Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Penelitian Kerangka Pemikiran

dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang usaha, masyarakat pendatang lebih mampu mengisi peluang tersebut. Masyarakat pendatang memiliki modal yang cukup dan telah diperhitungkan untuk berusaha di daerah wisata, sehingga kemungkinan rugi dapat ditekan, sedangkan masyarakat lokal jarang memperhitungkan hal tersebut. Selain itu keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat lokal merupakan salah satu kelemahan dalam memasuki peluang usaha. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan dapat menjadi peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal dan keterampilan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi mereka hanya dapat menempati usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usaha- usaha utama itu biasanya ditempati pendatang atau pemilik modal.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan struktur agraria rumahtangga petani karena pembangunan fasilitas pariwisata dan dampaknya terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat lokal. Tujuan ini dirinci sebagai berikut : 1. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap perubahan struktur agraria. 2. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap kelembagaan di perdesaan. 3. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal dan kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan masyarakat lokal.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perubahan struktur agraria di perdesaan sebagai akibat pembangunan fasilitas pariwisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sehingga lebih memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini membahas dampak pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan. Fasilitas pariwisata yang dibahas berupa pembangunan real estate atau villa-villa. Pembahasan penelitian ini, fokus pada alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan perubahan struktur agraria di perdesaan. Selain masalah agraria, penelitian ini membahas perubahan sifat kelembagaan di perdesaan dan pembahasan mengenai peluang usaha dan peluang kerja yang muncul akibat pembangunan fasilitas pariwisata. BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas

Pariwisata Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Orde Baru mengundang investasi swasta asing dan domestik dalam kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia termasuk kegiatan industri. Upaya tersebut dilegitimasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Tujuan dikeluarkannya UU tersebut yaitu menarik investor asing dan dalam negeri domestik melakukan investasi di Indonesia Suhendar dan Winarni, 1998. Undang-undang penanaman modal ini ditindaklanjuti dengan serangkaian kebijakan yang memberi kemudahan kepada investor seperti keringanan pajak, pembebasan bea masuk, penyediaan tenaga kerja yang melimpah dan murah, dan kemudahan memperoleh tanah. Adapun kemudahan memperoleh tanah untuk investor dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang industrial estate 2 . Dalam perkembangan selanjutnya aturan penyediaan tanah untuk industri diperkuat melalui Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Dalam keputusan Presiden tersebut, pemberian lokasi untuk kawasan industri mengikuti petunjuk sebagai berikut : 1 sejauh mungkin harus menghindari pengurangan areal subur; 2 2 Industrial estate adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi keperluan usaha-usaha, termasuk industri pariwisata yang dilengkapi prasarana-prasarana umum yang diperlukan. sedapat mungkin memanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; 3 sedapat mungkin menghidari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya; 4 perhatian terhadap persyaratan bebas pencemaran lingkungan Metera, 1996. Kebijakan tentang kepariwisataan diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: 1 kebudayaan dan pariwisata adalah wahana pengembangan wilayah; 2 dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata, masyarakat merupakan subyek pembangunan dan bukan hanya obyek pembangunan; 3 pelestarian dan pengembangan kebudayaan pariwisata menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara kesatuan Indonesia; dan 4 pemanfaatan unsur kesenian dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata harus dilakukan secara bertanggung jawab dan menuju pada pelestarian alam dan pengkayaan budaya, sehingga menjadi wahana persahabatan antar bangsa, sekaligus menunjung pelestarian lingkungan alam Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003. Selanjutnya penanganan tugas pemerintahan tentang kepariwisataan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 2003 memerlukan integrasi kelembagaan dalam penanganan tugas pemerintahan di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Hal ini mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002. Beberapa isi dari Keppres tersebut adalah Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata merumuskan kebijakan pemerintah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rumusan kebijakan itu diperlukan perhatian terhadap peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha kebudayaan dan pariwisata dalam memajukan kebudayaan dan pariwisata, penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasanlahan dalam rangka penyusunan tata ruang di bidang Kebudayaan dan Pariwisata, dan penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KEP-04-AMKPVI2001, tujuan program pengembangan pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan kebudayaan serta sumber daya pesona alam lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Landasan pengembangan pariwisata juga berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XII tentang pembinaan dan pengawasan, pasal 112, ayat 1 menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi. Selain undang-undang yang telah disebutkan di atas, masih ada undang-undang lain yang terkait dengan kepariwisataan khususnya wisata alam, diantaranya yaitu Yoeti, 2001: 1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. 2. Kepmen Parpostel No. KM.98PW.102MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata. 3. Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No. Kep. 18U111988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata. 4. Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 5. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona pemanfaatan kawasan pelestarian alam. 6. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. 7. Sadar Wisata dan Sapta Pesona dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata

2.1.2 Pengembangan Kepariwisataan

Menurut Institut of Tourisme in Britain dalam Pendit 1986, pariwisata adalah kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar te mpat tinggal dan tempat bekerja, sedangkan Pendit 1986 memandang pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produtivitas lainnya. Ke pariwisataan mewajibkan penyediaan produk wisata. Beberapa produk wisata diantaranya Yoeti, 1996 yaitu: 1. Jasa-jasa agen perjalanan yang memberi informasi, advis, pengurusan dokumen perjalanan, perjalanan itu sendiri pada waktu akan berangkat. 2. Jasa-jasa perusahaan angkutan yang akan membawa wisatawan dari dan ke daerah tujuan wisata. 3. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi. 4. Jasa-jasa agen perjalanan lokal yang menyelenggarakan perjalanan ke obyek-obyek wisata setempat. 5. Jasa-jasa transport lokal bus, taksi, coach-bus dalam melakukan perjalanan obyek wisata setempat. 6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata. 7. Jasa-jasa pedagang cinderamata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan. 8. Jasa-jasa perusahaan pendukung seperti postcard film photo supply, penukaran uang bank. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan sumberdaya, ketersediaan sumberdaya wisata di Indonesia banyak macamnya, diantaranya yaitu Joyosuharto, 2001 : 1. Alam non hayati : wilayah pesisir di pantai, pegunungan, laut, pulau karang, taman laut, danau, dan gua. 2. Alam hayati : hutan pantai, hutan bakau, hutan dataran rendah, pegunungan dengan floranya, dan fauna. 3. Manusia dengan perilaku, budaya dan kebutuhan : Adat istiadat yang terpatri dalam kehidupanya, budaya dan kebutuhan yang menggambarkan kedekatannya dengan alam hingga keramahan, kehalusan dan ketinggian budaya. 4. Buatan : taman hutan raya, taman margasatwa, taman pantai, peninggalan sejarah, tata letak dan arsitektur rumah, tempat peribadatan, istana raja, taman hiburan, dan museum. Kesemuanya itu dapat merupakan sumberdaya wisata yang menjanjikan keindahan atau daya tarik untuk dijual, sehingga dapat dinikmati wisatawan. Walaupun demikian, hal ini tergantung pengelolaan tempat wisata saja. Hal ini dikarenakan pengelolaan wisata tidak hanya bergantung pada sumberdaya wisata saja, tetapi memerlukan keterpaduan dalam penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, dan pemulihan sumberdaya wisata Joy osuharto, 2001. Selanjutnya ditambahkan oleh Lakoni 2001, yang menyatakan bahwa syarat utama dalam mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata adalah peningkatan profesionalisme yang didukung oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia, juga masalah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi KIS dalam pembangunan pariwisata. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan memberikan beberapa peluang usaha bagi masyarakat perdesaan khususnya petani, tetapi sedikit sekali peluang usaha yang dapat dimasuki oleh petani. Hal ini dikarenakan keterbatasan keterampilan yang dimiliki petani. Kemampuan untuk memasuki lapangan kerja baru tergantung pada faktor-faktor motivasi, keberanian mengambil resiko, modal yang dimiliki petani, kemunculan pusat pertumbuhan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, dan keberadaan lembaga yang mendukung petani memasuki peluang usaha Metera, 1996. Petani pemilik lahan luas pada peristiwa alih fungsi tanah di kawasan wisata Tanah Lot, Bali memiliki kecenderungan mengalokasikan uang ganti rugi untuk membeli tanah lagi di daerah pedalaman, sehingga dapat meneruskan kembali usahataninya. Hal yang paling menarik dari penelitian ini adalah buruh tani lebih banyak yang berubah mata pencaharian ketimbang penggarap. Hal ini disebabkan karena penggarap lebih terikat kepada tanah dibanding buruh tani. Buruh tani relatif lebih bebas tidak terikat pada lahan garapan ketimbang penggarap Metera, 1996. Yoeti 2001 menyarankan bahwa dalam pengembangan wisata di perdesaan, masyarakat perlu diberi informasi, mereka harus diberi ide-ide, kemudian pembinaan. Mereka tidak sadar bahwa di sekeliling mereka terdapat peluang usaha untuk menghasilkan uang. Di sinilah perlunya bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dalam memberikan pembinaan kepada petani untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, para pemula diajak ke Agrowisata Kali Klatak di Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana mereka melakukan studi banding terhadap pengusaha agrowisata yang berhasil dalam mengusahakan kopi, karet, coklat, dan cengkeh. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembangunan pariwisata tidak lagi hanya menjadi milik orang yang bermodal saja tetapi juga dimiliki oleh petani sekitar proyek yang selama ini hanya menjadi penonton di kampung halaman sendiri.

2.1.3 Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria

Salah satu kebijakan agraria di Indonesia adalah Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan fungsi sosial bagi kepemilikan tanah Pasal 33 dari UUD 1945; memberikan tanah bagi penggarapnya; dan penghapusan kepemilikan tanah berluasan lebih agar hubungan tuan tanah – penggarap menjadi lebih menguntungkan penggarap. Redistribusi tanah dipandu dengan aturan penjelasan dalam undang- undang tersebut mengenai luas penguasaan tanah minimum dan maksimum Tjondronegoro, 1999. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah dalam UUPA 1960 diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri ma upun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi pasal 4 UUPA 1960. Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: 1 hak milik, 2 Hak Guna Usaha, 3 hak guna bangunan, 4 hak pakai, 5 hak sewa, 6 hak membuka tanah, 7 hak memungut hasil hutan, 8 hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak- hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan untuk hapus dalam waktu yang singkat Subekti dalam Sutisna, 2001. Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam usaha pengumpulan devisa negara dari sektor pariwisata, kasus-kasus sengketa tanah yang merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah pariwisata banyak dijumpai di Jawa Barat. Seperti kasus di Desa Margamulaya, Bandung. Lahan seluas 360 ha dibebaskan untuk membangun perumahan mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195 KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha milik penduduk untuk kawasan wisata Suhendar dan Winarni, 1998. Travis dalam Pendit 1986 menyatakan dampak dari pariwisata adalah perusakan sumber peradaban, hilangnya kegunaan tanah, dan urbanisasi yang meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Metera 1996, alih fungsi tanah pertanian menjadi kawasan wisata mengakibatkan tiga hal yaitu : 1. Banyaknya petani yang membeli tanah di daerah lain, meskipun demikian masih lebih banyak petani yang mengalami penurunan luas lahan. 2. Semakin rendah status kepemilikan tanah, semakin besar kecenderungan untuk membeli tanah lagi. 3. Secara relatif semakin tinggi status pemilikan tanah semakin menurun kepemilikan atas tanah. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan kebutuhan manusia terhadap tanah meningkat sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah penduduk semakin meningkat . Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang tinggi Afianto, 2002. Barlow dalam Afianto 2002 menyatakan bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan tanah, kandungan barang tambang, atau keutamaan lokasi. Suatu contoh di perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987. Hal ini dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan tanah. Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah merupakan alat yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan. Pemilik modal memanfaatkan tanah dengan alasan untuk membangun infrastruktur di perdesaan dimana pemerintah sebagai aparat negara memberikan alasan memperluas kesempatan kerja, memperbesar devisa negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di perdesaan Fauzi, 1999. Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat produksi untuk surplus maksimal yang menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten petani yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang menggunakan faktor-faktor produksi menurut perhitungan rasional dan seefisien mungkin agar memperoleh keuntungan setingi-tinginya. Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi terpisah. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai alat produksi dengan mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang berdasarkan modal swasta dan negara. Kapitalisme yang berdasarkan modal swasta berkembang atas dasar kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa imbalan Suhendar dan Winarni, 1998. Kemudian Suhendar dan Winarni 1998 juga menjelaskan bahwa perebutan sumberdaya agraria dapat menimbulkan konflik. Konflik agraria sering terjadi pada kasus-kasus pengambilalihan lahan pertanian untuk kepentingan industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola agraria berikut pola penguasaannya terancam dengan terganggunya tata produksi oleh intervensi kapital ke masyarakat. Scott 1989 menilai bahwa dorongan moral merupakan alasan utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral yang besar. Menurut Wiradi 2000, terdapat perbedaan konsep antara pemilikan dan penguasaan lahan. Konsep “kepemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal. Hal ini berarti dalam penguasaan lahan terdapat undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut. Misalnya, seseorang mempunyai lahan yang terdaftar dalam hukum seluas 1 ha, maka ia dikatakan sebagai pemilik lahan tersebut. Masalah pemilikan tanah lebih nyata terdapat di Jawa dan Bali. Di wilayah ini konsep pemilikan telah berakar selama dua abad terakhir, sedangkan di pulau lain lebih dikenal dengan hak pakai, karena tanah merupakan milik komunal. Konsep “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Hal ini merujuk pada cara seseorang atau rumahtangga pertanian menguasai atau mengusahakan lahan. Apakah ia mengusahakan lahan miliknya sendiri atau mengusahakan tanah milik orang lain melalui cara sewa, bagi hasil, bengkok, tanah bebas sewa, tanah serobotan, atau tanah liar. Perubahan struktur agraria dapat mengubah pelapisan dalam masyarakat, seperti yang dikatakan Sorokin dalam Soekanto 1987 menjelaskan dasar adanya pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara anggota masyarakat. Soekanto 1987 memberikan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai dalam pelapisan masyarakat, yaitu : 1. Ukuran kekayaan yang dapat dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga seperti mobil, rumah, pakaian, dan barang-barang mewah lain. 2. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang tertinggi berada pada lapisan atas. 3. Ukuran kehormatan. Ukuran ini indikatornya adalah penghormatan kepada orang-orang yang disegani oleh masyarakat, biasanya pada masyarakat tradisional. Ukuran ilmu pengetahuan. Dipakai pada masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Biasanya orang-orang hanya melihat gelar kesarjanaan untuk mengukur lapisan yang berdasarkan ilmu pengetahuan.

2.1.4 Kelembagaan

Konsep kelemb agaan menurut Soekanto 1987 adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar dari segala kebutuhan pokok yang berada pada masyarakat. Koentjaraningrat 1980, mengajukan istilah lain untuk lembaga dengan sebutan pranata untuk institution, misalnya pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan memproduksi dan mendistribusikan harta benda yaitu pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini ditujukan agar tidak dikacaukan dengan istilah lembaga untuk institute suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang khas, biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau pengembangan. Istilah tersebut menunjuk pada kelakuan berpola atau sistem norma. Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Kelembagaan merupakan salah satu bentuk abstraksi dari struktur sosial. Dengan demikian perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai pergantian-pergantian pada struktur sosial melalui dimensi waktu. Struktur sosial dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang kuat atau kokoh pada hubungan sosial dalam bentuk interaksi secara rutin dan berulang-ulang Harper dalam Sutisna, 2001. Untuk lebih jelas melihat proses terbentuknya kelembagaan dapat dilihat pada gambar 1. Hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, meski demikian ikatan komunitas didasarkan pada kenyataan bahwa orang desa hidup bersama di dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula. Kelembagaan yang menguasai ekonomi desa yang bercirikan cara-cara produksi dan tukar-menukar merupakan adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral daripada undang-undang dan perjanjian resmi Hayami dan Kikuchi, 1987. Kelembagaan perdesaan mengalami tantangan berat di bawah arus modernisasi. Hal ini mengikis fungsi-fungsi sosial kelembagaan tersebut seperti sistem derep dan bawon yang mempunyai fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya upah uang . Masuknya ekonomi uang semakin merangsang hubungan komersial di perdesaan. Namun, ekonomi dan kelembagaan tradisional belum merata kesiapannya dalam menerima hubungan komersial tersebut. Hal lain yang mengikis kelembagaan di perdesaan adalah pelaksanaan revolusi hijau Tjondronegoro, 1999. Salah satu lembaga ekonomi institut di desa adalah Lembaga Perkreditan Desa. Rata-rata lembaga ekonomi di desa mensyaratkan adanya Gambar 1. Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat Peralatan dan Perlengkapan Personel Pendukung Kelakuan Berpola Sistem Norma agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk mendapatkan modal, mereka harus memiliki agunan. Lembaga Perkreditan Desa saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus dilengkapi jaminan agunan. Apalagi lembaga-lembaga ekonomi lain yang memiliki persyaratan lebih rumit daripada Lembaga Perkreditan Desa. Hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan oleh Soekadijo 2000 dibagi ke dalam tiga model, yaitu: 1. Model Enklave , dalam pariwisata model enklave wisatawan datang, masuk ke dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan. Waktunya dihabiskan di dalam kompleks hotel: mereka bersenang-senang di situ, menghabiskan malam harinya bersama-sama , berbelanja di hotel, melihat pertunjukan yang diadakan di hotel, dan kegiatan lain di hotel. 2. Model Berbaur, dalam pariwisata model berbaur wisatawan bergerak dan bergaul dengan penduduk setempat, mereka berekreasi di tengah-tengah masyarakat, berbelanja di tempat perbelanjaan yang juga terbuka untuk penduduk, hotelnya terletak di tengah-tengah kediaman penduduk atau mereka tinggal di homestay. 3. Model Individual, dalam model ini, wisatawan adalah wisatawan individual, yang memilih atraksi menurut selera pribadi.

2.1.5 Masyarakat Petani

Scott 1989 melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola subsisten dan tidak mau beresiko. Dalam menjelaskan mekanisme masyarakat petani, Scott 1989 memberikan sebuah nilai normatif yang mengambarkan kehidupan ekonomi petani yang dekat dengan pola hubungan sosial yang pantas, wajar dan adil. Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip mendahulukan selamat, merupakan indikator bahwa orientasi subsistensi sangat mendasari pola hidup petani. Petani menganggap pertanian bukanlah suatu usaha ekonomis untuk memperoleh keuntungan melainkan suatu pertanian subsistensi yang semata-mata menghasilkan pangan. Redfield dalam Winarni dan Suhendar 1998 melukiskan sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilai- nilai petani yang berlaku. Salah satu pola hubungan itu adalah sikap intim dan hormat pada tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik. Ia menyebutnya sebagai “rasa samar-samar tentang sesuatu yang pantas dihormati” di dalam tanah dan kegiatan pertanian. Sebaliknya Popkin dalam Suhendar dan Winarni 1998 mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah homo oekonomikos yang akan terus berusaha menghasilkan sumberdaya dan kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Sementara itu Hayami dan Kikuchi 1987 cenderung mengakui adanya moralitas dan rasionalitas petani. Pada masyarakat petani berlaku prinsip moralitas dan rasionalitas ketika akan mencari keuntungan. Petani cenderung mempekerjakan tetangganya atas dasar tolong menolong daripada mengambil tenaga kerja dari luar, meskipun dengan biaya yang sama atau bahkan lebih murah. Cara ini dinilai tepat untuk menghindari kerugian akibat kecurangan pekerja. Menurut Bahari 2001 secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani perdesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Tanah bagi petani bukan hanya memiliki arti materil-ekonomi melainkan memiliki arti sosial dan budaya. Luas tanah yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah menempati lapisan terendah pada komunitas petani. Tinggi rendahnya jumlah kepemilikan tanah dapat dilihat dari ketersediaan tanah di suatu komunitas. Suhendar dan Winarni 1998 menyimpulkan bahwa dari beberapa pandangan tersebut terlihat bahwa sebuah keluarga tani bisa tetap survive dan solidaritas komunitas tetap kuat. Mereka mengandalkan sikap kepatuhan terhadap peraturan-peraturan sosial bersama. Berhubung cara tersebut begitu efektif dalam menjamin keamanan seluruh keluarga petani, mekanisme itu kemudian melembaga dalam masyarakat. Dengan demikian pengertian subsisten tidak selalu berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan juga melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Ada tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani, diantaranya yaitu : 1. Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yaitu tanah dan sumberdaya agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya. Petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial. 2. Besar kecilnya skal a usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala usaha kecil, jika didasari oleh pemikiran yang cenderung berorientasi pasar mengejar surplus, petani tersebut disebut petani komersil. Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk petani subsisten. 3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas kebutuhannya saja, petani itu disebut petani subsisten. Sebaliknya, apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan untuk menghasilkan surplus, walaupun tanah yang dikuasainya terbatas, petani itu disebut petani komersil. Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam kenyataan petani di Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang subsisten mutlak. Akan tetapi jika digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa petani di Indonesia memiliki pola subsisten Suhendar dan Winarni, 1998.

2.1.6 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata

Sarana pariwisata seperti hotel dan perusahaan perjalanan adalah usaha yang padat karya Soekadijo, 2000. Berdasarkan penelitian yang dilaku kan Metera 1996 di Tanah Lot, Bali. Salah satu dampak alih fungsi lahan pertanian ke usaha pariwisata yaitu adanya perubahan mata pencaharian petani meskipun sebagian besar petani masih mempertahankan mata pencahariannya sebagai petani. Sebagian petani menginvestasikan uang ganti rugi untuk usaha di luar sektor pertanian dan membeli tanah lagi sebagai sumber mata pencaharian sampingan. Hanya sebagian kecil petani yang dapat masuk ke usaha pariwisata. Usaha-usaha itu diantaranya adalah usaha angkutan wisata, pedagang cindera mata, karyawan, dan tukang foto di obyek wisata. Sedikitnya petani yang mendapatkan peluang usaha di sektor pariwisata disebabkan kurangnya modal, keterampilan, dan pengetahuan petani. Salah satu contohnya yaitu untuk membuka kios di daerah wisata memerlukan dana sekitar 10-15 juta. Orang yang mampu menyewa kios itu sebagian besar bukan petani tetapi pemilik modal pendatangpengusaha.

2.2 Kerangka Pemikiran

Usaha pemerintah dalam meningkatkan devisa negara adalah melalui sektor pariwisata. Kini, sektor pariwisata menjadi sektor andalan pemerintah. Implementasinya, banyaknya pengembangan di sektor pariwisata. Salah satu pengembangan pariwisata adalah pembangunan fasilititas pariwisata. Dengan pembangunan fasilitas pariwisata, diharapkan dapat meningkatkan jumlah wisatawan sehingga menambah pendapatan negara. Dewasa ini, pembangunan fasilitas pariwisata banyak ditemukan di daerah perdesaan. Salah satu alasannya yaitu karena daerah perdesaan cocok untuk pembangunan tersebut. Keasrian dan kesejukan desa dapat sekaligus menjadi objek wisata. Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan tentu saja mengakibatkan berbagai perubahan di perdesaan. Perubahan yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah perubahan struktur agraria, kelembagaan, dan peluang usaha di perdesaan. Kemungkinan terjadinya perubahan struktur agraria dikarenakan adanya alih fungsi lahan, dimana kita ketahui bahwa sebagian besar masyarakat perdesaan bercocok tanam. Mereka bercocok tanam di lahan pertanian. Ketika adanya pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan, maka terjadilah perubahan fungsi lahan, dari pertanian ke non pertanian. Dari peristiwa ini, selain terjadi alih fungsi lahan, terjadi pula perubahan kepemilikan lahan. Perubahan kepemilikan lahan diiringi adanya jual beli lahan atau biasa disebut ganti rugi lahan. Perubahan kepemilikan lahan dari petani ke pemilik modal atau pengusaha dapat mengakibatkan petani kehilangan mata pencahariannya karena lahan yang biasa digarap kini menjadi suatu tempat wisata. Kehilangan mata pencaharian petani dapat disebabkan pula oleh kecilnya ganti rugi lahan yang diberikan pemodal kepada petani sehingga petani tidak dapat membeli lahan di daerah lain. Kelembagaan yang ada di perdesaan adalah kelembagaan gotong royong. Dimana adanya sifat tolong menolong dan kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Masuknya pembangunan di perdesaan dapat mengubah kelembagaan tersebut, yang tadinya gotong royong berubah menjadi komersil. Pembangunan fasilitas pariwisata dapat me ngakibatkan masyarakat meninggalkan sifat gotong royong kemudian beralih ke komersil , dimana setiap tindakan dinilai dengan uang. Selanjutnya, komersialisasi dapat mengakibatkan perubahan mata pencaharian masyarakat di perdesaan. Hal ini tentu saja didasari keuntungan dari mata pencaharian baru yang dikonversikan ke uang jauh lebih besar. Kemudian juga meningkatkan pendapatan rumahtangga petani. Keuntungan yang tinggi dari perubahan mata pencaharian ini dalam jangka waktu tertentu dapat menghasilkan perubahan pelapisan sosial masyarakat tersebut. Pembangunan fasilitas pariwisata mengakibatkan perubahan dalam masyarakat. Adanya fasilitas pariwisata di perdesaan dapat dikatakan merupakan peluang usaha dan atau peluang kerja bagi masyarakat desa setempat. Masyarakat setempat kemudian memasuki peluang-peluang itu jika mereka memiliki kriteria yang dibutuhkan untuk memasuki peluang tersebut. Kriteria itu adalah pendidikan, keterampilan, modal, dan motivasi. Berdasarkan laporan-laporan penelitian, masyarakat desa hanya bisa memasuki peluang kerja yang menghasilkan pendapatan yang tidak terlalu tinggi atau rendah. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan, modal, dan keterampilan mereka meskipun motivasi mereka tinggi. Peluang usaha hanya dapat dimasuki orang yang memiliki modal, pendidikan, dan keterampilan tinggi. Dapat atau tidaknya masyarakat desa memasuki peluang-peluang tersebut, hal ini tentu saja mempengaruhi tingkat pendapatan bahkan pelapisan sosial masyarakat desa tersebut. Misalnya, seorang petani yang tergolong strata menengah ke atas karena ia memiliki beberapa hektar lahan pertanian, kini setelah lahan dijual ke pengusaha fasilitas pariwisata tersebut petani tersebut berpindah strata menjadi golongan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan uang hasil jual beli tanah tidak dapat dibelikan lahan di daerah baru ditambah petani tersebut tidak dapat memasuki peluang usaha atau peluang kerja baru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. 31 Penetapan Daerah Wisata Jenis- jenis Produk Wisata Peluang Usaha dan Peluang Kerja Tingkat Pendapatan Perubahan Mata Pencaharian - Jenis Pekerjaan Utama Sebelum dan Setelah - Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum dan Setelah Perubahan Kelembagaan Bentuk- bentuk Kelembagaan Perubahan Struktur Agraria - Luas Kepemilikan Lahan Sebelum dan Setelah Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan

2.3 Hipotesa Uji