Cerita Rakyat Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu

commit to user tempat yang lain untuk mencari petunjuk dimana letak pusaka Pajang yang hilang tersebut. Kerelaan dan kesetiaan dari seorang wanita yang bernama Nyi Randha Kuning. Demi cintanya kepada pangeran Nyi Randha Kuning rela mengapdikan dirinya dan setia menunggu jawaban dari pangeran yang dicintainya hingga Nyi Randha Kuning meninggal. Keiklasan dari Pangeran Jati Kusuma juga bisa dicontoh oleh generasi muda. Keiklasan Pangeran Jati Kusuma yang rela mengurangi makan dan minum dan pangeran Jati Kuswara yang menambah makan dan minum. Keiklasan seperti itu merupakan nilai yang bila direfleksikan di kehidupan saat ini merpakan nilai yang langka. Keiklasan yang seperti itu sulit untuk bisa diketahui dengan jelas. Dimasa kini dalam kehidupan modern, keiklasan seperti itu bisa dikatakan langka, masyarakat kini sangat mengagungkan nilai-nilai individu.

b. Cerita Rakyat Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu

1 Isi Cerita Alkisah, pada saat masih zamannya penggede, di Desa Pojok Watu Desa Tu-brem hiduplah seorang penggede kepala perampok bernama Malang Sudiro. Pada suatu saat ia berniat mengawinkan anaknya yang bernama Malang Kusuma dengan seorang gadis dari Desa Ngoda. Hari perkawinan sudah ditentukan, begitu pula semua peralatan yang diperlukan telah dipersiapkan. Pada hari yang sudah ditentukan, rombongan pengiring pengantin pria berbondong-bondong dari Desa Pojok Watu menuju ke Desa Ngoda. Upacara perkawinan berjalan dengan lancar dan meriah. commit to user Pada hari kelima setelah perkawinan sepasar sang penganti akan diunduh, diboyong untuk dirayakan ke Desa Pojok Watu. Pada saat yang sudah ditentukan, iring-iringan rombongan pengantin berjalan dari Desa Ngado ke Desa Pojok Watu. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh segerombolan perampok, yang sesungguhnya adalah anak buah dari ayah sang pengantin laki-laki. Gerombolan perampok tersebut melakukan perampokan terhadap iring-iringan Malang Kusuma karena mereka tidak tahu kalau yang menjadi pengantin adalah anak dari pemimpin mereka. Dalam peristiwa perampokan tersebut, segala peralatan dan perlengkapan upacara iring-iringan pengantin berceceran di sepanjang jalan Ngoda-Pojok Watu. Rombongan iring-iringan pengantin berusaha melawan rombongan para perampok untuk mempertahankan benda-benda perlengkapan upacara perkawinan yang dibawanya. Maka terjadilah pertempuran cukup seru yang dalam istilah setempat disebut “tawur”. Tempat terjadinya perang tawur antara rombongan pengiring pengantin melawan rombongan gerombolan perampok tersebut kemudian dinamakan Desa Sawur. Peralatan kebesaran pengiring pengantin banyak yang tercecer di perjalanan. Barang-barang tersebut antara lain: bonang renteng alat gamelan untuk mengiringi perjalanan rombongan pengantin, kembang nyamplung sumping sang pengantin, jarit jomblang kain yang dipakai oleh sang pengantin, kalung perhiasan yang dipakai oleh sang pengantin, kukusan peralatan dapur yang digunakan keperluan upacara bukak kawah, khususnya untuk pengantin anak sulung. commit to user Tempat hilangnya bonang renteng disebut ‘Sawah Bonang Renteng’. Di sawah ini setiap akan mulai tanam atau panen harus didahului dengan membunyikan nabuh bende, sebagai pengganti bonang renteng. Tempat hilangnya sumping pengantin yang bernama ‘kembang nyamplung’ kemudian disebut ‘sawah nyamplung’. Tempat hilangnya kain yang digunakan pengantin bernama ‘jarit jombang’ kemudian disebut ‘Sawah Jombang’, tempat hilangnyakalung pengantin disebut Sawah Kalung. Tempat hilangnya peralatan bubak kawah yang berupa ‘kukusan’ disebut ‘Sawah Kukusan’. Hilangnya kalung sang pengantin karena sang pengantin terjerat dahan kacang kesrimpet. Oleh karena itu, di sawah tempat hilangnya kalung tersebut ditabukan ditanami pohon kacang. Dalam peristiwa tersebut akhirnya pengantin dan pengiringnya terpisah. Tempat terpisahnya sang pengantin dengan pengiringnya tersebut kemudian disebut ‘Sawah Manten’. Untuk membuang sial, ditempat tersebut tiap tahun harus disediakan bekakak putra-putri menyerupai sepasang pengantin, sebagai peringatan atas terjadinya peristiwa naas tersebut. Adapun sang pengantin yang sudah tidak ada lagi yang mengurusi merasa ketakutan, akhirnya bersembunyi ndhelik pada sebuah sendang mata air, yang kemudian disebut ‘Sendang Delik’. Setelah usai tawur, para pengiring mencari sang pengantin. Akan tetapi dicari kesana-kemari digoleki nganti napis belum juga ketemu. Akhirnya tempat para pengiring mencari pengantinnyatersebut kemudian disebut ‘Sawa Napis’. Atas terjadinya peristiwa perampokan terhadap iring-iringan pengantin yang berasal dari Desa Ngoda menuju Desa Pojok Watu tersebut dianggap sebagai commit to user malapetaka besar, sehingga sampai saat ini orang Desa Pojok Watu pantang berbesanan dengan orang Desa Ngoda. Jangankan berbesanan, membawa sesuatu dari Desa Pojok Watu juga dipantangkan. Konon pernah terjadi, ada seorang gembala membawa batu krikil dari Desa Pojok Watu, terpaksa harus mengembalikan ke tempatnya semula, karena begitu tiba di rumah, semua binatang piaraannya sakit. Anehnya, setelah batu kerikil tersebut dikembalikan ke tempatnya semula, semua binatang piaraannya yang semula sakit seketika sembuh seperti sedia kala. Penggede Malang Sudira begitu mengetahui bahwa apa yang diperbuat oleh anak buahnya adalah perbuatan yang salah, maka dia merasa malu. Dia lalu pergi meninggalkan desanya. Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang yang memikul dagangan ‘brem’ makanan dari sari tape. Ketika ditanya oleh penggede Malang Sudira mengenai barang apa yang dibawanya, orang tersebut merasa ketakutan dan khawatir kalau barang yang dibawanya akan dirampas oleh penggede tersebut. Oleh karenya ia menjawab dengan berbohong. Dikatakanlah barang yang dibawanya adalah ‘batu’. Mendengar jawaban tersebut Penggede Malang Sudira bertanya lagi: “Watu apa kok kaya brem” batu apa kok seperti brem. Atas kejadian itu, akhirnya desa tersebut juga dinamakan Watu Brem atau Tu-brem, yang merupakan kependekan dari kata ‘watu brem’. 2 Struktur Cerita

a Tema

Peristiwa yang diceritakan dalam cerita rakyat “Legenda Desa Watu Brem Tu-brem dan Desa Pojok Watu” adalah bermula dari seorang penggede kepala commit to user perampok bernama Malang Sudiro yang hendak menikahkan anaknya dengan seorang gadis dari Desa Ngoda. Hari pernikahan sudah ditetapkan dan pada hari yang sudah ditentukan upacara perkawinan berjalan dengan lancar dan meriah. Pada hari kelima sang pengantin diunduh atau diboyong ke Desa Pojok Watu dan ditengah perjalanan iring-iringan pengantin dihadang oleh segerombolan perampok yang sesungguhnya adalah anak buah ayah sang pengantin laki-laki. Gerombolan perampok itu melakukan perampokan terhadap iring-iringan pengantin Malang Kusuma karena tidak tahu yang menjadi pengantin adalah anak dari pimpinan mereka. Peralatan kebesaran pengiring pengantin tercecer di perjalanan karena antara perampok dan pengiring pengantin terjadi pertempuran hebat. Kedua pengantin pun terpisah dan tidak diketahui kemana perginya. Penggede Malang Sudiro begitu mengetahui bahwa apa yang diperbuat oleh anak buahnya adalah perbuatan yang salah, maka dia merasa malu. Dia lalu pergi meninggalkan desanya. Di perjalanan dia bertemu dengan seorang yang memanggul brem dan ketika Malang Sudiro bertanya kepada pemanggul brem tersebut tentang apa yang dipanggulnya orang itu menjawab dengan berbohong yaitu sedang memanggul watu batu. Orang tersebut terpaksa berbohong karena takut jika barang bawaannya akan dirampok oleh Malang Sudiro. Di dalam masyarakat Jawa, sifat seperti ini sering disebut dengan “ngunduh wohing pakarti”, yang artinya bahwa siapa pun yang berbuat jahat, pasti akan mengalami akibat perbuatannya. Ungkapan Jawa ini sesungguhnya mengandung nilai filosofi yang sangat tinggi, sebagai landasan dan pedoman dalam berperilaku. Begitu pula yang terjadi dalam Legenda Desa Watu commit to user BremPojok Watu yang mengisahkan tentang perbuatan yang tidak terpuji oleh tokoh yang bernama Malang Sudiro. Perbuatan buruknya menjadi boomerang terhadap dirinya. b Alur Cerita rakyat Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu dapat dikatakan menggunakan alur lurus atau maju. Secara berurutan diceritakan asal-usul tokoh cerita dan kronologi cerita yang dimulai dari rencana Malang Sudiro seorang pemimpin gerombolan perampok yang hendak menikahkan putranya dengan seorang gadis dari Desa Ngoda namun pada saat ngunduh manten, iring-iringan pengantin itu dihadang oleh gerombolan perampok. Gerombolan perampok tesebut sebenarnya adalah anak buahnya, anak buah Malang Sudiro yang tidak tahu bahwa yang dirampok adalah anak pimpinannya. c Tokoh Tokoh utama dalam Legenda Desa Watu BremPojok Watu adalah seorang penggede atau pimpinan gerombolan perampok yang bernama Malang Sudiro. Dia adalah seorang pemimpin gerombolan rampok yang pergerakannya secara sembunyi-sembunyi sehingga banyak yang tidak tahu jika dia adalah seorang pemimpin rampok. Yang harus menanggung malu karena para cantrikanak buahnya merampok iring-iringan pengantin anaknya sendiri karena anak buahnya tidak tahu. Selain Malang Sudiro juga ada lagi tokoh tambahan yaitu Malang Kusuma. Malang Kusuma adalah anak dari Malang Sudiro, pemimpin gerombolan commit to user rampok. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan yang tidak tahu bahwa ayahnya adalah seorang pemimpin perampok. Seorang gadis dari Desa Ngoda yang merupakan istri dari Malang Kusuma juga menjadi salah satu tokoh tambahan dalam cerita ini. Selain gadis tersebut disebutkan Legenda Desa Watu BremPojok Watu juga menampilkan tokoh tambahan seperti para anggotaanak buah dari Malang Sudira yaitu perampok yang jumlahnya banyak dan tersebar dan juga para pengiring pengantin yang ikut berperang melawan gerombolan perampok tersebut. d Latar Latar yang menonjol dalam cerita “Legenda Desa Watu BremPojok Watu” adalah latar tempat. Pada saat masih zamannya penggede, di Desa Pojok Watu Desa TU-brem hiduplah seorang pimpinan perampok yang akan menikahkan anaknya dengan seorang gadis dari Desa Ngoda. Tetapi pada saat pengantin diboyong, rombongan pengantin itu dihadang gerombolan perampok yang tidak lain adalah anak buah orang tua dari pengantin laki-laki. Ketika Malang Sudiro mengetahui hal tersebut dia malu dan pergi meninggalkan desanya. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang yang memanggul brem dan ketika Malang Sudiro bertanya kepada pemanggul brem tersebut tentang apa yang dipanggulnya, orang itu menjawab dengan berbohong yaitu sedang memanggul watu batu. Orang tersebut terpaksa berbohong karena takut jika barang bawaannya akan dirampok oleh Malang Sudiro. Atas kejadian itu, akhirnya desa tersebut juga dinamakan Desa Watu Brem atau Tu-brem, yang merupakan kependekan dari watu brem. commit to user

e Amanat

Di dalam Legenda Watu BremPojok Watu, mengisahkan seseorang yang sering melakukan perampokan seperti yang sering dilakukan oleh Malang Sudiro. Disaat ia mengadakan hajatan perkawinan anaknya, ternyata iring-iringan pengantin dirampok di tengah jalan yang justru dilakukan oleh anak buahnya. Di dalam masyarakat Jawa, sifat seperti ini seringkali disebut dengan istilah ngunduh wohing pakarti, yang artinya bahwa siapa pun yang berbuat kejahatan, pasti akan mengalami akibat perbuatannya. Tidak hanya di dalam cerita rakyat atau legenda, hukum karma atas tindakan yang dilakukan juga seringkali tercermin dalam perilaku dan tindakan masyarakat sehari-hari. Manusia seringkali tidak mudah memahami akan hal ini. Manusia tidak bisa menilai dan tidak bisa bercermin diri, atas perbuatan yang telah dilakukannya. Apakah perbuatannya telah sesuai dengan norma atau kaidah kehidupan atau belum, hanya orang lain yang bisa menilai. Ungkapan Jawa ngunduh wohing pakarti yang artinya siapa yang berbuat jahat akan menanggung akibatnya ini sebagai landasan dan pedoman dalam berperilaku. Begitu pula yang terjadi dalam Legenda Desa Watu BremPojok Watu yang mengisahkan tentang perbuatan yang tidak terpuji oleh tokoh yang bernama Malang Sudiro. Perbuatan buruknya menjadi boomerang terhadap dirinya. commit to user

c. Cerita Rakyat Terjadinya Desa Gersi