80
humidifier alat pengatur kelembaban udara
6.3.6 Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita
Asap rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik tersebut Kusnoputranto, 2000. Hasil penelitian pada tabel 5.8 yang dilakukan di kelurahan Ciputat menunjukkan sebagian besar balita
54 61,8 tinggal didalam rumah dengan penghuni merokok dan 34 38,6 tidak tinggal dengan penghuni yang merokok. Tingginya jumlah balita yang
tinggal bersama penghuni rumah yang merokok dimungkinkan bahwa sebagian besar balita sering terpapar dan menghirup bahan toksik yang berbahaya untuk
kesehatan. Asap rokok adalah sebuah campuran asap yang di keluarkan dari hasil
pembakaran tembakau yang mengandung Polyclinic Aromatic Hydrocarbons PAHs dan berbahaya bagi kesehatan Depkes, 2011. Manusia yang menghirup
asap rokok bisa disebut perokok pasif dan berisiko lebih besar pada kesehatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra 2012 bahwa perokok pasif yang lebih rentan
terkena penyakit gangguan pernafasan dibanding dengan perokok aktif . Hasil uji chi square pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya
hubungan bermakna antara kebiasaan merokok penghuni rumah terhadap kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,409 p0,05. Namun, diketahui bahwa balita
yang tinggal di rumah dengan penghuni merokok mempunyai resiko 1,7 kali
81
mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal di rumah tanpa penghuni merokok. Hasil penelitian ini sejalan dengan Budiaman 2008 yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara responden yang rumahnya ada yang merokok dengan kejadian penyakit gangguan saluran pernafasan balita. Penelitian
ini berbeda dengan Lindawaty 2010 yang menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA
dibanding dengan balita yang tidak terdapat penghuni rumah yang merokok. Pada penelitian ini tidak menujukkan hubungan antara kebiasaan merokok
dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini dimungkinkan karena wawancara dilakukan hanya menanyakan ada atau tidak penghuni yang merokok tanpa
menanyakan lebih spesifik tentang kebiasaan merokok di dalam atau di luar rumah pada perokok serta seberapa banyak jumlah rokok yang di habiskan dalam sehari.
Semakin banyak jumlah rokok yang di konsumsi perokok yang merokok di dalam rumah kemungkinan besar balita terpapar asap rokok lebih banyak sehingga
menimbulkan gangguan pernafasan pada balita. Walaupun tidak terdapat hubungan yang bermakna, menurut penelitian Wattimena 2004 bahwa rumah
yang penghuninya mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah
balita yang penghuninya tidak merokok dalam rumah. Begitu pula dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa resiko penghuni
82
perokok terhadap kejadian ISPA pada balita lebih besar sehingga perlu di lakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran asap rokok sebagai berikut :
a. Penyuluhan mengenai bahaya merokok kepada keluarga balita untuk
meningkatkan kesadaran penghuni dalam pentingya menjaga kebersihan udara yang terhirup di dalam rumah.
b. Memberikan pengetahuan mengenai ISPA serta sebab-sebab
penularan yang dimungkinkan salah satunya disebabkan oleh asap rokok dalam rumah.
c. Menganjurkan untuk tidak merokok di dalam rumah.
6.3.8 Hubungan Pendidikan Orang Tua terhadap ISPA pada Balita
Pada penelitian ini tingkat pendidikan ibu dibagi dalam 2 kategori yakni pendidikan rendah tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP dan tinggi SMA, D3,
S1. Distribusi tingkat pendidikan ibu berdasarkan tabel 5.9 sebanyak 40 ibu yang termasuk dalam kategori pendidikan rendah atau setengah dari jumlah sampel
yang ada. Hasil pernyataan ibu-ibu yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi mulai dari sudah ingin menikah, tidak mempunyai biaya sehingga dituntut
untuk mencari kerja setelah wajib belajar 9 tahun. Hasil uji statistik pada tabel 5.18 didapat sebanyak 26 ibu 65 yang
berpendidikan rendah memiliki balita yang mengalami ISPA dan berpendidikan tinggi dan memiliki balita yang mengalami ISPA sebanyak 19 ibu 39,6.
83
Berdasarkan uji chi-square diperoleh nilai p=0,019 sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada
balita di kelurahan Ciputat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Citra 2012 dan Suptiaptini 2007, menunjukkan adanya hubungan antara
pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah mempunyai resiko untuk menderita ISPA lebih besar dibandingkan dengan ibu
balita yang berpendidikan tinggi. Namun hal ini bertolak belakang dengan penelitian Fitri 2004 dimana tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua
dengan kejadian ISPA pada balita. Pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang
menerima pengetahuan, semakin tinggi pendidikan masyarakat maka diharapkan penerimaan pengetahuan akan semakin mudah sehingga diharapkan dapat
merubah perilaku seseorang. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan perilaku seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan,
pelayanan kesehatan dan juga heriditas Achmadi, 2008. Perananan tenaga kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan khususnya ISPA dengan
tujuan agar ibu yang tidak tahu menjadi tahu bagaimana tanda-tanda gejala ISPA serta kegiatan pencegahan dan penanggulanganya bagi balita dan anggota
keluarga. Hasil observasi dilapangan membuktikan bahwa pendidikan dapat
mempengaruhi tindakan ibu dalam menanggulangi penyakit. Ibu dengan