Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

UIN Syarif HIdayatullah Jakarta membentuk biofilm untuk mambantu kelangsungan hidupnya saat membentuk koloni pada paru-paru manusia Todar, 2004; Madigan et al.,2003; Salyers, 1994. P.aeruginosa menyebabkan kontaminasi pada perlengkapan anastesi dan terapi pernafasan, cairan intravena, bahkan air hasil proses penyulingan. Endoskopi, termasuk bronkoskopi adalah alat-alat medik yang paling sering dihubungkan dengan berjangkitnya infeksi nosokomial. Todar,2004; Srinivasa et al.,2003. Isolat P.aeruginosa diinokulasi dengan menggunakan media Pseudomonas Isolation Agar PIA padat yaitu media spesifik untuk bakteri P.aeruginosa dan diinkubasi pada suhu optimum yaitu 37 C Balows et al., 1991 selama 24 jam . Proses inokulasi bertujuan untuk memindahkan dan meremajakan bakteri yang akan digunakan, serta memastikan apakah isolat bakteri yang digunakan masih hidup atau sudah mati. Setelah diinkubasi selama 24 jam, isolat P.aeruginosa tumbuh sangat baik di dalam media agar. Isolat P.aeruginosa kemudian dibuat dalam bentuk suspensi dengan menggunakan media Heterotrof HTR cair. Sebanyak 10 ml media Heterotrof HTR cair dalam tabung reaksi ditambahkan isolat P.aeruginosa yang telah diambil menggunakan ose, kemudian divortex selama 1 menit agar homogen dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 C. Pada keesokan harinya, suspensi bakteri terlihat lebih keruh dari hari sebelumnya, hal ini menandakan bakteri telah tumbuh dan konsentrasi bakteri di dalam media lebih besar dibandingkan sebelumnya. Suspensi bakteri yang telah diinkubasi selama 24 jam kemudian diukur nilai absorbansi pada panjang gelombang 600 nm menggunakan alat spektrometer Thomas, 2006. Pengukuran nilai absorbansi dilakukan dengan tujuan mengetahui konsentrasi bakteri P.aeruginosa yang terdapat di dalam media Heterotrof HTR cair. Nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi suspensi bakteri. Pada penelitian ini, nilai absorbansi yang diinginkan adalah 0,5 karena menurut Thomas 2006 pada nilai absorbansi 0,3-0,7 merupakan fase log bakteri P.aeruginosa, dimana fase log merupakan tahap dimana pertumbuhan P.aeruginosa sangat baik. Setelah diukur dengan spektormeter, didapatkan nilai absorbansi sebesar 1,0. Nilai absorbansi lebih besar dibandingkan yang telah ditetapkan, oleh karena itu dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta media sebanyak 10 ml, sehingga diperoleh nilai absorbansi bakteri P.aeruginosa 0,5. Sebelum dilakukan uji aktivitas antibiofilm sari buah belimbing wuluh, suspensi bakteri P.aeruginosa harus diuji pembentukan dan pertumbuhan biofilm dengan menggunakan metode Microtitter Plate Biofilm Assay OD 595nm . Uji pembentukan dan pertumbuhan biofilm dilakukan dengan tujuan mengetahui berapakah waktu yang dibutuhkan bakteri P.aeruginosa untuk bisa membentuk biofilm paling baik. Nilai absorbansi biofilm P.aeruginosa diukur pada panjang gelombang 595 nm untuk mengetahui densitas biofilm yang terbentuk pada dinding sumur microplate. Pada hari pertama, rata-rata densitas biofilm P.aeruginosa 0.108, hari kedua mengalami kenaikan rata-rata densitas biofilm yaitu sebesar 0.490, hari ketiga juga mengalami kenaikan rata-rata densitas biofilm yang cukup signifikan yaitu 0.717, dan pada hari ke empat rata-rata densitas biofilm mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu 0.186. Pengujian tidak dilanjutkan untuk hari selanjutnya, karena pada hari keempat telah terjadi penurunan nilai rata-rata densitas biofilm P.aeruginosa. Penurunan nilai densitas biofilm pada hari keempat terjadi karena koloni biofilm pada hari keempat sedang pada tahap akhir yang disebut dengan dispersi atau pelepasan untuk menempel di sisi yang lain Watnick dan Kolter, 2000, sehingga pada tahap tersebut jumlah koloni biofilm yang menempel pada dinding sumur berkurang dan sebelum menempel pada sisi dinding sumur lainnya, biofilm ikut terbuang pada saat proses pencucian. Sehingga dapat disimpulkan waktu yang dibutuhkan P.aeruginosa untuk bisa membentuk biofilm yang paling baik untuk pengujian adalah tiga hari pada suhu 37 C. Setelah diketahui waktu optimal yang dibutuhkan bakteri P.aeruginosa membentuk biofilm paling baik, kemudian dilakukan uji aktivitas antibiofilm sari buah belimbing wuluh terhadap biofilm P.aeruginosa secara in vitro. Ada tiga jenis aktivitas antibiofilm yang diuji pada penelitian ini yaitu pencegahan pertumbuhan, penghambatan pertumbuhan dan degradasi biofilm P.aeruginosa. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasasti dan Hertiani 2010, Sandasi et al 2009 dan Mansouri et al 2013 tentang ketiga aktivitas tersebut, semuanya menggunakan waktu inkubasi selama 24 jam. Sedangkan pada UIN Syarif HIdayatullah Jakarta penelitian ini, waktu inkubasi yang digunakan adalah 3 hari 72 jam. Dasar penggunaan waktu inkubasi 3 hari adalah hasil uji pembentukan dan pertumbuhan biofilm yang telah dilakukan sebelumnya, dimana bakteri P.aeruginosa dapat membentuk biofilm paling baik dalam waktu tiga hari. Grafik pada gambar 4.3 menunjukkan bahwa sari buah belimbing wuluh memiliki ketiga aktivitas antibioflilm. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penurunan nilai rerata densitas biofilm P.aeruginosa mulai dari pemberian sari buah dengan konsentrasi 0,5 sampai dengan 8 apabila dibandingkan dengan kontrol negatif. Aktivitas pertama yang diuji adalah pencegahan pertumbuhan biofilm P.aeruginosa. Pada pengujian aktivitas ini, kontrol negatif yang digunakan adalah biofilm P.aeruginosa tanpa diberi perlakuan atau penambahan sari buah belimbing wuluh, sedangkan kontrol positif tidak digunakan sebagai pembanding karena tidak tersedianya sediaan sintetis yang mekanisme kerjanya sebagai pencegah biofilm. Berdasarkan grafik pada gambar 4.3 dan tabel 4.2, sari buah belimbing wuluh dapat mencegah pertumbuhan biofilm P.aeruginosa apabila dibandingkan dengan kontrol negatif. Konsentrasi sari buah 8 memiliki aktivitas pencegahan paling tinggi dibandingkan konsentrasi yang lain yaitu sebesar 37,86. Mekanisme pencegahan biofilm oleh sari buah belimbing wuluh adalah seberapa banyak dan kuat sari buah belimbing wuluh dapat menempel pada dinding sumur microplate untuk kemudian mencegah suspensi bakteri P.aeruginosa untuk membentuk biofilm. Pada aktivitas ini, sari buah belimbing wuluh dengan konsentrasi paling tinggi yaitu 8 tentunya memiliki kekeruhan dan kekentalan sari buah yang paling tinggi pula, sehingga sari buah memiliki kekuatan yang maksimal untuk menempel pada dinding sumur microplate, bahkan setelah sari buah dibuang dari microplate. Selain itu, sari buah belimbing wuluh dengan konsentrasi tinggi mengandung senyawa aktif yang lebih banyak dibandingkan konsentrasi rendah. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya konsentrasi sari buah belimbing wuluh, maka semakin baik pula aktivitas pencegahan pertumbuhan biofilmnya. Aktivitas selanjutnya yang diuji adalah penghambatan pertumbuhan biofilm P.aeruginosa. Sama halnya pada pengujian aktivitas pencegahan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta pertumbuhan, kontrol negatif yang digunakan adalah biofilm P.aeruginosa tanpa diberi perlakuan atau penambahan sari buah belimbing wuluh, sedangkan kontrol positif tidak digunakan sebagai pembanding karena tidak tersedianya sediaan sintetis yang mekanisme kerjanya sebagai pencegah biofilm. Berdasarkan grafik pada gambar 4.3 dan tabel 4.3, sari buah belimbing wuluh dapat menghambat pertumbuhan biofilm P.aeruginosa secara drastis apabila dibandingkan dengan kontrol negatif. Konsentrasi sari buah 1 memiliki aktivitas penghambatan paling tinggi dibandingkan konsentrasi yang lain yaitu sebesar 75,73. Berbeda dengan aktivitas pencegahan pertumbuhan, dimana konsentrasi paling tinggi yaitu 8 dapat mencegah pertumbuhan biofilm paling baik, pada aktivitas ini justru konsentrasi ekstrak 2 sampai 8 tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan konsentrasi 1. Mekanisme penghambatan biofilm oleh sari buah belimbing wuluh adalah tidak ditujukan untuk menempel pada dinding sumur microplate seperti pada aktivitas pencegahan pertumbuhan. Teori lain oleh Aenderek 2005 yang menyebutkan bahwa mekanisme penghambatan pertumbuhan biofilm dapat dengan cara menembus dinding sel bakteri sehingga dapat menganggu sinyal- sinyal komunikasi Quorum sensing antar bakteri yang berperan dalam pembentukan biofilm atau menginaktivasi gen-gen pada bakteri yang memicu sintesis EPS. Pada aktivitas ini, sari buah belimbing wuluh dengan konsentrasi paling tinggi yaitu 8 yang memiliki kekeruhan dan kekentalan sari buah yang tinggi, tentunya tidak dapat menembus sel bakteri secara maksimal dibandingkan dengan sari buah konsentrasi rendah. Tetapi, pada konsentrasi 0,5 terjadi penurunan kembali presentase penghambatan dibandingkan 1. Hal ini diduga karena konsentrasi sari buah yang terlalu kecil, sehingga walaupun dapat menembus sel-sel bakteri tetapi senyawa aktif didalam sari buah tidak cukup berperan dalam proses penghambatan pertumbuhan biofilm. Aktivitas terakhir yang diuji adalah degradasi biofilm P.aeruginosa. Pada pengujian aktivitas ini, kontrol negatif yang digunakan sama seperti uji sebelumnya. Tetapi pada aktivitas ini kontrol positif digunakan sebagai pembanding yaitu biorem 1 dan biorem 10. Biorem merupakan sediaan sintetis yang mengandung senyawa enzim dan alkali yang dapat mendegradasi lapisan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta biofilm yang terdiri dari polisakaria. Berdasarkan grafik pada gambar 4.3 dan tabel 4.4, sari buah belimbing wuluh dapat mendegradasi biofilm P.aeruginosa apabila dibandingkan dengan kontrol negatif. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif, aktivitas degradasi biofilmsari buah belimbing wuluh masih lebih rendah dibandingkan dengan sediaan biorem 1 dan biorem 10. Konsentrasi sari buah 8 memiliki aktivitas degradasi paling tinggi dibandingkan konsentrasi yang lain yaitu sebesar 51,98. Mekanisme degradasi biofilm oleh sari buah belimbing wuluh adalah untuk menempel pada biofilm yang telah terbentuk pada dinding sumur microplate, kemudian menembus dan menghancurkan sel biofilm P.aeruginosa. Pada aktivitas ini menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak maka semakin kecil rerata absorbansi biofilm. Konsentrasi ekstrak 8 memiliki aktivitas degradasi paling baik. Tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Loresta 2012, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kelor Moringa oleifera, maka semakin baik aktivitas degradasi biofilm yang dihasilkan. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah optimasi aktivitas terseleksi. Optimasi dilakukan pada aktivitas yang paling baik yang dihasilkan oleh ekstrak air belimbing wuluh terhadap biofilm P.aeruginosa. Dari pengujian yang dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa aktivitas yang paling baik adalah penghambatan pertumbuhan biofilm P.aeruginosa, dimana ekstrak air belimbing wuluh dapat menghambat biofilm P.aeruginosa lebih dari 70. Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode Response Surface Analysis RSA. Optimasi aktivitas terseleksi dilakukan terhadap 3 variabel yaitu suhu, konsentrasi dan waktu inkubasi. Suhu yang diuji pada tahap ini adalah suhu ruang 25 C, suhu optimal pertumbuhan bakteri 37,5 C dan suhu panas 50 C. Konsetrasi yang diuji adalah konsentrasi hasil rancangan desain yang ditentukan oleh Response Surface Analysis RSA yaitu 0,5, 4,25, 8. Waktu inkubasi yang diuji adalah 1 hari, 2 hari, 3 hari. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berapakah titik optimal dari setiap variabel dan apakah ada hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya. . Pada pengujian ini, yang digunakan sebagai pembanding hanyalah kontrol negatif, sedangkan kontrol positif tidak digunakan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta sebagai pembanding. Sebelum dioptimasi, terdapat 20 pasang dari ketiga variabel faktor yang harus dilakukan uji aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm P.aeruginosa Lampiran 11. Pengujian dilakukan secara triplo. Pengujian dilakukan dengan cara yang sama pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm sebelumnya. Hasil yang didapatkan setelah dilakukan uji aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm adalah berupa nilai densitas biofilm OD 595nm . Data densitas biofilm yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode Response Surface Analysis RSA dan diperoleh hasil berupa grafik yang menunjukkan suhu, konsentrasi dan waktu inkubasi yang optimal. Grafik Contour Plot pada gambar 4.6 dan gambar 4.7 menunjukkan hubungan antara fase reduksi vs suhu, konsentrasi dan waktu inkubasi. Pada hasil tersebut terlihat beberapa lapisan warna dari warna biru tua sampai hijau tua. Lapisan warna hijau tua menunjukkan suhu yang optimal adalah antara 25-40 C, waktu inkubasi yang optimal adalah 1,5-3 hari dan konsentrasi yang optimal adalah antara 1-7. Analisis dilakukan lebih lanjut untuk mengetahui optimized plot. Setelah dilakukan analisis diketahui suhu paling optimal adalah 30 C, konsentrasi paling optimal adalah 4,3 dan waktu inkubasi paling optimal adalah 2,25 hari. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mansouri et al 2013 tentang pengaruh berbagai ekstrak tanaman terhadap pertumbuhan biofilm bakteri P.aeruginosa, menunjukkan bahwa ekstrak tanaman manjakini Quercus infectoria dapat menghambat biofilm semua strain bakteri dengan MIC 1000, dan ekstrak tanaman murad Myrtus communis yang dapat menghambat biofilm bakteri strain ATCC27853, PK60 dan PK112. Pemilihan tanaman pada penelitian tersebut berdasarkan sifat penghambatan ekstrak terhadap alpha-glucosidase. Meylita 2012 juga menyampaikan bahwa ekstrak buah belimbing wuluh dapat menghambat pembentukan biofilm mulai dari konsentrasi 0.0078. Penelitian yang dilakukan oleh Loresta 2012 menyampaikan bahwa ekstrak etanol daun kelor Moringa oleifera dapat menghambat pembentukan biofilm S.aureus mulai dari pemberian ekstrak 0,5 sampai dengan 8. Pada penelitian ini, tidak dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme aktivitas antibiofilm terhadap bioiflm P.aeruginosa. Proses UIN Syarif HIdayatullah Jakarta penghambatan pembentukan biofilm tidak hanya terkait oleh gen yang mensintesis Polysacharide Intercellular Adhesion PIA saja, tetapi menurut yang disampaikan Aendekerk 2005 penghambatan pembentukan biofilm juga dipengaruhi oleh sistem Quorum Sensing QS. Quorum sensing merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunikasi dengan mensekresikan molekul sinyal yang disebut autoinduser atau molekul sinyal seperti bahasa. Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri dapat mengatur ekspresi gen tertentu. Konsentrasi autoinduser di lingkungan sebanding dengan jumlah bakteri yang ada. Dengan mendeteksi autoinduser, suatu bakteri mampu mengetahui keberadaan bakteri lain di lingkungannya. Molekul sinyal juga memperlihatkan peranannya dalam pembentukan biofilm. Sebagai contoh adalah homoserin lakton yang merupakan sinyal utama yang terdapat pada P.aeruginosa Donlan, 2001. 46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Sari buah belimbing wuluh Averrhoa bilimbi L dengan konsentrasi 0,5, 1, 2, 4 dan 8 dapat memberikan perbedaan secara bermakna dalam mencegah pertumbuhan, menghambat pertumbuhan dan mendegradasi biofilm P.aeruginosa secara in vitro. 2. Sari buah belimbing wuluh Averrhoa bilimbi L dengan konsentrasi 0,5, 1, 2, 4 dan 8 menunjukkan aktivitas terbaik yaitu penghambatan pertumbuhan biofilm P.aeruginosa secara in vitro. 3. Setelah aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm dioptimasi, suhu yang optimal dalam pengujian adalah 30 C, konsentrasi yang optimal dalam pengujian adalah 4,3 dan waktu inkubasi yang optimal dalma pengujian adalah 2,25 hari.

5.2 Saran

Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut adalah : 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi yang sama untuk mengetahui struktur senyawa yang bertanggung jawab terhadap mekanisme aktivitas antibiofilm. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan konsentrasi dan waktu inkubasi ekstrak air belimbing wuluh Averrhoa bilimbi L mengenai aktivitas pencegahan pertumbuhan dan degradasi biofilm P.aeruginosa. 47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR PUSTAKA Aendekerk, S, Diggle S, Song, Z, Hoiby, N, Cornelis, P, Williams Pand Camara, M. 2005. The MexGHI-OpmD multidrug efflux pump controls growth, antibiotic susceptibility and virulence in Pseudomonas aeruginosa via 4-quinolone- dependent cell-to-cell communication. Microbiology 1514, 1113-1125. Archer, N.K, M.J. Mazaitis, J.W. Costerton, J.G. Leid, M.E. Powers, M.E Shirtliff . 2011. Staphylococcus Aureus Biofilms Properties, Regulation and Roles in Human Disease. Landes Bioscience. Virulence 2:5, 445-459. Augustin M., Ali-Vehmas T., Atroshi F. 2004. Assessment of enzymatic cleaning agents and disinfectants against bacterial biofilms. Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 18: 55 –64. Balows, W. J. Hausler, Jr., K. L. Herrmann, H. D. Isenberg, H. J1991.Manual Of Clinical Microbiology, 5 th Edition, American Society for Microbiology, Washington DC : 429-30, 431, 439. Bazeera A.M. 2008. Response surface methodology RSM as a tool for optimization in analytical chemistry: Elcevier B.V. Costerton JW, Stewart PS. 2001. Battling Biofilm. Scientific American;61-67 Davey E M Otoole A G. 2000. Mikrobial biofilm : From ecology to moleculer genetics. Microbiol Mol Biol, 64. Page : 847-867. Decho A W. 1990. Microbial exopolymer secretion in ocean environment: Their roles In food web and marine process, Oceanogr Mar Biol Annu Rev, 28. Page : 73-153 Desai J.D., Banat I.M. 1997. Microbial production of surfactants and their commercial potential. Microbiology and Molecular Biology Reviews 61: 47 –64. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Deshpande, J. D., Joshi, M. 2011. Antimicrobial Resistance: The Global Public Health Challenge. International Journal of Student Research.Volume I. Issue 2. Donlan R M Costertoon J W. 2002. Biofilm : Survival mechanism of clinically relevant microorganism. Clin Mikrobial rev, 15. Page :167-193 Donlan, R. M. 2002. Biofilms: microbial life on surfaces. Emerging Infectious Diseases, vol. 8, no. 9. Page : 881 –890. Fahrunnida, Pratiwi Rarastoeti. 2012. Kandungan Saponin Buah, Daun dan tangkai Daun Belimbing Wuluh Averrhoa bilimbi L. Farnsworth, N.R. 1966. Biological and Phytochemi Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Sciences. Fiorillo and Doglidoni A. 2001. The Pseudomonas aeruginossa hot-foot Syndrome, n Engl J Med, Vol.345, No.5. Flemming H C. 1993. Biofilm and environment protection. Water Sci technol, 27. Page: 1-10. Foca M,D., Jakob, K. R. N. B. S. N., Whitier, S., Latta, P. D., Factor, S. M.D., M. P. H., Rubenstein, D. M. D . 2000. Endemic Pseudomonas aeruginosa Infection In a Neonatal Intensive Care Unit, N Engl J Med, Vol.343, No.10. Gibson, J.M. 1996. Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Perawat. diterjemahkan oleh I.K.G. Soma Prasada, 11, 12. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran Hembing, W.2008. Ramuan Lengkap Herbal Taklukan Penyakit. Niaga Swadaya. Jakarta. Jawetz EE., Melnick, J.L., Adelberg, E.A.,2001. Medical Microbiology, 22nd Edition. USA : McGraw-Hill Companies . page : 229-31. Kudva I.T., Jelacic S., Tarr P.I., Youderian P., Hovde C. J. 1999. Biocontrol of Escherichia coli O157 with O157-specific bacteriophages. Applied and Environmental Microbiology 65: 3767 –3773. Kokare C.R., Chakrabortty S., Rhopade N.A. 2009. Biofilm : Importance and Applications. Indian Journal of Biothecnology. Vol 8. Page 159-168

Dokumen yang terkait

Efek Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi

6 112 90

Formulasi Sediaan Gel Dari Ekstrak Etanol Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Dan Uji Aktivitasnya Terhadap Beberapa Bakteri Penyebab Jerawat

45 235 99

Pengaruh Pemberian Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) Terhadap Kadar Kadmium (Cd) Pada Kerang (Bivalvia) Yang Berasal Dari Laut Belawan Tahun 2010

7 59 114

Pengaruh Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Sebagai Penggumpal Lateks Terhadap Mutu Karet

4 103 73

Pengaruh Perbandingan Sari Belimbing Wuluh dengan Sari aMangga Kweni dan Konsentrasi Gum Arab Terhadap aMutu Sorbet Nira Tebu

1 45 103

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP Propionibacterium acnes DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA PROFIL KROM

0 2 16

PENDAHULUAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP Propionibacterium acnes DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA PROFIL KROMATOGRAFINYA.

1 6 17

Aktivitas Antijamur Ekstrak Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) terhadap Malassezia furfur IMG 20151123 0001

0 0 1

UJI POTENSI SARI BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI Aeromonas hydrophila SECARA IN VITRO

0 0 5

UJI ANTIFUNGAL EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN Candida albicans SECARA IN VITRO

0 0 15