Keterbatasan Penelitian Gambaran Variabel Dependen

71 penelitian menurut Muhedir 2002, Irianto 2004, dan Citra 2010 yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Geturdis 2010 dimana terdapat hubungan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA dimana balita yang gizi kurang beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA karena daya tahan tubuh lemah terhadap serangan virus. Tidak adanya hubungan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA bisa saja terjadi karena ISPA tidak hanya disebabkan oleh gizi kurang atau gizi buruk dari balitanya, melainkan oleh banyak faktor salah satunya faktor lingkungan. Menurut konsep HL Blum dalam Notoatmodjo 2003 menyatakan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor terbesar mempengaruhi kesehatan manusia. Walaupun status gizi balita dalam kondisi baik, dimungkinkan balita terkena ISPA akibat lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Dari 88 balita pada penelitian ini ternyata hanya ada 14 balita yang mempunyai gizi kurang. Walaupun persentase kecil, tetap perlu di lakukan upaya- upaya perbaikan status gizi balita karena perbaikan gizi masyarakat harus dimulai dari perbaikan gizi pada masa bayi dan balita Notoatmodjo, 2007 seperti : a. Penyuluhan dari instansi kesehatan mengenai makanan-makanan yang mengandung gizi baik dengan harga yang tidak terlalu mahal tapi 72 mempunyai nilau asupan gizi yang tinggi sehingga tidak memberatkan ibu balita. b. Pemberitahuan akibat-akibat yang akan disebabkan jika balita tidak mempunyai status gizi yang baik sehingga diharapkan menimbulkan rasa takut dan kesadaran akan pentingnya makanan yang sehat. c. Selain makanan, anak-anak perlu diberikan suplemen atau vitamin untuk melengkapi kebutuhan gizi yang kurang.

6.3.2 Hubungan Pemberian Asi terhadap ISPA pada Balita

ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan bayi serta mengandung antibodi yang dapat membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam sumber penyakit. Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernafasan, kegemukan, infeksi kandung kemih, infeksi telinga dan lainya Sinaga, 2012. Hasil penelitiaan pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan ASI ekslusif sebanyak 69 78,4 dan yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 19 balita 21,6 . Berdasarkan hasil observasi dilapangan besarnya balita yang tidak diberikan ASI ekslusif disebabkan beberapa hal yakni bekerja, tidak bisa mengeluarkan ASI, serta beberapa ibu masih mengikuti 73 kepercayaan lama dengan langsung memberikan makanan selain ASI pada saat umur 0-6 bulan. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,251 p-value0,05 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pemberian asi ekslusif terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Balita yang diberikan ASI Eksklusif beresiko mengalami ISPA 2,1 kali lebih besar dibanding yang diberikan asi ekslusif. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Citra 2010 bahwa tidak ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian ISPA pada balita. Namun jika pada bayi kemunginan terdapat hubungan antara ISPA dengan bayi seperti pada penelitian Rahayu 2011. Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian Asi Ekslusif terhadap kejadian ISPA di kelurahan Ciputat, tetap perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi besarnya jumlah balita yang tidak diberikan Asi Ekslusif supaya mencegah berbagai penyakit lain yang mungkin timbul selain ISPA. Upaya-upaya yang dilakukan diantara lain : a. Sosialisasi perlunya pemberian Asi Ekslusif demi ketahanan tubuh seorang anak terhadap ancaman berbagai macam penyakit. b. Alternatif bagi ibu yang bekerja agar tetap bisa memberikan Asi Ekslusif. c. Pengetahuan mengenai fungsi Asi Ekslusif terhadap anak serta melibatkan suami untuk mengingatkan ibu memberikan asi kepada bayi.