Masyarakat Petani Tinjauan Pustaka

agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk mendapatkan modal, mereka harus memiliki agunan. Lembaga Perkreditan Desa saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus dilengkapi jaminan agunan. Apalagi lembaga-lembaga ekonomi lain yang memiliki persyaratan lebih rumit daripada Lembaga Perkreditan Desa. Hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan oleh Soekadijo 2000 dibagi ke dalam tiga model, yaitu: 1. Model Enklave , dalam pariwisata model enklave wisatawan datang, masuk ke dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan. Waktunya dihabiskan di dalam kompleks hotel: mereka bersenang-senang di situ, menghabiskan malam harinya bersama-sama , berbelanja di hotel, melihat pertunjukan yang diadakan di hotel, dan kegiatan lain di hotel. 2. Model Berbaur, dalam pariwisata model berbaur wisatawan bergerak dan bergaul dengan penduduk setempat, mereka berekreasi di tengah-tengah masyarakat, berbelanja di tempat perbelanjaan yang juga terbuka untuk penduduk, hotelnya terletak di tengah-tengah kediaman penduduk atau mereka tinggal di homestay. 3. Model Individual, dalam model ini, wisatawan adalah wisatawan individual, yang memilih atraksi menurut selera pribadi.

2.1.5 Masyarakat Petani

Scott 1989 melihat petani dari segi moral yang hidup dalam pola subsisten dan tidak mau beresiko. Dalam menjelaskan mekanisme masyarakat petani, Scott 1989 memberikan sebuah nilai normatif yang mengambarkan kehidupan ekonomi petani yang dekat dengan pola hubungan sosial yang pantas, wajar dan adil. Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip mendahulukan selamat, merupakan indikator bahwa orientasi subsistensi sangat mendasari pola hidup petani. Petani menganggap pertanian bukanlah suatu usaha ekonomis untuk memperoleh keuntungan melainkan suatu pertanian subsistensi yang semata-mata menghasilkan pangan. Redfield dalam Winarni dan Suhendar 1998 melukiskan sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilai- nilai petani yang berlaku. Salah satu pola hubungan itu adalah sikap intim dan hormat pada tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik. Ia menyebutnya sebagai “rasa samar-samar tentang sesuatu yang pantas dihormati” di dalam tanah dan kegiatan pertanian. Sebaliknya Popkin dalam Suhendar dan Winarni 1998 mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah homo oekonomikos yang akan terus berusaha menghasilkan sumberdaya dan kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Sementara itu Hayami dan Kikuchi 1987 cenderung mengakui adanya moralitas dan rasionalitas petani. Pada masyarakat petani berlaku prinsip moralitas dan rasionalitas ketika akan mencari keuntungan. Petani cenderung mempekerjakan tetangganya atas dasar tolong menolong daripada mengambil tenaga kerja dari luar, meskipun dengan biaya yang sama atau bahkan lebih murah. Cara ini dinilai tepat untuk menghindari kerugian akibat kecurangan pekerja. Menurut Bahari 2001 secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani perdesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Tanah bagi petani bukan hanya memiliki arti materil-ekonomi melainkan memiliki arti sosial dan budaya. Luas tanah yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah menempati lapisan terendah pada komunitas petani. Tinggi rendahnya jumlah kepemilikan tanah dapat dilihat dari ketersediaan tanah di suatu komunitas. Suhendar dan Winarni 1998 menyimpulkan bahwa dari beberapa pandangan tersebut terlihat bahwa sebuah keluarga tani bisa tetap survive dan solidaritas komunitas tetap kuat. Mereka mengandalkan sikap kepatuhan terhadap peraturan-peraturan sosial bersama. Berhubung cara tersebut begitu efektif dalam menjamin keamanan seluruh keluarga petani, mekanisme itu kemudian melembaga dalam masyarakat. Dengan demikian pengertian subsisten tidak selalu berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan juga melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Ada tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani, diantaranya yaitu : 1. Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yaitu tanah dan sumberdaya agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya. Petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial. 2. Besar kecilnya skal a usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala usaha kecil, jika didasari oleh pemikiran yang cenderung berorientasi pasar mengejar surplus, petani tersebut disebut petani komersil. Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk petani subsisten. 3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas kebutuhannya saja, petani itu disebut petani subsisten. Sebaliknya, apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan untuk menghasilkan surplus, walaupun tanah yang dikuasainya terbatas, petani itu disebut petani komersil. Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam kenyataan petani di Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang subsisten mutlak. Akan tetapi jika digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa petani di Indonesia memiliki pola subsisten Suhendar dan Winarni, 1998.

2.1.6 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata