31
a Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi  BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi  tuberkulin
konversi  pada  tempat  suntikan.  Ada  tidaknya  tuberkulin  konversi  tergantung  pada potensi  vaksin  dan  dosis  yang  tepat  serta  cara  penyuntikan  yang  benar.  Kelebihan
dosis  dan  suntikan  yang  terlalu  dalam  akan  menyebabkan  terjadinya  abses  ditempat suntikan.  Untuk  menjaga  potensinya,  vaksin  BCG  harus  disimpan  pada  suhu  2
C Depkes RI, 2005.
b Vaksinasi DPT
Kekebalan  terhadap  penyakit  difteri,  pertusis  dan  tetanus  adalah  dengan pemberian  vaksin  yang  terdiri  dari  toksoid  difteri  dan  toksoid  tetanus  yang  telah
dimurnikan  ditambah  dengan  bakteri  bortella  pertusis  yang  telah  dimatikan.  Dosis penyuntikan  0,5  ml  diberikan  secara  subkutan  atau  intramuscular  pada  bayi  yang
berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal
tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang,  kesadaran  menurun,  menangis  yang  berkepanjangan  lebih  dari  3  jam,
hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. Depkes RI, 2005.
32
c Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap poliomyelitis diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung  virus  polio  tipe  1,  2  dan  3  dari  suku  Sabin.  Vaksin  yang  diberikan
melalui  mulut  pada  bayi  umur  2-12  bulan  sebanyak  4  kali  dengan  jarak  waktu pemberian 4 minggu Depkes RI, 2005
d Vaksinasi Campak
Vaksin  yang diberikan berisi  virus campak  yang  sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang
telah  tersedia  sebelum  digunakan.  Suntikan  ini  diberikan  secara  subkutan  dengan dosis  0,5  ml  pada  anak  umur  9-12  bulan.  Dinegara  berkembang  imunisasi  campak
dianjurkan  diberikan  lebih  awal  dengan  maksud  memberikan  kekebalan  sedini mungkin,  sebelum  terkena  infeksi  virus  campak  secara  alami.  Pemberian  imunisasi
lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu maternal  antibodi,  ternyata  dapat  menghambat  terbentuknya  zat  kebal  campak
dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan Depkes
RI, 2005.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dillakukan oleh Lindawaty 2010 dalam melihat  hubungan  faktor  individu  status  gizi  dan  status  imunisasi  menunjukkan
33
adanya  hubungan  bermakna  antara  status  gizi  dengan  kejadian  ISPA  pada  Balita dimana balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko 2,5 kali untuk mengalami
kejadian  ISPA  dibanding  dengan  status  gizi  baik.  Hal  ini  sejalan  dengan  penelitian yang  dilakukan  Mudehir  2002,  Wattimena  2002,  Kristina  2011  bahwa  ada
hubungan  status  gizi  terhadap  ISPA  pada  balita.  Balita  yang  mempunyai  status  gizi yang  kurang  mudah  terserang  oleh  bakteri,  virus  yang  masuk  melalui  saluran
pernafasan dan menyebabkan gangguan pernafasan pada balita salah satunya ISPA. d.
Pemberian ASI
ASI  merupakan  makanan  utama  bagi  bayi  yang  bersifat  alamiah.  ASI mengandung  bebagai  zat  gizi  yang  dibutuhkan  dalam  proses  perkembangan  dan
pertumbuhan  bayi  serta  mengandung  antibodi  yang  dapat  membantu  bayi membangun  sistem  kekebalan  tubuh  terhadap  berbagai  macam  sumber  penyakit.
Manfaat  yang  dapat  diberikan  dari  pemberian  ASI  eksklusif  pada  bayi  yaitu  dapat melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernafasan, kegemukan, infeksi kandung
kemih, infeksi telinga dan lainya Sinaga, 2012. ASI  mengandung  Immunoglobulin  yang  dapat  mencegah  bayi  dari  penyakit
infeksi  dan  mengandung  rangkaian  asam  lemak  tak  jenuh  yang  sangat  penting  bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih
dan  aman  bagi  bayi.  Pada  penelitian  Rahayu,  2011  terdapat  hubungan  antara  bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil studi
yang  menunjukkan  bahwa  ASI  merupakan  faktor  protektif  terhadap  kejadian  ISPA
34
yaitu  pada  penelitian  Sinaga  2012  yang  mengatakan  bahwa  ASI  memiliki  daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur 0-4 bulan.
2.3.4 Faktor Perilaku
Pencemaran  udara  dalam  rumah  terjadi  akibat  adanya  polutan  dalam  rumah yang  konsentrasinya  dapat  beresiko  menimbulkan  gangguan  kesehatan  penghuni
rumah  DepKes  RI,  2011.  Pencemaran  udara  dalam  rumah  terjadi  akibat  prilaku penghuni  rumah  yang  tidak  sehat.  Faktor  perilaku  dalam  pencegahan  dan
penanggulangan  penyakit  ISPA  pada  bayi  dan  balita  lebih  efektif  dilakukan  oleh keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Keluarga sangat mempengaruhi munculnya penyakit didalam rumah. Bila salah satu keluarga  mengalami  gangguan  kesehatan  yang  bersifat  menular  maka  akan
mempengaruhi anggota keluarga lainya. Peran  keluarga  sangat  penting  dalam  menangani  ISPA  karena  penyakit  ISPA
termasuk  dalam  penyakit  yang  sering  diderita  sehari-hari  didalam  keluarga masyarakat.  Hal  ini  menjadi  fokus  perhatian  keluarga  karena  penyakit  ISPA  sangat
sering  diderita  oleh  balita,  sehingga  ibu  balita  dan  anggota  keluarga  uang  sebagian besar dekat dengan balita harus mengetahui gejala-gejala balita terkena ISPA. Dalam
penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhanya dapat dogolongkan menjadi 3tiga kategori  yaitu  perawatan  oleh  ibu  balita,  tindakan  yang  segera  dan  pengamatan
tentang  perkembangan  penyakit  balita,  pencarian  pertolongan  pada  pelayanan kesehatan.  Sebagian  besar  keluarga  tidak  mengetahui  dari  kebiasaan  yang  sering
35
dilakukan  dapat  menimbulkan  pencemaran  udara  dalam  rumah  dan  berpengaruh terhadao kesehatan balita seperti :
a. Kebiasaan merokok
Merokok  merupakan  kebiasaan  yang  sering  dilakukan  oleh  penghuni  rumah terutama oleh bapak-bapak. Cenderung bapak-bapak merokok didalam rumah sambil
istirahat  seperti  menonton  tv,  membaca  koran  dan  sebagainya.  Asap  rokok  yang dikeluarkan  adalah  gas  beracun  dari  hasil  pembakaran  produk  tembakau  yang  biasa
mengandung  Poliyclinic  Aromatic  Hydrocarbons  PAHs  yang  berbahaya  bagi kesehatan  DepKes  RI,  2011.  Asap  rokok  yang  di  keluarkan  oleh  seorang  perokok
mengandung  bahan  toksik  yang  berbahaya  dan  akan  menimbulkan  penyakit  serta menambah  resiko  kesakitan  dari  bahan  toksik  tersebut  Kusnoputranto,  2000.  Dari
hasil  penelitian  Citra  2012  mengemukakan  bahwa  perokok  pasiflah  yang mengalami  resiko  lebih  besar  daripada  perokok  aktif.  Anak-anak  yang  keluarganya
terdapat  perokok  lebih  rentan  terkena  penyakit  gangguan  pernafasan  dibanding dengan  anak-anak  yang  bukan  keluarga  perokok.  Pada  hasil  uji  statistik  penelitian
Lindawaty  2010  menyatakan  bahwa  balita  yang  tinggal  bersama  penguni  yang merokok  beresiko  2,04  kali  lebih  besar  terkena  ISPA  dibanding  dengan  balita  yang
tidak  terdapat  penghuni  rumah  yang  merokok.  Oleh  karena  itu  untuk  melindungi bayianak-anak  dari  asap  rokok  perlu  diusahakan  untuk  tidak  merokok  didalam
rumah,  atau  menyediakan  tempat  khusus  bagi  keluarga  yang  merokok  supaya  asap tidak tersebar ke ruangan lain didalam rumah.
36
Asap  rokok  dari  seseorang  yang  merokok  dalam  rumah,  tidak  saja  merupakan bahan  pencemaran  dalam  ruang  yang  serius  melainkan  juga  akan  menyebabkan
kesakitan  dari  toksik  yang  lain  dan  anak-anak  yang  terpapar  asap  rokok  dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya Infeksi Saluran
Pernapaasan  Akut  dan  gangguan  paru-paru  pada  waktu  dewasa  nanti    Avrianto, 2006.  Menurut  penelitian  Wattimena  2004  bahwa  rumah  yang  penghuninya
mempunyai  kebiasaan  merokok  di  dalam  rumah  berpeluang  meningkatkan  kejadian ISPA  pada  balita  7,83  kali  dibandingkan  dengan  rumah  balita  yang  penghuninya
tidak merokok. b.
Bahan bakar memasak
Di  zaman  yang  semakin  berkembang  ,  bahan  bakar  memasak  beraneka  ragam mulai  dari  penggunaan  minyak  tanah,  gas,  atau  listrik.  Saat  ini  penggunaan  kayu
sudah  sangat  jarang  ditemukan  di  kota-kota  besar  di  Indonesia.  Masyarakat  yang masih menggunakan bahan bakar selain gas cenderung takut dikarenakan ledakan gas
yang  sering  terjadi  sehingga  memilih  bahan  bakar  yang  aman  seperti  minyak  tanah dan kayu bakar bagi pedesaan. Namun akibat penggunaan bahan bakar tersebut, dapat
menyebabkan resiko terjadinya pencemaran udara hasil pembakaran didalam rumah. Keadaan  tersebut  diperburuk  dengan  tidak  adanya  ventilasi  dalam  rumah  sehingga
asap sisa pembakaran atau debu  yang dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap didalam rumah DepkKes RI, 2011. Partikel debu yang dihasilkan dari pembakaran
tersebut  mengandung  unsur-unsur  kimia,  seperti  timbal,  besi,  mangan,  arsen,
37
cadmium  dimana  jika  terhirup  atau  masuk  langsung  ke  pernafasan  dapat  menempel diparu-paru.  Paparan  partikel  dengan  kadar  yang  tinggi  akan  menimbulkan  edema
pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Hasil  Cahya  2011  menyatakan  bahwa  pencemaran  udara  akibat  penggunaan
bahan  bakar  dimungkinkan  berperan  walaupun  kecil.  Rumah  dengan  bahan  bakar minyak  tanah  memberikan  kesempatan  3,8  kali  lebih  besar  balita  terkena  ISPA
dibandingkan dengan bahan bakar gas. c.
Penggunaan obat nyamuk.
Pengendalian  dan  pemberantasan  nyamuk  dalam  rumah  sebagaian  masyarakat cenderung  menggunakan  obat  nyamuk  yang  terbuat  dari  bahan  insektisida  yang
disemprot  dan  obat  nyamuk  bakar.    Semakin  maraknya  merk-merk  obat  penghilang nyamuk didalam rumah untuk mengusir vektor nyamuk. Terpengaruhnya masyarakat
dengan  berbagai  merk  obat  nyamuk  membuat  konsumsi  akan  obat  nyamuk  hampir disetiap  rumah  warga.  Walaupun  tujuan  dari  obat  nyamuk  tersebut  baik,  namun
terdapat  dampak  yang  harus  diperhatikan  oleh  penguni  rumah.  Obat  nyamuk mengandung  bahan-bahan  kimia  yang  sulit  terurai  dalam  waktu  cepat.  Jika  obat
nyamuk  itu  mengendap  setiap  hari  di  bantal-atau  tempat  tidur  manusia  dan  terhirup akan  berdampak  pada  gangguan  kesehatan  baik  bersifat  kronik  ataupun  akut.
Sehingga perlu diperhatikan intensitas penggunaan obat nyamuk tersebut.