keberadaan tempat pariwisata Kota Bunga tidak menguntungkan masyarakat dalam hal kesejahteraan masyarakat lokal. Sehingga muncul ketidakpuasan dari masyarakat lokal akan hal ini. Ketidakpuasan masyarakat lokal juga muncul karena akibat lain seperti uang pesangon yang dijanjikan tidak sesuai dan janji-janji perusahaan untuk memberikan peluang kerja baru pun tidak pernah ada. Demikian halnya yang terjadi pada pengunjung Kota Bunga dan masyarakat lokal. Berdasarkan model pariwisata yang diungkapkan Soekadijo 2000, maka aktivitas pengunjung Kota Bunga termasuk dalam model enklave , dimana aktivitas pengunjung hanya di sekitar Kota Bunga. Pengunjung bersenang-senang di sekitar Kota Bunga, berbelanja cindera mata di kawasan Kota Bunga, dan melihat berbagai pertunjukkan di dalam kawasan Kota Bunga. BAB VIII PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI SEKTOR PARIWISATA Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan yang diiringi adanya produk-produk wisata dapat membuka peluang usaha dan peluang kerja di perdesaan. Seperti yang diungkapkan salah satu aparat pe merintah Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur bahwa pertimbangan dari pembangunan fasilitas pariwisata di Cianjur adalah untuk membuka kesempatan kerja bagi masyarakat Cianjur. Maka pada bab ini akan dibahas sejauh mana manfaat pembangunan fasilitas pariwisata di Desa Sukanagalih terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat Desa Sukanagalih.

8.1 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata